Sidang Kasus Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Tim penasihat hukum terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja meminta kepada Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya agar persidangan kasus Romo Faustin Sega Pr dilakukan tertutup. Alasannya: ada beberapa hal yang membuat Theresia Tawa malu memberi keterangan di hadapan majelis hakim kalau persidangannya terbuka untuk umum. Permintaan ini ditolak. Sebab, tidak ada dasar hukum yang cukup (Flores Pos Rabu 17 Februari 2010).
Ini permintaan ketiga. Dua permintaan sebelumnya berkenaan dengan tempat sidang. Permintan pertama, jauh sebelum sidang digelar di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dilangsungkan di Kupang. Permintaan kedua, saat sidang sudah tiga kali di PN Bajawa. Isinya, meminta sidang dipindahkan ke Kupang. Alasan dua permintaan ini sama. Khawatir akan tekanan massa yang bisa mengakibatkan peradilan tidak fair.
Pada permintaan ketiga, tempat sidang tidak dipersoalkan. Artinya, ’boleh’ tetap di PN Bajawa, ’asalkan’ sidangnya tertutup. Alasannya pun berbeda. Bukan lagi tekanan massa, tapi rasa malu Theresia Tawa. Katanya, ada beberapa hal yang membuat ia malu kalau itu ia sampaikan dalam sidang terbuka. Sebaliknya, tentu, ia tidak malu kalau sidangnya tertutup.
Kata kuncinya di sini, ”rasa malu”. Pertanyaan kita: bolehkah rasa malu terdakwa dijadikan pembenaran untuk mengubah sidang dari terbuka menjadi tertutup? Kalau itu dibolehkan, dasar hukumnya apa? Ketua Majelis Hakim PN Bajawa Johanes Heru Sujaya mengatakan tidak ada dasar hukum yang cukup. Jawabannya kurang jelas dan kurang tegas. Sesungguhnya, bukan hanya tidak cukup, dasar hukumnya memang tidak ada.
Silakan bolak-balik semua kitab hukum positif kita. Tak satu pun yang menjadikan rasa malu terdakwa sebagai dasar sidang tertutup. Dalam KUHAP, sidang dinyatakan tertutup untuk umum hanya dalam perkara kesusilaan atau perkara dengan terdakwa anak-anak (di bawah 18 tahun). Meski demikian, putusan atas perkara tersebut tetap harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Jika tidak, putusan itu batal demi hukum.
Adanya pengecualian menunjukkan bahwa pada prinsipnya sidang itu terbuka untuk umum (openbaar). Artinya, setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Ini ada kaitan dengan hak konstitusional warga. Yakni, hak untuk tahu (right to know) dan hak untuk hadiri pertemuan publik (right to attend public meeting).
Asas openbaar sendiri punya tiga tujuan. Pertama, menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, dengan meletakkan peradilan di bawah penguasaan umum. Kedua, memberi perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan. Ketiga, lebih menjamin objektivitas peradilan dengan pertanggungjawaban pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Melihat ketiga tujuan itu serta sifat kasus Romo Faustin dan usia terdakwa, tidak ada dasarnya sidang harus tertutup. Kasus Romo Faustin itu kasus pembunuhan berencana. Bukan kasus kesusilaan. Terdakwa Theresia Tawa pun bukan anak di bawah umur. Maka, sidang harus tetap terbuka. Tidak boleh dijadikan tertutup hanya karena rasa malu terdakwa.
Lagi pula, malu apanya lagi? Bukankah hal “memalukan” sudah dituturkannya, seenak perutnya, tanpa rasa malu, kepada sebuah media yang juga tanpa rasa malu mencatatnya lalu tanpa verifikasi (karena orangnya sudah meninggal) menerbitkan dan menyebarkannya, padahal publikasi itu tak bedanya dengan pornografi? Waktu itu dia tidak malu. Sekarang baru malu. Ada apa?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Februari 2010
2 komentar:
Tulisan yang sangat bagus. Apakah tulisan ini sudah dipublikasikan di koran lokal (Pos Kupang atau mungkin Flores Pos, dll?). kalau sudah, selamat! kalau belum, rasanya harus diupayakan, untuk menjadi teladan tentang pemberian pendapat secara konstruktif. Salam.
Terima kasih atas apresiasinya. Tulisan ini sudah dimuat pada Flores Pos, pada kolom "Bentara" (editorialnya Flores Pos). Salam.
Frans Anggal
Posting Komentar