Kasus Penganiayaan Tahanan
Oleh Frans Anggal
Seorang tahanan di Rutan Bajawa, Ruben Rangga (41) warga Maunori, dianiaya pegawai rutan (sipir) Lukas Asdando. Korban menderita memar di mata karena dipukul berkali-kali, serta lecet di lutut dan kaki karena disuruh berjalan sambil berlutut di atas aspal dalam kompleks rutan, sambil ditendang berkali-kali oleh sang sipir. Keluarga sudah melaporkan kasus ini ke Polres Ngada (Flores Pos Jumat 18 Maret 2011).
Ruben Rangga masuk rutan sebagai tahanan jaksa pada Selasa 15 Maret 2011 karena terlibat penganiayaan terhadap Frengky Pita, warga Maunori, 28 September 2010. Frengky Pita masih bertalian keluarga dengan Lukas Asdando sang sipir. Sejak masuk rutan pukul 13.30 Wita hingga keesokan paginya, Ruben Rangga dianiaya Lukas Asdando.
Kasusnya terungkap ketika keluarga Ruben hendak membesuk. Meski datang tepat jadwal dan dilengkapi surat besuk dari kejaksaan, mereka ditolak Lukas Asdando dengan alasan penahanan Ruben belum sampai seminggu. Mereka balik ke kejaksaan. Kejaksaan buat lagi surat besuk kedua. Tetap ditolak. Akhirnya kejaksaan keluarkan SP 38 (surat perintah tambahan pemeriksaan dari kejaksaan). Bersama keluarga Ruben, pegawai kejaksaan datangi rutan. Saat itulah ketahuan, Ruben Rangga telah dianiaya. Ruben langsung diamankan di kantor kejaksaan.
Apa kata si sipir Lukas Asdando? "Saya bukan menganiaya dia (Ruben Rangga), hanya tempeleng satu kali sebagai bentuk pembinaan. Dia masih keluarga dengan saya. Saya kesal, kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu di kampung sehingga bisa masuk tahanan. Tapi dia tidak terima itu" (http://kupang.tribunnews.com).
Hanya tempeleng? Dan hanya satu kali? Benar-benar luar biasa. Tindakan yang “hanya” itu ternyata membawa akibat yang tidak terkira. Mata korban menjadi memar. Lutut dan kaki korban lecet-lecet. Rupanya, saat disuruh berjalan sambil berlutut di atas aspal, korban pun “hanya” ditempeleng, “tempeleng” pakai kaki.
Tempeleng sebagai bentuk pembinaan? Yang benar saja! Beginkah cara pembinaan di Rutan Bajawa? Pembinaan yang ngawur. Tidak tahu membedakan antara treatment (‘tindak pembinaan’) dan violence (‘tindak kekerasan’). Atau mungkin si Lukas Asdando yang tidak paham, sebagaimana sipir lain di rutan lain.
Pada banyak rutan dan lapas, sipir menganggap membentak, mencaci maki, menempeleng, menampar, memukul, menendang, menyuruh lompat-jongkok, hormat bendera berjam-jam, berguling-guling di tanah, berjalan berlutut, dan lain-lain, hanyalah ‘tindak pembinaan’, bukan ‘tindak kekerasan’. Betapa tersesatnya pemahaman seperti ini!
Semua tindakan itu melanggar konstitusi, UUD 1945. Pasal 28G ayat (2): setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Melanggar UU 39/1999 tentang HAM. Pasal 4: hak untuk tidak disiksa dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Melanggar UU 12/2005 tentang Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights. Pasal 7: tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Melanggar KUHP. Pasal 351: penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, dst.
Karena itu, kita dukung langkah keluarga korban. Laporkan sang sipir ke polres. Ia harus diproses hukum. Sipir bukan algojo. Rutan bukan hutan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Maret 2011
1 komentar:
Sebagai orang Ngada saya juga malu atas perbuatan sipir di rutan bajawa yang semena-mena. jangan jadikan jabatan untuk mendzolimi orang lain, apalagi di Ngada memiliki suku, agama,dan ras yang berbeda. Orang seperti itu sepantasnya dikeluarkan dari jabatannya sebagai sipir dirutan bajawa. Memalukann...... tanamkan budaya malu terhadap sipir di rutan bajawa.
Posting Komentar