Mengkritisi Pernyataan Gebernur Frans Lebu Raya
Oleh Frans Anggal
Menindaklanjuti arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT melakukan pemantauan terhadap kegiatan keagamaan Jemaat Ahmadiyah. Pemantauan ini juga berkaitan dengan sejauh mana perkembangan Jemaat Ahmadiyah di NTT.
Demikian kata Gubernur NTT Frans Lebu Raya. “Kita sangat berharap Jemaat Ahmadiyah setidaknya bisa patuhi 12 butir pernyataan sikap yang telah disampaikan. Saat ini kita terus memantau,” katanya (Flores Pos Kamis 10 Maret 2011).
Betapun pernyataan Gubernur Lebu Raya ‘hanyalah’ bentuk tindak lanjut arahan mendagri, kita tidak bisa menerimanya begitu saja. Demikian pula, betapapun benar ada 12 butir pernyataan sikap Jemaat Ahmadiyah, yang oleh gubernur dijadikan tolok ukur, kita tidak bisa membenarkan apa yang disebutnya tindakan pemantauan kegiatan keagamaan.
Apa yang mau dipantau oleh negara? Dalam hal ini oleh gubernur sebagai personifkasi negara? Yang mau dipantaunya, apakah hanya “kegiatan” keagamaan? Ataukah juga “keyakinan” keagamaan? Pertanyaan ini penting karena oleh gubernur, 12 butir pernyataan sikap itu dijadikan dasar dan tolok ukur untuk menilai apakah Jemaat Ahmadiyah telah melakukan pelanggaran atau tidak.
Pada 14 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah mengeluarkan 12 butir pernyataan, setelah melalui rentetan dialog dengan Departemen Agama. Pernyataan itu terkait dengan rapat Pakem yang akhirnya menetapkan bahwa negara tidak melarang Jemaat Ahmadiyah.
Kalau disimak cermat, segera terlihat butir pernyataan itu terdiri dari dua kategori. Butir 1-6 berisi “keyakinan” keagamaan. Butir 7-12 berisi “tindakan” keagamaan. Khusus butir 1-3 berisi keyakinan yang secara implisit membantah tudingan bahwa Jemaat Ahmadiyah meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (pendiri) sebagai nabi selain Muhammad Rasulullah SAW. Tudingan inilah yang sering dijadikan alasan menolak kehadirannya.
Pertanyaan kita: dengan butir pernyataan keyakian seperti ini, gubenur mau memantau kegiatan keagamaan dan perkembangan Jemaat Ahmadiyah di NTT? Sejak kapan Indonesia menjadi negara teokrasi? Konstruksi konstitusi kita adalah konstruksi negara demokrasi, dalam pengertian tertentu adalah juga negara sekular.
Negara tidak berwenang menentukan mana agama tepat, mana agama sesat. Negara tidak berhak mencampuri aqidah internal umat beragama. Negara tidak berhak memvonis mana doktrin lurus dan mana doktrin bengkok. Isi keyakinan agama bukanlah urusan negara. Tetapi, bila isi keyakinan itu melahirkan kriminalitas, negara wajib menghukum pelaku tindakannya, bukan melarang isi keyakinannya.
Dalam konteks ini, kalaupun ada yag disebut kementerian agama, wewenangnya hanya menyangkut administrasi penyelenggaraan ritus agama, aturan pendirian rumah ibadah, dll. Dengan catatan: menteri agama tetaplah menteri di sebuah republik manusia. Ia pembantu presiden, bukan asisten Tuhan. Gubernur NTT juga begitu!
Dengan ini, kita mengkritisi satu lagi pernyataan Gubernur Lebu Raya. Dia bilang: kerukunan antar-umat beragama di NTT telah terbina, jangan terganggu hanya dengan kehadrian kelompok lain. Kelompok lain, maksudnya Jemaat Ahmadiyah? Lantas, NTT mau melarang dan/atau mengenyahkan kelompok lain ini? Atas dasar apa dan wewenang siapa? Yang benar saja!
“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Maret 2011
1 komentar:
P' Frans yang baik hati, yang dilarang oleh pemerintah bukan masalah keyakinan ato agama tpi Penistaan Ahmadiyah Terhadap Ajaran Islam. sebagai seorang muslim, Penistaan terhadap Din Islam adlah sebuah prahara / bencana. Klo Ahmadiyah mendirikan agama baru berupa Agama Ahmadiyah itu boleh saja karna itu hak asasi seseorang, tapi kalo tetap membawa nama Islam Itu adalah PENISTAAN. Dan itu melanggar Undang-Undang di Repoblik Indonesia.
Posting Komentar