Menolak Hukuman Mati
Oleh Frans Anggal
Ada peristiwa penting di bidang hukum dan keadilan di Flores ketika umat Katolik sedang mengarungi masa Puasa jelang Paska 2010. Peristiwa itu: vonis bagi dua terdakwa otak pembunuhan Romo Faustin Sega Pr. Dan, reaksi umat Katolik di Flores terhadap vonis tersebut.
Dalam sidang pembacaan putusan di PN Bajawa, Kamis 25 Maret 2010, majelis hakim menjatuhkan vonis penjara seumur hidup bagi Theresia Tawa dan Anus Waja. Putusan majelis hakim sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010).
Tuntutan jaksa dan putusan hakim lebih rendah daripada harapan bahkan desakan umat. Di awal kasus ini mulai disidangkan, desakan akan tuntutan dan vonis mati sangat kuat. Melalui media, beberapa kali keluarga Romo Faustin menyampaikannya. Namun kemudian, secara perlahan, semua harapan itu mereka letakkan di atas nilai yang semestinya mereka anut. Sebagai orang Katolik, mereka akhirnya paham, sadar, dan menerima ajakan Gereja.
Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, dengan berbagai cara melalui perangkat pastoralnya, mengajak semua orang menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Gereja mempromosikan budaya pengampunan dan rekonsiliasi. Dengan demikian, segala bentuk pengingkaran terhadapnya mesti ditolak, dari aborsi dan eutanasia hingga hukuman mati.
Ajakan ini tidak sia-sia. Buahnya kelihatan saat vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja dibacakan. Hadir, ribuan umat. Namun, suasananya teduh. Saat vonis dibacakan, umat menerimanya dengan baik. Penjara seumur hidup, itulah yang tepat. Bukan hukuman mati. Reaksi pihak keluarga pun sangat positif.
Menurut kuasa hukum keluarga, Petrus Salestinus, dilihat dari pertimbangannya, ada kecenderungan hakim jatuhkan hukuman mati. Namun, karena Gereja menolak hukuman mati, penjara seumur hiduplah yang paling tepat. ”Putusan ini mencerminkan rasa keadilan masyarakat Katolik di Flores,” katanya. Kuasa hukum lain, Meridian Dewanta Dado, menilai putusan ini hasil maksimal. Juga, punya banyak nilai. Di antaranya, Flores jadi rujukan menolak hukuman mati.
Bagi Gereja Katolik Keuskupan Agung Ende, buahnya bukan hanya itu. Vonis ini adalah juga pemastian bahwa Romo Faustin mati karena dibunuh. Jadi, bukan mati wajar sebagaimana diseting oleh pihak tertentu. ”Karena itulah, Gereja Keuskupan Agung Ende berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Adil,” kata Ketua JPIC Romo Rony Neto Wuli Pr. ”Tuhan telah menunjukkan jalan di atas garis-garis manusia yang bengkok.”
Dalam terang Paska, ke arah mana Puasa umat kristiani bermuara, apa yang terjadi itu adalah kebangkitan. Sesuatu yang nyata, kini, dan di sini. ”Kebangkitan adalah suatu mukjizat yang terjadi sekarang ...,” tulis H.A. Williams, ”ditemukan persis di dalam hal-hal yang biasa dan pekerjaan-pekerjaan rutin sehari-hari dalam hidup kita.”
Hubert J. Richards (1989) mengkonkretkannya. ”Setiap kali saya menerima pengampunan dari orang lain, atau menyadari orang lain diampuni, saya mengetahui hidup telah mengatasi kematian. Setiap kali saya melihat tembok penghalang runtuh sehingga kebenaran dapat timbul, betapapun menyakitkan, saya melihat hidup menang atas kematian. Setiap kali saya menyaksikan ketakadilan dipatahkan, atau belaskasihan ditumbuhkan, atau harapan lahir di dalam dunia yang sulit untuk berharap, saya sedang menyaksikan kebangkitan.”
Dalam terang ini pula kita diajak melihat vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja. Ketika penjara seumur hidup yang dijatuhkan bagi keduanya dan bukan hukuman mati, kita sedang menyaksikan kebangkitan. Ketika vonis itu diterima dengan begitu baiknya oleh keluarga Romo Faustin dan umat Katolik, kita pun sedang menyaksikan kebangkitan. Kebangkitan di Flores. Ya, Flores yang bangkit. Flores yang ber-Paska. Profisiat!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 31 Maret 2010
30 Maret 2010
29 Maret 2010
Tolak Sikap Kapolres Mabar
Kaitkan Penegakan Hukum dengan Pemilukada
Oleh Frans Anggal
Kapolres Manggarai Barat (Mabar) Samsuri mengatakan, pihaknya tetap memproses hukum kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. ”Kita sudah lakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Kita lakukan secara profesional, sesuai dengan aturan. Kapolda (NTT) sudah sampaikan ini kepada saya. Hanya, waktunya masih panjang” (Flores Pos Senin 29 Maret 2010).
Ada kalimat ’menarik’ di sini. Yakni: ”kita lakukan secara profesional”, namun ”waktunya masih panjang”. Kenapa masih panjang? Karena proses hukum kasus ini dikaitkan dengan pemilukada. Kapolres ajak semua pihak sukseskan pemilukada. Yang gagalkan akan diproses secara hukum.
Kita menolak tegas pengaitan seperti ini. Ada mindset sesat di baliknya. Pemilukada dianggap lebih penting daripada penegakan hukum. Politik lebih tinggi, dan karena itu hukum harus mengalah. Ritus politik harus tepat waktu, sedangkan penegakan hukum boleh bertele-tele, ditunda-tunda, atau dalam bahasa kapolres ”waktunya masih panjang”.
Kalau benar demikian prinsipnya, Polres Mabar mesti konsisten. Demi lancar, aman, tertib, dan suksesnya pemilukada, penegakan hukum bagi kasus apa saja boleh ditunda-tunda. Kalau ada yang babat hutan, pelakunya tidak harus segera ditangkap, karena ”waktunya masih panjang”, tunggu selesai pemilukada.
Dalam kenyataan, justru tidak begitu. Banyak pelaku pembalakan liar ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka. Kenapa mereka tidak diperlakukan seperti Bupati Pranda dan kuasa pertambangan yang jangankan ditangkap, diperiksa saja belum? Inkonsistensi ini menunjukkan, pemilukada bukanlah alasan tepat menunda penegakan hukum. Kalau begitu? Pemilukada sedang dijadikan tameng bagi diskriminasi perlakukan hukum.
Seandainya Fidelis Pranda bukan bupati dan bukan incumbent yang sedang siap bertarung dalam pemilukada, ceritanya pasti lain. Seandaianya dia itu orang kecil, perlakuan terhadapnya pasti sama dengan perlakuan terhadap banyak pelaku pembalakan liar yang sudah ditangkap, ditahan, dan ditetapan jadi tersangka. Karena dia bupati, dia belum diperiksa. Karena dia incumbent, maka ”waktunya masih panjang”.
Waktunya masih panjang, padahal selama ini sudah berkepanjangan. Geram melaporkan kasus Batu Gosok dan Tebedo pada 14 September 2009. Enam bulan berlalu. Hasilnya? Kapolres Samsuri katakan, banyak saksi sudah diperiksa. Dalam kasus Batu Gosok 11 saksi, dalam kasus Tebedo 17 saksi. Banyak memang, tapi itu hanya para pihak terkait, bukan pihak yang paling bertanggung jawab. Bupati Pranda pemberi izin ilegal eksplorasi tambang emas itu belum diperiksa. Kuasa pertambangan pelaku eksplorasi ilegal pun demikian.
Inikah kerja profesional menurut Kapolres Samsuri? Jelas tidak. Enam bulan itu terlalu lama. Kenapa? Tindak pelanggaran hukum dalam kedua kasus ini sangat jelas. Pelaku pelanggarannya sangat jelas. Bukti dan dampaknya pun sangat jelas, bahkan kasatmata. Ibarat bubur, kedua kasus ini bubur dingin, bukan bubur panas. Maka, untuk menghabiskannya, tidak perlu berlama-lama menyenduk dari pinggir. Bisa langsung ke tengah, ke inti, ke Bupati Pranda dan kuasa pertambangan. Tapi, polres tidak lakukan itu.
Enam bulan lewat, sekarang kapolres kaitkan proses hukum itu dengan pemilukada. Selain dilatari mindset sesat, pengaitan tersebut memperlambat proses hukum. Juga, menginjak-injak keadilan. Karena, ini hanya akan menguntungkan nila setitik yang justru sudah merusak susu sebelanga.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Kapolres Manggarai Barat (Mabar) Samsuri mengatakan, pihaknya tetap memproses hukum kasus eksplorasi tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. ”Kita sudah lakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Kita lakukan secara profesional, sesuai dengan aturan. Kapolda (NTT) sudah sampaikan ini kepada saya. Hanya, waktunya masih panjang” (Flores Pos Senin 29 Maret 2010).
Ada kalimat ’menarik’ di sini. Yakni: ”kita lakukan secara profesional”, namun ”waktunya masih panjang”. Kenapa masih panjang? Karena proses hukum kasus ini dikaitkan dengan pemilukada. Kapolres ajak semua pihak sukseskan pemilukada. Yang gagalkan akan diproses secara hukum.
Kita menolak tegas pengaitan seperti ini. Ada mindset sesat di baliknya. Pemilukada dianggap lebih penting daripada penegakan hukum. Politik lebih tinggi, dan karena itu hukum harus mengalah. Ritus politik harus tepat waktu, sedangkan penegakan hukum boleh bertele-tele, ditunda-tunda, atau dalam bahasa kapolres ”waktunya masih panjang”.
Kalau benar demikian prinsipnya, Polres Mabar mesti konsisten. Demi lancar, aman, tertib, dan suksesnya pemilukada, penegakan hukum bagi kasus apa saja boleh ditunda-tunda. Kalau ada yang babat hutan, pelakunya tidak harus segera ditangkap, karena ”waktunya masih panjang”, tunggu selesai pemilukada.
Dalam kenyataan, justru tidak begitu. Banyak pelaku pembalakan liar ditangkap, ditahan, dijadikan tersangka. Kenapa mereka tidak diperlakukan seperti Bupati Pranda dan kuasa pertambangan yang jangankan ditangkap, diperiksa saja belum? Inkonsistensi ini menunjukkan, pemilukada bukanlah alasan tepat menunda penegakan hukum. Kalau begitu? Pemilukada sedang dijadikan tameng bagi diskriminasi perlakukan hukum.
Seandainya Fidelis Pranda bukan bupati dan bukan incumbent yang sedang siap bertarung dalam pemilukada, ceritanya pasti lain. Seandaianya dia itu orang kecil, perlakuan terhadapnya pasti sama dengan perlakuan terhadap banyak pelaku pembalakan liar yang sudah ditangkap, ditahan, dan ditetapan jadi tersangka. Karena dia bupati, dia belum diperiksa. Karena dia incumbent, maka ”waktunya masih panjang”.
Waktunya masih panjang, padahal selama ini sudah berkepanjangan. Geram melaporkan kasus Batu Gosok dan Tebedo pada 14 September 2009. Enam bulan berlalu. Hasilnya? Kapolres Samsuri katakan, banyak saksi sudah diperiksa. Dalam kasus Batu Gosok 11 saksi, dalam kasus Tebedo 17 saksi. Banyak memang, tapi itu hanya para pihak terkait, bukan pihak yang paling bertanggung jawab. Bupati Pranda pemberi izin ilegal eksplorasi tambang emas itu belum diperiksa. Kuasa pertambangan pelaku eksplorasi ilegal pun demikian.
Inikah kerja profesional menurut Kapolres Samsuri? Jelas tidak. Enam bulan itu terlalu lama. Kenapa? Tindak pelanggaran hukum dalam kedua kasus ini sangat jelas. Pelaku pelanggarannya sangat jelas. Bukti dan dampaknya pun sangat jelas, bahkan kasatmata. Ibarat bubur, kedua kasus ini bubur dingin, bukan bubur panas. Maka, untuk menghabiskannya, tidak perlu berlama-lama menyenduk dari pinggir. Bisa langsung ke tengah, ke inti, ke Bupati Pranda dan kuasa pertambangan. Tapi, polres tidak lakukan itu.
Enam bulan lewat, sekarang kapolres kaitkan proses hukum itu dengan pemilukada. Selain dilatari mindset sesat, pengaitan tersebut memperlambat proses hukum. Juga, menginjak-injak keadilan. Karena, ini hanya akan menguntungkan nila setitik yang justru sudah merusak susu sebelanga.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 30 Maret 2010
Label:
bentara,
bupati mabar fidelis pranda,
ekplorasi tambang emas batu gosok dan tebedo,
flores,
flores pos,
hukum,
kapolres mabar samsuri,
manggarai barat
Karena Faktor ”Anak Bupati”?
Tuntutan Jaksa dalam Kasus Langoday
Oleh Frans Anggal
Setelah perkara pembunuhan Romo Faustin Sega Pr diputus oleh majelis hakim PN Bajawa, Kabupaten Ngada, Kamis 25 Maret 2010, masyarakat Flores-Lembata kini menunggu-nunggu putusan perkara pembunuhan Yoakim Langoday oleh majelis hakim PN Lewoleba, Kabupaten Lembata. Menurut jadwal sidang, pembacaan putusan dilangsungkan 6 April untuk tiga eksekutor dan 7 April untuk dua otak pembunuhan.
Dalam menunggu-nunggu itu, yang menjadi pertanyaan pokok masyarakat bukan hanya bagaimana putusan majelis hakim PN Lewoleba nanti terhadap para terdakwa kasus Langoday, tapi juga bagaimana perbandingannya dengan putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim PN Bajawa dalam kasus Romo Faustin.
Pembandingan sulit dielakkan. Kedua kasus itu sama-sama pembunuhan berencana. Kedua jaksa dalam kedua kasus itu sama-sama gunakan pasal 340 KUHP. Pasal ini pun sama-sama dikenakan pada terdakwa otak pembunuhan. Yakni, Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, serta Erni Manuk dan Bambang Trihantara dalam kasus Langoday.
Meski kedua kasus itu punya kesamaan demikian, tuntutan jaksa terhadap terdakwa otak pembunuhan ternyata berbeda. Dalam kasus Romo Faustin, terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja dituntut hukuman penjara seumur hidup. Dalam kasus Langoday, terdakwa Erni Manuk dan Bambang Trihantara dituntut hukuman penjara 20 tahun.
Kenapa bisa beda jauh begini? Ketika masyarakat mempertanyakan hal ini, Kajari Lewoleba hanya bilang, tuntutan itu ditetapkan oleh Kejati NTT di Kupang. Ini jawaban yang bukan jawaban. Kalaupun semua tuntutan ditetapkan oleh kejati, alasan pembedaan satu dengan lainnya harus ada. Harus tepat. Dan harus disampaikan kepada publik. Ini yang tidak dipenuhi Kejari Lewoleba. Terkesan, kejari hanya bonekanya kejati.
Karena kejari tidak bisa memenuhi hak publik untuk tahu, publik pun membaca pembedaan itu sebagai diskriminasi. Bacaan publik: tuntutannya hanya 20 tahun penjara karena salah satu terdakwanya, Erni Manuk, anak Andreas Duli Manuk, bupati Lembata (Flores Pos Sabtu 27 Maret 2010). Terimplisit di sini: seandainya Erni itu anak orang kampung, seperti Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, ia dan Bambang Trihantara pasti dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Selama Kejari Lewoleba tidak menjelaskan dasar yang tepat menjawabi pertanyaan publik itu, keyakinan publik akan tetap bertahan, bahkan akan semakin menggumpal. Bahwa, faktor ”anak bupati” itulah yang mempengaruhi bahkan menentukan tuntutan jaksa. Kalau benar itu faktornya, Kejari Lewoleba telah gagal sebagai institusi sebuah negara hukum.
Dalam negara hukum, jaksa itu wakil negara (state). Hubungannya dengan warga (citizen) hanya boleh dalam wilayah kerja hukum. Maka, di matanya, warga itu hanya dilihat sejauh mana bertindak kriminal atau tidak. Karena itu, hanya ada dua jenis warga: yang taat hukum dan yang langgar hukum. Yang langgar hukum wajib dituntutnya. Besar kecilnya tuntutan hanya berdasarkan delik, bukan berdasarkan hal-hal non-delik seperti anak bupati atau bukan.
Kalau Kejari Lewoleba telah gagal, harapan satu-satunya kini tinggal PN Lewoleba. Maka, masyarakat Flores-Lembata menunggu-nunggu seperti apakah putusannya nanti. Apakah sama dengan tuntutan jaksa? Ataukah lebih tinggi? Ataukah lebih rendah? Apa pun putusannya, itu akan menentukan seperti apakah PN Lewoleba di mata publik.
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Setelah perkara pembunuhan Romo Faustin Sega Pr diputus oleh majelis hakim PN Bajawa, Kabupaten Ngada, Kamis 25 Maret 2010, masyarakat Flores-Lembata kini menunggu-nunggu putusan perkara pembunuhan Yoakim Langoday oleh majelis hakim PN Lewoleba, Kabupaten Lembata. Menurut jadwal sidang, pembacaan putusan dilangsungkan 6 April untuk tiga eksekutor dan 7 April untuk dua otak pembunuhan.
Dalam menunggu-nunggu itu, yang menjadi pertanyaan pokok masyarakat bukan hanya bagaimana putusan majelis hakim PN Lewoleba nanti terhadap para terdakwa kasus Langoday, tapi juga bagaimana perbandingannya dengan putusan yang telah dijatuhkan majelis hakim PN Bajawa dalam kasus Romo Faustin.
Pembandingan sulit dielakkan. Kedua kasus itu sama-sama pembunuhan berencana. Kedua jaksa dalam kedua kasus itu sama-sama gunakan pasal 340 KUHP. Pasal ini pun sama-sama dikenakan pada terdakwa otak pembunuhan. Yakni, Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, serta Erni Manuk dan Bambang Trihantara dalam kasus Langoday.
Meski kedua kasus itu punya kesamaan demikian, tuntutan jaksa terhadap terdakwa otak pembunuhan ternyata berbeda. Dalam kasus Romo Faustin, terdakwa Theresia Tawa dan Anus Waja dituntut hukuman penjara seumur hidup. Dalam kasus Langoday, terdakwa Erni Manuk dan Bambang Trihantara dituntut hukuman penjara 20 tahun.
Kenapa bisa beda jauh begini? Ketika masyarakat mempertanyakan hal ini, Kajari Lewoleba hanya bilang, tuntutan itu ditetapkan oleh Kejati NTT di Kupang. Ini jawaban yang bukan jawaban. Kalaupun semua tuntutan ditetapkan oleh kejati, alasan pembedaan satu dengan lainnya harus ada. Harus tepat. Dan harus disampaikan kepada publik. Ini yang tidak dipenuhi Kejari Lewoleba. Terkesan, kejari hanya bonekanya kejati.
Karena kejari tidak bisa memenuhi hak publik untuk tahu, publik pun membaca pembedaan itu sebagai diskriminasi. Bacaan publik: tuntutannya hanya 20 tahun penjara karena salah satu terdakwanya, Erni Manuk, anak Andreas Duli Manuk, bupati Lembata (Flores Pos Sabtu 27 Maret 2010). Terimplisit di sini: seandainya Erni itu anak orang kampung, seperti Theresia Tawa dan Anus Waja dalam kasus Romo Faustin, ia dan Bambang Trihantara pasti dituntut hukuman penjara seumur hidup.
Selama Kejari Lewoleba tidak menjelaskan dasar yang tepat menjawabi pertanyaan publik itu, keyakinan publik akan tetap bertahan, bahkan akan semakin menggumpal. Bahwa, faktor ”anak bupati” itulah yang mempengaruhi bahkan menentukan tuntutan jaksa. Kalau benar itu faktornya, Kejari Lewoleba telah gagal sebagai institusi sebuah negara hukum.
Dalam negara hukum, jaksa itu wakil negara (state). Hubungannya dengan warga (citizen) hanya boleh dalam wilayah kerja hukum. Maka, di matanya, warga itu hanya dilihat sejauh mana bertindak kriminal atau tidak. Karena itu, hanya ada dua jenis warga: yang taat hukum dan yang langgar hukum. Yang langgar hukum wajib dituntutnya. Besar kecilnya tuntutan hanya berdasarkan delik, bukan berdasarkan hal-hal non-delik seperti anak bupati atau bukan.
Kalau Kejari Lewoleba telah gagal, harapan satu-satunya kini tinggal PN Lewoleba. Maka, masyarakat Flores-Lembata menunggu-nunggu seperti apakah putusannya nanti. Apakah sama dengan tuntutan jaksa? Ataukah lebih tinggi? Ataukah lebih rendah? Apa pun putusannya, itu akan menentukan seperti apakah PN Lewoleba di mata publik.
“Bentara” FLORES POS, Senin 29 Maret 2010
Label:
bentara,
bupati andreas duli manuk,
erni manuk,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian yoakim langoday,
lembata
26 Maret 2010
Bupati Rotok Mengecewakan!
Tertundanya Sidang Class Action Kasus Tambang
Oleh Frans Anggal
Betapa kecewanya warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Sudah dijadwalkan sebulan sebelumnya, sidang digelar 25 Maret 2010. Namun, pada hari-H, hanya 1 dari 5 tergugat yang hadir. Sidang pun ditunda satu bulan ke depan. Dijadwalkan, 22 April 2010 (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010)
Warga lingkar tambang kecewa, tidak hanya karena sidang itu ditunda. Tapi juga karena dua hal terkait. Pertama, sebagaimana disampaikan majelis hakim, tidak ada keterangan dari keempat tergugat perihal ketidakhadiran dan alasan ketidakhadiran mereka. Kedua, satu dari empat tergugat yang tidak hadir itu bukan siapa-siapa tapi Bupati Manggarai Christian Rotok.
”Ini menjadi tanda tanya besar .... Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati sehingga (bupati) tidak bisa hadiri persidangan ini?” Begitu kata Emil Sarwandi, warga lingkar tambang. Selain Bupati Rotok, tergugat yang mangkir adalah PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Menteri ESDM. Yang hadir hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA).
Dalam gugatannya, warga lingkar tambang antara lain mendesak penambangan mangan di kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan. Penambangan itu ilegal karena tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Juga, telah terbukti nyata merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Warga menuntut ganti rugi dan rehabilitasi lingkungan.
Tidak hadirnya tiga tergugat lain mungkin dapat dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Barangkali karena jauh. Tidak demikian dengan tidak hadirnya Bupati Rotok. ”Ini menjadi tanda tanya besar ....,” kata Emil Sarwandi. ”Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati ....?
Emil Sarwandi melihat jarak itu secara lokatif. Kantor bupati dan kantor PN sama-sama terletak di Ruteng. Sama-sama dalam bilangan pusat kota. Jaraknya cuma dua ratusan meter. Sedekat itu jaraknya, koq bupati tidak bisa hadiri persidangan. Ini yang ”menjadi tanda tanya besar”, tidak hanya pada diri Emil Sarwandi, tapi juga pada diri semua warga lingkar tambang.
Tanda tanya besar itu lahir karena jarak tadi dilihat secara lokatif. Masih ada cara pandang lain. Yakni, melihat jarak tidak secara lokatif, tapi secara psikologis. Dengan demikian, kedekatan yang ditekankan bukan kedekatan lokatif, tapi kedekatan psikologis. Dengan cara pandang ini, apa yang dapat kita katakan tentang ketidakhadiran bupati? Ia tidak punya kedekatan psikologis dengan masyarakatnya. Dalam hal ini, dengan masyarakat lingkar tambang. Bahkan, mungkin, ia tidak peduli dengan derita mereka. Juga, tidak peduli dengan perjuangan mereka mencari keadilan.
Penalarannya sederhana saja. Dengan tidak hadirnya bupati bersama tiga tergugat lain, sidang tersebut terpaksa ditunda. Artinya apa? Sebulan ke depan, penambangan jalan terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Derita masyarakat jalan terus. Benar kata pepatah Latin, Periculum in mora. Bahaya mengintai dalam penundaan.
Kalau demikian cara pandang kita, komentar Emil Sarwani tadi harus diubah. Ketidakhadiran Bupati Rotok pada pesidangan itu bukan lagi ”menjadi tanda tanya besar”, tapi ”menjadi tanda seru besar”. Yakni, bahwa: terhadap masyarakatnya yang sedang menderita dan memperjuangkan keadilan, ia dekat di mata tapi jauh di hati. Padahal, idealnya: dekat di mata, dekat di hati. Minimal, meminjam pepatah: jauh di mata, dekat di hati. Mengecewakan!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Betapa kecewanya warga lingkar tambang Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai. Sidang gugatan perwakilan (class action) yang mereka ajukan ke PN Ruteng ditunda. Sudah dijadwalkan sebulan sebelumnya, sidang digelar 25 Maret 2010. Namun, pada hari-H, hanya 1 dari 5 tergugat yang hadir. Sidang pun ditunda satu bulan ke depan. Dijadwalkan, 22 April 2010 (Flores Pos Jumat 26 Maret 2010)
Warga lingkar tambang kecewa, tidak hanya karena sidang itu ditunda. Tapi juga karena dua hal terkait. Pertama, sebagaimana disampaikan majelis hakim, tidak ada keterangan dari keempat tergugat perihal ketidakhadiran dan alasan ketidakhadiran mereka. Kedua, satu dari empat tergugat yang tidak hadir itu bukan siapa-siapa tapi Bupati Manggarai Christian Rotok.
”Ini menjadi tanda tanya besar .... Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati sehingga (bupati) tidak bisa hadiri persidangan ini?” Begitu kata Emil Sarwandi, warga lingkar tambang. Selain Bupati Rotok, tergugat yang mangkir adalah PT Tribina Sempurna, PT Istindo Mitra Perdana, dan Menteri ESDM. Yang hadir hanya PT Sumber Jaya Asia (SJA).
Dalam gugatannya, warga lingkar tambang antara lain mendesak penambangan mangan di kawasan hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan. Penambangan itu ilegal karena tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Juga, telah terbukti nyata merusak lingkungan dan kehidupan masyarakat. Warga menuntut ganti rugi dan rehabilitasi lingkungan.
Tidak hadirnya tiga tergugat lain mungkin dapat dimengerti, meski tidak dapat dibenarkan. Barangkali karena jauh. Tidak demikian dengan tidak hadirnya Bupati Rotok. ”Ini menjadi tanda tanya besar ....,” kata Emil Sarwandi. ”Apakah begitu jauh jarak antara PN Ruteng dan kantor bupati ....?
Emil Sarwandi melihat jarak itu secara lokatif. Kantor bupati dan kantor PN sama-sama terletak di Ruteng. Sama-sama dalam bilangan pusat kota. Jaraknya cuma dua ratusan meter. Sedekat itu jaraknya, koq bupati tidak bisa hadiri persidangan. Ini yang ”menjadi tanda tanya besar”, tidak hanya pada diri Emil Sarwandi, tapi juga pada diri semua warga lingkar tambang.
Tanda tanya besar itu lahir karena jarak tadi dilihat secara lokatif. Masih ada cara pandang lain. Yakni, melihat jarak tidak secara lokatif, tapi secara psikologis. Dengan demikian, kedekatan yang ditekankan bukan kedekatan lokatif, tapi kedekatan psikologis. Dengan cara pandang ini, apa yang dapat kita katakan tentang ketidakhadiran bupati? Ia tidak punya kedekatan psikologis dengan masyarakatnya. Dalam hal ini, dengan masyarakat lingkar tambang. Bahkan, mungkin, ia tidak peduli dengan derita mereka. Juga, tidak peduli dengan perjuangan mereka mencari keadilan.
Penalarannya sederhana saja. Dengan tidak hadirnya bupati bersama tiga tergugat lain, sidang tersebut terpaksa ditunda. Artinya apa? Sebulan ke depan, penambangan jalan terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Derita masyarakat jalan terus. Benar kata pepatah Latin, Periculum in mora. Bahaya mengintai dalam penundaan.
Kalau demikian cara pandang kita, komentar Emil Sarwani tadi harus diubah. Ketidakhadiran Bupati Rotok pada pesidangan itu bukan lagi ”menjadi tanda tanya besar”, tapi ”menjadi tanda seru besar”. Yakni, bahwa: terhadap masyarakatnya yang sedang menderita dan memperjuangkan keadilan, ia dekat di mata tapi jauh di hati. Padahal, idealnya: dekat di mata, dekat di hati. Minimal, meminjam pepatah: jauh di mata, dekat di hati. Mengecewakan!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 27 Maret 2010
25 Maret 2010
”Quo Vadis” Birokrasi Ende?
Kasus Proyek Jalan di Desa
Oleh Frans Anggal
Banyak jalan tani tahun 2009 di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, bermasalah. Pengerjaannya tidak sesuai dengen bestek. Namun, dalam laporan kepada DPRD, dinas pertanian selaku pemilik proyek menyebutkan realisasi fisik dan dananya seratus persen. Bermasalahnya proyek jalan itu tersingkap berkat pengaduan warga ke DPRD. Dan, diperjelas melalui kunjungan DPRD ke lokasi proyek (Flores Pos Kamis 25 Maret 2010).
Di Desa Welamosa, misalnya, pengerjaan jalan tidak sesuai dengan volume. Tidak sampai 1 km. Selain belum selesai, pengerjaannya lompat-lompat. Di Desa Mautenda Barat, pengerjaan yang seharusnya 1 km hanya dibikin 508 meter. Lebar yang seharusnya 2 meter dibuat 3 meter. Teknik pengerjaannya pun asal-asalan.Tanpa pengerasan. Maka, pasir terhanyut saat hujan. Bebatuan jalan mencuat. Proyek ini pun tanpa papan nama. Tidak sepengetahuan pemdes. Dan tidak melibatkan warga setempat.
Dengan hasil pengerjaan seperti ini, bagaimana bisa dinas pertanian melaporkan realisasinya seratus persen? Kemungkinan pertama, pihak dinas tidak lakukan pengecekan lapangan. Percaya saja pada penyampaian kontraktor. Sistem pengawasannya administratif melulu. Inilah birokrasi dalam artian jelek. Yakni, dunia otonom berupa ’kertas-kertas bergerak’, istilah sosiolog Peter L. Berger.
Kemungkinan kedua, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, tapi tanpa kompetensi. Dalam sistem birokrasi, kompetensi berarti pengetahuan mahir yang sesuai dengan ruang lingkup tertentu dan hanya atas ruang lingkup tertentu itu. Dalam kaitan dengan proyek jalan, petugas dinas empunya proyek minimal memahami bestek, serta mampu mengidentifikasi kesesuaian dan ketidaksesuaian antara berstek dan pengerjaan proyek. Tanpa kompetensi minimal ini, petugas dinas mudah terkibul atau dikibuli.
Kemungkinan ketiga, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, dengan kompetensi, namun tanpa etika. Dalam pengecekan itu, dinas temukan masalah, akan tetapi tidak dipermasalahkan, karena sudah ’diselesaikan tanpa masalah’. Karena sudah ’diselesikan’ itulah maka kepada DPRD, dinas menyampaikan laporan fiktif: semuanya beres. Realisasi fisik dan dana proyek seratus persen.
Apa perbedaan antara ketiga kemungkinan itu? Pada yang pertama, yang terjadi adalah ”kelalaian”. Pada yang kedua, yang terjadi adalah ”kebodohan”. Pada yang ketiga, yang terjadi adalah ”kejahatan”. Kita belum memiliki cukup bahan untuk memastikan pada kategori mana sebab-musabab masalah proyek ini dapat dimasukkan. Bisa pada salah satu kategori. Bisa pula pada gabungannya. Ini yang perlu diselidiki.
Apa pun kategorinya, tetap saja kontraktor dan dinas pertanian yang bersalah. Dua-duanya harus bertanggung jawab. Kendati demikian, anak timbangan bagi dinas pertanian lebih berat. Sebab, dinas ini bagian dari pemerintah, bahkan pemerintah itu sendiri. Pemerintah adalah pembuat aturan (regulator). Bagaimana bisa, pembuat aturan melanggar sendiri aturan yang dibuatnya. Bobot kesalahannya harus lebih besar.
Dalam konteks Kabupaten Ende, di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Ahmad Mochdar, pembobotan kesalahan dinas pertanian selaku SKPD sangatlah penting. Sebab, persoalan ini menukik dan menghujam langsung ke jantung birokrasi pemkab.
Reformasi birokrasi merupakan gong yang ditabuh Wangge-Mochdar saat keduanya dilantik April 2009. Hasilnya? Setelah reformasi itu berjalan, ternyata mentalitas lama birokrat masih terwariskan. Kalau banyak yang masih seperti ini, quo vadis birokrasi Ende? ’Ke manakah engkau melangkah’?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Banyak jalan tani tahun 2009 di Kecamatan Wewaria, Kabupaten Ende, bermasalah. Pengerjaannya tidak sesuai dengen bestek. Namun, dalam laporan kepada DPRD, dinas pertanian selaku pemilik proyek menyebutkan realisasi fisik dan dananya seratus persen. Bermasalahnya proyek jalan itu tersingkap berkat pengaduan warga ke DPRD. Dan, diperjelas melalui kunjungan DPRD ke lokasi proyek (Flores Pos Kamis 25 Maret 2010).
Di Desa Welamosa, misalnya, pengerjaan jalan tidak sesuai dengan volume. Tidak sampai 1 km. Selain belum selesai, pengerjaannya lompat-lompat. Di Desa Mautenda Barat, pengerjaan yang seharusnya 1 km hanya dibikin 508 meter. Lebar yang seharusnya 2 meter dibuat 3 meter. Teknik pengerjaannya pun asal-asalan.Tanpa pengerasan. Maka, pasir terhanyut saat hujan. Bebatuan jalan mencuat. Proyek ini pun tanpa papan nama. Tidak sepengetahuan pemdes. Dan tidak melibatkan warga setempat.
Dengan hasil pengerjaan seperti ini, bagaimana bisa dinas pertanian melaporkan realisasinya seratus persen? Kemungkinan pertama, pihak dinas tidak lakukan pengecekan lapangan. Percaya saja pada penyampaian kontraktor. Sistem pengawasannya administratif melulu. Inilah birokrasi dalam artian jelek. Yakni, dunia otonom berupa ’kertas-kertas bergerak’, istilah sosiolog Peter L. Berger.
Kemungkinan kedua, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, tapi tanpa kompetensi. Dalam sistem birokrasi, kompetensi berarti pengetahuan mahir yang sesuai dengan ruang lingkup tertentu dan hanya atas ruang lingkup tertentu itu. Dalam kaitan dengan proyek jalan, petugas dinas empunya proyek minimal memahami bestek, serta mampu mengidentifikasi kesesuaian dan ketidaksesuaian antara berstek dan pengerjaan proyek. Tanpa kompetensi minimal ini, petugas dinas mudah terkibul atau dikibuli.
Kemungkinan ketiga, pihak dinas lakukan pengecekan lapangan, dengan kompetensi, namun tanpa etika. Dalam pengecekan itu, dinas temukan masalah, akan tetapi tidak dipermasalahkan, karena sudah ’diselesaikan tanpa masalah’. Karena sudah ’diselesikan’ itulah maka kepada DPRD, dinas menyampaikan laporan fiktif: semuanya beres. Realisasi fisik dan dana proyek seratus persen.
Apa perbedaan antara ketiga kemungkinan itu? Pada yang pertama, yang terjadi adalah ”kelalaian”. Pada yang kedua, yang terjadi adalah ”kebodohan”. Pada yang ketiga, yang terjadi adalah ”kejahatan”. Kita belum memiliki cukup bahan untuk memastikan pada kategori mana sebab-musabab masalah proyek ini dapat dimasukkan. Bisa pada salah satu kategori. Bisa pula pada gabungannya. Ini yang perlu diselidiki.
Apa pun kategorinya, tetap saja kontraktor dan dinas pertanian yang bersalah. Dua-duanya harus bertanggung jawab. Kendati demikian, anak timbangan bagi dinas pertanian lebih berat. Sebab, dinas ini bagian dari pemerintah, bahkan pemerintah itu sendiri. Pemerintah adalah pembuat aturan (regulator). Bagaimana bisa, pembuat aturan melanggar sendiri aturan yang dibuatnya. Bobot kesalahannya harus lebih besar.
Dalam konteks Kabupaten Ende, di bawah Bupati Don Wangge dan Wabup Ahmad Mochdar, pembobotan kesalahan dinas pertanian selaku SKPD sangatlah penting. Sebab, persoalan ini menukik dan menghujam langsung ke jantung birokrasi pemkab.
Reformasi birokrasi merupakan gong yang ditabuh Wangge-Mochdar saat keduanya dilantik April 2009. Hasilnya? Setelah reformasi itu berjalan, ternyata mentalitas lama birokrat masih terwariskan. Kalau banyak yang masih seperti ini, quo vadis birokrasi Ende? ’Ke manakah engkau melangkah’?
“Bentara” FLORES POS, Jumat 26 Maret 2010
Apakah Nagekeo Salah Lahir?
Ketika Wartawan Diancam dan Dimaki
Oleh Frans Anggal
Di Kabupate Nagekeo, seorang staf Dinas Pekerjaan Umum (PU), Elvis Djawa, mengancam dan memaki wartawan gara-gara memberitakan rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay, ibu kota Nagekeo. Persatuan Jurnalis Nagekeo (PJN) mengecam tindakan Elvis. Mereka datangi kantornya, minta klarifikasi. Mulanya Elvis mengelak, tapi kemudian mengaku dan minta maaf. PJN mendesak Bupati Nani Aoh menindak tegas PNS ini secara adminstratif (Flores Pos Rabu 24 Maret 2010).
Rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay mencuat di media pekan sebelumnya. Pemberitaan didasarkan pada pengaduan masyarakat Danga ke DPRD. Intinya, belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, agar tampak seperti hotmiks. Masyarakat mengecam rekanan dan instansi teknis (Dinas PU). DPRD kroscek ke lapngan. Terbukti, pengadukan masyarakat benar. DPRD pun memanggil Kadis PU Mihakel Padi. Sang kadis mengakui mutu pengerjaan jalan itu seperti apa.
Jadi, yang diberitakan media itu kebenaran faktual. Elvis Djawa mengancam dan memaki wartawan justru karena kebenaran itu disingkap. Ia hanya satu dari banyak penyelenggara pemerintahan yang menganggap penyingkapan kebenaran oleh media massa sebagai tindak kejahatan. Karena itulah, wartawan dianggap wajar untuk diancam dan dimaki.
Dalam optik sejarah jurnalisme, mindset para penyelenggara pemerintahan itu ketinggalan kereta berabad-abad. Mereka hidup saat ini di abad 21. Namun, mindset-nya masih menghuni rumah kuno, bahkan rumah hantu, awal abad 18, ketika baru seabad jurnalisme modern lahir di Inggris.
Seperti ditulis Bill Kovach dan Thom Rosentiel (2001), pada saat itu, hukum adat Inggris berbunyi: kritik terhadap pemerintah adalah tindak kejahatan. Benar sekalipun, kritik itu tetaplah jahat. Malah, semakin besar kebenarannya, semakin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya. Kenapa? Karena kebenaran dianggap punya daya rusak yang lebih dahsyat ketimbang kesalahan.
Pada 1720, dua orang dari sebuah surat kabar London, yang menulis dengan nama samaran Cato, memperkenalkan ide yang membalikkan dalil hukum adat Inggris itu. Menurut Cato, kebenaran harus bisa menjadi pembuktian utama untuk menentukan sebuah pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan. Dari ide Cato-lah lahir dalil: truth is the defense of libel. ’Kebenaran merupakan pertahanan melawan pencemaran nama baik’.
Konsep ini kemudian mengilhami lahirnya pers bebas di AS. Dalam konstitusi negara bagian Massachusetts kala itu, misalnya, pers bebas menjadi klaim pertama publik atas pemerintah mereka. Dua abad kemudian, pengertian pers sebagai benteng kebebasan menyatu dalam doktrin hukum AS.
Di Indonesia, hukum adat Inggris awal abad 18 itu masih berlaku jelang akhir abad 20. Puncaknya, era Orde Baru. Kala itu, kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindak kejahatan. Baru pada era Reformasi, dengan UU No 40 Thn 1999 tentang Pers, anggapan tersebut mulai terkikis. Namun, residunya masih melekat pada mindset banyak penyelenggara pemerintahan. Contohnya, Elvis Djawa itu.
Apakah kebanyakan penyelenggara pemerintahan di Nagekeo seperti itu? Mudah-mudahan tidaklah. Kalau kebanyakan masih seperti itu, disayangkan. Itu berarti Nagekeo salah lahir. Semestinya ia lahir dari rahim Orde Baru. Bukan dari rahim Orde Reformasi. Atau, mungkin, semestinya ia lahir di Inggris, di awal abad 18.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Di Kabupate Nagekeo, seorang staf Dinas Pekerjaan Umum (PU), Elvis Djawa, mengancam dan memaki wartawan gara-gara memberitakan rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay, ibu kota Nagekeo. Persatuan Jurnalis Nagekeo (PJN) mengecam tindakan Elvis. Mereka datangi kantornya, minta klarifikasi. Mulanya Elvis mengelak, tapi kemudian mengaku dan minta maaf. PJN mendesak Bupati Nani Aoh menindak tegas PNS ini secara adminstratif (Flores Pos Rabu 24 Maret 2010).
Rendahnya mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay mencuat di media pekan sebelumnya. Pemberitaan didasarkan pada pengaduan masyarakat Danga ke DPRD. Intinya, belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, agar tampak seperti hotmiks. Masyarakat mengecam rekanan dan instansi teknis (Dinas PU). DPRD kroscek ke lapngan. Terbukti, pengadukan masyarakat benar. DPRD pun memanggil Kadis PU Mihakel Padi. Sang kadis mengakui mutu pengerjaan jalan itu seperti apa.
Jadi, yang diberitakan media itu kebenaran faktual. Elvis Djawa mengancam dan memaki wartawan justru karena kebenaran itu disingkap. Ia hanya satu dari banyak penyelenggara pemerintahan yang menganggap penyingkapan kebenaran oleh media massa sebagai tindak kejahatan. Karena itulah, wartawan dianggap wajar untuk diancam dan dimaki.
Dalam optik sejarah jurnalisme, mindset para penyelenggara pemerintahan itu ketinggalan kereta berabad-abad. Mereka hidup saat ini di abad 21. Namun, mindset-nya masih menghuni rumah kuno, bahkan rumah hantu, awal abad 18, ketika baru seabad jurnalisme modern lahir di Inggris.
Seperti ditulis Bill Kovach dan Thom Rosentiel (2001), pada saat itu, hukum adat Inggris berbunyi: kritik terhadap pemerintah adalah tindak kejahatan. Benar sekalipun, kritik itu tetaplah jahat. Malah, semakin besar kebenarannya, semakin besar pula pencemaran nama baik yang ditimbulkannya. Kenapa? Karena kebenaran dianggap punya daya rusak yang lebih dahsyat ketimbang kesalahan.
Pada 1720, dua orang dari sebuah surat kabar London, yang menulis dengan nama samaran Cato, memperkenalkan ide yang membalikkan dalil hukum adat Inggris itu. Menurut Cato, kebenaran harus bisa menjadi pembuktian utama untuk menentukan sebuah pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan. Dari ide Cato-lah lahir dalil: truth is the defense of libel. ’Kebenaran merupakan pertahanan melawan pencemaran nama baik’.
Konsep ini kemudian mengilhami lahirnya pers bebas di AS. Dalam konstitusi negara bagian Massachusetts kala itu, misalnya, pers bebas menjadi klaim pertama publik atas pemerintah mereka. Dua abad kemudian, pengertian pers sebagai benteng kebebasan menyatu dalam doktrin hukum AS.
Di Indonesia, hukum adat Inggris awal abad 18 itu masih berlaku jelang akhir abad 20. Puncaknya, era Orde Baru. Kala itu, kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindak kejahatan. Baru pada era Reformasi, dengan UU No 40 Thn 1999 tentang Pers, anggapan tersebut mulai terkikis. Namun, residunya masih melekat pada mindset banyak penyelenggara pemerintahan. Contohnya, Elvis Djawa itu.
Apakah kebanyakan penyelenggara pemerintahan di Nagekeo seperti itu? Mudah-mudahan tidaklah. Kalau kebanyakan masih seperti itu, disayangkan. Itu berarti Nagekeo salah lahir. Semestinya ia lahir dari rahim Orde Baru. Bukan dari rahim Orde Reformasi. Atau, mungkin, semestinya ia lahir di Inggris, di awal abad 18.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 25 Maret 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
nagekeo,
pencemaran nama baik,
pers,
wartawan diancam dan dimaki
Banalitas di Manggarai
Tambang Mangan di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Kabupaten Sikka PN Ruteng menindaklanjuti gugatan perwakilan (class action) yang diajukan korban penambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di kawasan hutan lindung Soga, RTK 103, Reok. Forcam mendesak penambangan dihentikan karena telah timbulkan dampak negatif yang massif (Flores Pos Selasa 23 Maret 2010).
Desakan Forcam sejalan dengan tuntutan para korban. Yaitu: eksploitasi mangan harus dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Sebelumnya, para korban mengajukan gugatan perdata class action. Menurut rencana, kasus ini disidangkan Kamis 25 Maret. Karena itu, dari segi momentum, desakan Forcam tepat.
Yang diharapkan, PN Ruteng memutuskan perkara ini secara tepat. Pelanggaran hukumnya jelas. PT SJA menambang secara ilegal sejak 2007 karena tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Akibat dari pelanggaran hukum ini pun jelas. Ribuan pohon dalam areal 44 ha hancur. Laut, darat, dan udara tercemar. Sumber air mengering. Maka, bukan hanya lingkungan, kehidupan masyarakat pun dirusakkan.
Bahwa Polres Manggarai diam saja terhadap tindakan pidana telanjang ini, itulah yang mencengangkan. Bahwa Polres Manggarai tetap bungkam meski sudah dilapori korban, itulah yang mengecewakan. Namun para korban tidak putus asa. Mereka tetap berjuang. Mereka miliki harapan. Karena, di Manggarai, dalam kasus ini, masih ada lembaga negara yang masih bisa dipercaya. PN Ruteng.
Apa jadinya kalau lembaga ini pun mengecewakan? Kita tidak tahu, para korban harus ke mana lagi. Apalagi hari gini, siapa peduli? Manggarai lagi sibuk dengan persiapan pesta besar. Pemilukada dan tahbisan uskup. Yang peduli, paling-paling kalangan terbatas, dari JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Almadi NTT, plus Forcam sabagai salah satu paguyuban cendekiawan Manggarai diaspora.
DPRD? Baru berencana turun ke lokasi untuk mengkroscek data dan fakta yang disampaikan masyarakat. Bupati dan wabup? Masih tunggu kasasi setelah kalah banding melawan kuasa pertambangan. Semuanya sedang berproses. Artinya, penambangan berlangsung terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Masyarakat lingkar tambang menderita terus.
Dengan keadaan seperti itu, kalau dilihat dari luar, Manggarai seperti tidak punya hukum dan tata aturan. Padahal, semua lembaga negara yang dibutuhkan untuk itu ada, lengkap. Kalau begitu, apa yang tidak beres? Pemfungsiannya. Semua lembaga tersebut berfungsi, tapi dangkal (banal). Inilah banalitas lembaga negara. Pada tingkat gawat, banalitas tidak hanya berupa peremehan terhadap hal yang penting, tapi juga pembiaran terhadap hal yang buruk.
Tentang banalitas, filosof Hannah Arendt mengambil contoh dari sejarah gelap negerinya sendiri, Jerman. Pembantaian orang Yahudi oleh Hitler. Menurut Arendt, pembantaian itu tidak akan terjadi kalau warga negara Jerman tidak membiarkan Hitler melakukannya. Penambangan di hutan lindung RTK 103 juga begitu. Penghncuran terjadi, tidak hanya karena PT SJA menambang, tapi juga karena lembaga-lembaga negara setempat membiarkannya.
Pembiaran paling mencolok dilakukan Polres Manggarai. Banalitasnya nomor wahid. Mudah-mudahan PN Ruteng tidak ikut-ikutan banal. Kita berharap, lembaga yang masih bisa dipercaya para korban tambang ini menangkap panggilan tugasnya. Duc in altum! Betolaklah lebih ke dalam! Masuklah ke kedalaman just law. Ke kedalaman hukum yang memenuhi rasa keadilan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Forum Cendekiawan Asal Manggarai (Forcam) di Kabupaten Sikka PN Ruteng menindaklanjuti gugatan perwakilan (class action) yang diajukan korban penambangan mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di kawasan hutan lindung Soga, RTK 103, Reok. Forcam mendesak penambangan dihentikan karena telah timbulkan dampak negatif yang massif (Flores Pos Selasa 23 Maret 2010).
Desakan Forcam sejalan dengan tuntutan para korban. Yaitu: eksploitasi mangan harus dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan masyarakat. Sebelumnya, para korban mengajukan gugatan perdata class action. Menurut rencana, kasus ini disidangkan Kamis 25 Maret. Karena itu, dari segi momentum, desakan Forcam tepat.
Yang diharapkan, PN Ruteng memutuskan perkara ini secara tepat. Pelanggaran hukumnya jelas. PT SJA menambang secara ilegal sejak 2007 karena tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Akibat dari pelanggaran hukum ini pun jelas. Ribuan pohon dalam areal 44 ha hancur. Laut, darat, dan udara tercemar. Sumber air mengering. Maka, bukan hanya lingkungan, kehidupan masyarakat pun dirusakkan.
Bahwa Polres Manggarai diam saja terhadap tindakan pidana telanjang ini, itulah yang mencengangkan. Bahwa Polres Manggarai tetap bungkam meski sudah dilapori korban, itulah yang mengecewakan. Namun para korban tidak putus asa. Mereka tetap berjuang. Mereka miliki harapan. Karena, di Manggarai, dalam kasus ini, masih ada lembaga negara yang masih bisa dipercaya. PN Ruteng.
Apa jadinya kalau lembaga ini pun mengecewakan? Kita tidak tahu, para korban harus ke mana lagi. Apalagi hari gini, siapa peduli? Manggarai lagi sibuk dengan persiapan pesta besar. Pemilukada dan tahbisan uskup. Yang peduli, paling-paling kalangan terbatas, dari JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Almadi NTT, plus Forcam sabagai salah satu paguyuban cendekiawan Manggarai diaspora.
DPRD? Baru berencana turun ke lokasi untuk mengkroscek data dan fakta yang disampaikan masyarakat. Bupati dan wabup? Masih tunggu kasasi setelah kalah banding melawan kuasa pertambangan. Semuanya sedang berproses. Artinya, penambangan berlangsung terus. Perusakan lingkungan jalan terus. Masyarakat lingkar tambang menderita terus.
Dengan keadaan seperti itu, kalau dilihat dari luar, Manggarai seperti tidak punya hukum dan tata aturan. Padahal, semua lembaga negara yang dibutuhkan untuk itu ada, lengkap. Kalau begitu, apa yang tidak beres? Pemfungsiannya. Semua lembaga tersebut berfungsi, tapi dangkal (banal). Inilah banalitas lembaga negara. Pada tingkat gawat, banalitas tidak hanya berupa peremehan terhadap hal yang penting, tapi juga pembiaran terhadap hal yang buruk.
Tentang banalitas, filosof Hannah Arendt mengambil contoh dari sejarah gelap negerinya sendiri, Jerman. Pembantaian orang Yahudi oleh Hitler. Menurut Arendt, pembantaian itu tidak akan terjadi kalau warga negara Jerman tidak membiarkan Hitler melakukannya. Penambangan di hutan lindung RTK 103 juga begitu. Penghncuran terjadi, tidak hanya karena PT SJA menambang, tapi juga karena lembaga-lembaga negara setempat membiarkannya.
Pembiaran paling mencolok dilakukan Polres Manggarai. Banalitasnya nomor wahid. Mudah-mudahan PN Ruteng tidak ikut-ikutan banal. Kita berharap, lembaga yang masih bisa dipercaya para korban tambang ini menangkap panggilan tugasnya. Duc in altum! Betolaklah lebih ke dalam! Masuklah ke kedalaman just law. Ke kedalaman hukum yang memenuhi rasa keadilan.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 24 Maret 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
pt sumbr jaya asia,
tambang mangan di hutan lindung
Menyoal Pakta Kejujuran UN
Menyoal Pernyataan Gubernur Frans Lebu Raya
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya mempertanyakan pakta kejujuran pelaksanaan ujian nasional (UN) 2010. Menurut dia, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur. ”Apakah UN selama ini tidak dilakukan dengan jujur sehingga harus dibuat pakta kejujuran?” katanya dalam raker dengan para bupati/walikota se-NTT di Kupang (Flores Pos Senin 22 Maret 2010).
Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 digagas oleh Mendiknas Muhammad Nuh. Pakta ini ditandatangani di Jakarta, Kamis 4 Maret 2010, oleh 33 kadis pendidikan se-Indonesia, Majelis Rektor Indonesia (MRI), dan Badan Sandar Nasional Pendidikan (BSNP).
”Saya berharap, UN dapat dilaksanakan dengan kredibilitas yang tinggi, tidak terlambat, mendapat pengawasan yang ketat, sehingga tidak terjadi kecurangan,” kata mendiknas.
Dari tujuannya, pakta ini bagus. Sayang, tujuan bagus ini tidak dilihat, atau mungkin dilihat tapi tidak dihiraukan, oleh Gubernur Lebu Raya. Karena itu, dalam pernyataannya, Lebu Raya tidak menegaskan tujuan pakta. Sebaliknya, ia mempertanyakan alasan, dasar, atau motif pakta itu. Ia katakan, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur.
Cara berpikir di balik pernyataan itu ’berbahaya’. Bisa melunturkan makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah. Contohnya, ini. Saat dilantik, seorang gubernur mengucapkan sumpah jabatan. Isinya, antara lain, soal kejujuran, tanggung jawab, dll. Kalau mengikuti cara berpikir di atas, kita harus mengatakan: dengan diucapkannya sumpah jabatan itu oleh gubernur terlantik maka bisa disinyalir bahwa sebelumnya si gubernur itu tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dll.
Dalam simpulan seperti itu, pengucapan sumpah jabatan disamakan dengan pernyataan tobat. Itu berarti, si pengucap sumpah harus pernah melakukan kesalahan besar. Kesalahan itu membuatnya resah. Resah itu membawanya ke sesal. Sesal itu melahirkan tobat: keputusan untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan tobat itu ia ucapkan sebagai sumpah jabatan.
Kalau melakukan kesalahan besar merupakan prasyarat pengucapan sumpah jabatan, maka kita pun dapat mengatakan, misalnya, yang tidak pernah melakukan kesalahan besar janganlah bermimpi jadi gubernur! Sebab, untuk jadi gubernur, seseorang tidak hanya harus menang pilgub dan di-SK-kan, tapi juga harus dilantik dan diambil sumpahnya. Bagaimana bisa mengucapkan sumpah kalau belum pernah melakukan kesalahan besar?
Simpulan seperti ini jelas sesat. Namun, begitulah bahayanya yang bisa ditarik kalau pernyataan Gubernur Lebu Raya tadi dianggap benar. Kita semua tahu, hakikat sumpah jabatan tidak seperti itu. Sumpah jabatan bukan pernyataan tobat, tapi hanya pernyataan tekad dan ikrar yang diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 pun kurang lebih seperti itu. Bedanya cuma tanpa bersaksi kepada Tuhan.
Karena itu, adalah lebih baik dan lebih berguna Gubernur Lebu Raya menegaskan, menjelaskan, dan memperjuangkan tujuan pakta kejujuran pelaksanaan UN ketimbang mempertanyakan alasan, dasar, atau motif penandatanganannya. Kita tidak ingin makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah luntur. Niat, tekad, dan janji kejujuran pelaksanaan UN pun demikian. Lebih baik dan lebih berguna didukung ketimbang dipertanyakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya mempertanyakan pakta kejujuran pelaksanaan ujian nasional (UN) 2010. Menurut dia, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur. ”Apakah UN selama ini tidak dilakukan dengan jujur sehingga harus dibuat pakta kejujuran?” katanya dalam raker dengan para bupati/walikota se-NTT di Kupang (Flores Pos Senin 22 Maret 2010).
Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 digagas oleh Mendiknas Muhammad Nuh. Pakta ini ditandatangani di Jakarta, Kamis 4 Maret 2010, oleh 33 kadis pendidikan se-Indonesia, Majelis Rektor Indonesia (MRI), dan Badan Sandar Nasional Pendidikan (BSNP).
”Saya berharap, UN dapat dilaksanakan dengan kredibilitas yang tinggi, tidak terlambat, mendapat pengawasan yang ketat, sehingga tidak terjadi kecurangan,” kata mendiknas.
Dari tujuannya, pakta ini bagus. Sayang, tujuan bagus ini tidak dilihat, atau mungkin dilihat tapi tidak dihiraukan, oleh Gubernur Lebu Raya. Karena itu, dalam pernyataannya, Lebu Raya tidak menegaskan tujuan pakta. Sebaliknya, ia mempertanyakan alasan, dasar, atau motif pakta itu. Ia katakan, dengan ditandatanganinya pakta ini maka bisa disinyalir bahwa pelaksanaan UN sebelumnya tidak jujur.
Cara berpikir di balik pernyataan itu ’berbahaya’. Bisa melunturkan makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah. Contohnya, ini. Saat dilantik, seorang gubernur mengucapkan sumpah jabatan. Isinya, antara lain, soal kejujuran, tanggung jawab, dll. Kalau mengikuti cara berpikir di atas, kita harus mengatakan: dengan diucapkannya sumpah jabatan itu oleh gubernur terlantik maka bisa disinyalir bahwa sebelumnya si gubernur itu tidak jujur, tidak bertanggung jawab, dll.
Dalam simpulan seperti itu, pengucapan sumpah jabatan disamakan dengan pernyataan tobat. Itu berarti, si pengucap sumpah harus pernah melakukan kesalahan besar. Kesalahan itu membuatnya resah. Resah itu membawanya ke sesal. Sesal itu melahirkan tobat: keputusan untuk tidak mengulangi kesalahan. Dan tobat itu ia ucapkan sebagai sumpah jabatan.
Kalau melakukan kesalahan besar merupakan prasyarat pengucapan sumpah jabatan, maka kita pun dapat mengatakan, misalnya, yang tidak pernah melakukan kesalahan besar janganlah bermimpi jadi gubernur! Sebab, untuk jadi gubernur, seseorang tidak hanya harus menang pilgub dan di-SK-kan, tapi juga harus dilantik dan diambil sumpahnya. Bagaimana bisa mengucapkan sumpah kalau belum pernah melakukan kesalahan besar?
Simpulan seperti ini jelas sesat. Namun, begitulah bahayanya yang bisa ditarik kalau pernyataan Gubernur Lebu Raya tadi dianggap benar. Kita semua tahu, hakikat sumpah jabatan tidak seperti itu. Sumpah jabatan bukan pernyataan tobat, tapi hanya pernyataan tekad dan ikrar yang diucapkan resmi dengan bersaksi kepada Tuhan. Pakta kejujuran pelaksanaan UN 2010 pun kurang lebih seperti itu. Bedanya cuma tanpa bersaksi kepada Tuhan.
Karena itu, adalah lebih baik dan lebih berguna Gubernur Lebu Raya menegaskan, menjelaskan, dan memperjuangkan tujuan pakta kejujuran pelaksanaan UN ketimbang mempertanyakan alasan, dasar, atau motif penandatanganannya. Kita tidak ingin makna segala bentuk niat, tekad, janji, dan sumpah luntur. Niat, tekad, dan janji kejujuran pelaksanaan UN pun demikian. Lebih baik dan lebih berguna didukung ketimbang dipertanyakan.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 23 Maret 2010
Jelang Vonis Kasus Rm Faustin
Sikap Menolak Hukuman Mati
Oleh Frans Anggal
Tiga hari lagi, 25 Maret 2010, majelis hakim PN Bajawa menjatuhkan vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr. Jaksa menuntut keduanya dihukum penjara seumur hidup. Vonis hakim? Bisa lebih daripada itu (hukumam mati), bisa sama dengan itu (penjara seumur hidup), bisa pula kurang daripada itu.
Dalam menanti putusan tersebut, kita berhak untuk berharap. Namun, harapan kita hendaknya mengacu pada nilai yang semestinya kita anut. Artinya, harapan kita tidak boleh hanya demi sesuatu yang bersifat psikologis (puas), tapi juga dan terutama mesti demi sesuatu yang bersifat moral (baik, benar, adil).
Opini Romo Ronny Netowuli Pr yang berjudul ”Apakah Hukuman Mati Menjadi Cara Terbaik untuk Mencegah Kejahatan?” yang dimuat Flores Pos hari ini (Senin 22 Maret 2010) kiranya bermanfaat. Gereja Katolik. selalu mengajak umat manusia menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Gereja Katolik juga konsiten mempromosikan budaya pengampunan dan rekonsiliasi. Karena itu, Gereja menolak segala bentuk pengingkaran terhadapnya: aborsi,eutanasia, dan hukuman mati.
Nilai pro-life inilah yang semestinya manjadi acuan harapan kita dalam menanti putusan PN Bajawa. Tegasnya, dengan acuan pro-life itu, sudah seharusnya kita tidak mengharapkan Theresia Tawa dan Anus Waja dijatuhi hukuman mati. Harapan seperti ini tepat, tidak hanya karena kita Katolik, tapi juga karena kita warga negara Indonesia.
Negara kita memiliki konstitusi yang pro-life. UUD 1945 Pasal 28 A menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupan. Pasal 28 I menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, kita meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang mencantumkan, setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.
Bahwa KUHP masih mencantumkan hukuman mati, itulah ngawurnya Indonesia. Acuan KUHP adalah hukum Belanda. Anehnya, kita masih mewariskan peninggalan kolonial itu, padahal di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapuskan. Di Timor Leste, negara baru yang notabene mengadopsi KUHP kita, hukuman mati dicoret.
Kita berharap, majelis hakim PN Bajawa tidak terperangkap dalam kengawuran ini. Hukuman mati dalam KUHP jelas bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Secara hierarkis perundang-undangan, konstitusi lebih tinggi daripada UU (KUHP). Karena itu, majelis hakim harus memenangkan konstitusi, bukan melap-lap KUHP kuno.
Kita juga berharap, masyarakat, khususnya umat Kevikepan Bajawa dan keluarga Romo Faustin, tidak terperangkap dalam kengawuran mereaksi vonis nanti. Sebagaimana dalam berharap, demikian juga dalam bereaksi, kita hendaknya tetap menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Karena itu, segala bentuk anarki tidaklah pantas.
Mudah-mudahan kita masih ingat perjuangan kita menolak ekskusi mati Tibo dkk tahun 2006. Tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi, Uskup Maumere kala itu Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang kini Uskup Agung Ende mengeluarkan surat pastoral. Salah satu penegasannya tetap relevan bagi kita.
“Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, …. Dalam memberikan reaksi …, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Tiga hari lagi, 25 Maret 2010, majelis hakim PN Bajawa menjatuhkan vonis bagi Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr. Jaksa menuntut keduanya dihukum penjara seumur hidup. Vonis hakim? Bisa lebih daripada itu (hukumam mati), bisa sama dengan itu (penjara seumur hidup), bisa pula kurang daripada itu.
Dalam menanti putusan tersebut, kita berhak untuk berharap. Namun, harapan kita hendaknya mengacu pada nilai yang semestinya kita anut. Artinya, harapan kita tidak boleh hanya demi sesuatu yang bersifat psikologis (puas), tapi juga dan terutama mesti demi sesuatu yang bersifat moral (baik, benar, adil).
Opini Romo Ronny Netowuli Pr yang berjudul ”Apakah Hukuman Mati Menjadi Cara Terbaik untuk Mencegah Kejahatan?” yang dimuat Flores Pos hari ini (Senin 22 Maret 2010) kiranya bermanfaat. Gereja Katolik. selalu mengajak umat manusia menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Gereja Katolik juga konsiten mempromosikan budaya pengampunan dan rekonsiliasi. Karena itu, Gereja menolak segala bentuk pengingkaran terhadapnya: aborsi,eutanasia, dan hukuman mati.
Nilai pro-life inilah yang semestinya manjadi acuan harapan kita dalam menanti putusan PN Bajawa. Tegasnya, dengan acuan pro-life itu, sudah seharusnya kita tidak mengharapkan Theresia Tawa dan Anus Waja dijatuhi hukuman mati. Harapan seperti ini tepat, tidak hanya karena kita Katolik, tapi juga karena kita warga negara Indonesia.
Negara kita memiliki konstitusi yang pro-life. UUD 1945 Pasal 28 A menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupan. Pasal 28 I menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Tahun 2005, kita meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang mencantumkan, setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya.
Bahwa KUHP masih mencantumkan hukuman mati, itulah ngawurnya Indonesia. Acuan KUHP adalah hukum Belanda. Anehnya, kita masih mewariskan peninggalan kolonial itu, padahal di Belanda sendiri hukuman mati sudah dihapuskan. Di Timor Leste, negara baru yang notabene mengadopsi KUHP kita, hukuman mati dicoret.
Kita berharap, majelis hakim PN Bajawa tidak terperangkap dalam kengawuran ini. Hukuman mati dalam KUHP jelas bertentangan dengan konstitusi UUD 1945. Secara hierarkis perundang-undangan, konstitusi lebih tinggi daripada UU (KUHP). Karena itu, majelis hakim harus memenangkan konstitusi, bukan melap-lap KUHP kuno.
Kita juga berharap, masyarakat, khususnya umat Kevikepan Bajawa dan keluarga Romo Faustin, tidak terperangkap dalam kengawuran mereaksi vonis nanti. Sebagaimana dalam berharap, demikian juga dalam bereaksi, kita hendaknya tetap menghormati kehidupan dengan menjaga, memelihara, dan merawatnya. Karena itu, segala bentuk anarki tidaklah pantas.
Mudah-mudahan kita masih ingat perjuangan kita menolak ekskusi mati Tibo dkk tahun 2006. Tentang bagaimana seharusnya kita bereaksi, Uskup Maumere kala itu Mgr. Vincentius Sensi Potokota yang kini Uskup Agung Ende mengeluarkan surat pastoral. Salah satu penegasannya tetap relevan bagi kita.
“Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, …. Dalam memberikan reaksi …, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”
“Bentara” FLORES POS, Senin 22 Maret 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus pembunuhan romo faustin sega pr,
menolak hukuman mati,
ngada
Perang Terbuka di Lembata
Ketika Bupati Tolak Permintaan DPRD
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata meminta Bupati Andreas Duli Manuk menyerahkan dokumen proyek tahun 2006-2009 untuk kepentingan penyelidikan oleh pansus yang telah dibentuk DPRD. Bupati menolak. Dengan alasan, DPRD menjalan fungsi pengawasan, bukan pemeriksaan (Flores Pos Kamis 18 Maret 2010).
Menurut bupati, permintaan dokumen proyek hanya boleh bila sudah ada indikasi penyimpangan. Kalaupun ada penyimpangan, yang lakukan penyelidikan bukan pansus DPRD, tapi pengawas fungsional. Ia merujuk Permendagri No. 13/2006 dan perubahannya No. 59/2009 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah
Di seberang lain, pansus DPRD pedomani UU No 27/2009 dan peraturan tentang pengawasan auditor negara. ”Saya minta bupati baca lagi (UU).... Tidak ada pengawasan tanpa pemeriksaan,” kata Wakil Ketua Pansus II Fredy Wahon. Ia dan Ketua Pansus I Philipus Bediona menilai, penolakan itu simbol perang terbuka bupati vs DPRD. Juga, menunjukkan ketakutan bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek. Karena itu, DPRD perlu bentuk panitia angket. Panitia ini berhak menyita dokumen dan memanggil paksa pihak terkait.
Simaklah penilain Fredy Wahon dan Philipus Bediona itu. Keduanya bilang, pertama, penolakan bupati itu simbol perang terbuka melawan DPRD. Kedua, penolakan itu juga menunjukkan ketakutan bupati. Lho, ini logikanya bagaimana? Kalau penolakan itu simbol perang, berarti bupatinya berani. Penolakan itu menunjukkan keberaniannya. Kalau demikian, tidak tepat mengatakan lagi bahwa penolakan itu menunjukkan ketakutan sang bupati. Masa ada bupati yang berani berperang tapi takut.
Kedua pernyataan itu mesti opsional. Tidak bisa dua-duanya. Tinggal pilih, mana yang benar atau yang lebih mendekati kebenaran. Tentu konteksnya harus jelas dulu. Dalam sengketa ini, konteksnya sudah jelas. Berjibun proyek bermasalah 2006-2009. Proyeknya pemerintah. Yang tidak satu pun kasusnya diselesaikan pemerintah. Yang akhirnya mendorong DPRD membentuk pansus.
Dalam konteks ini, apriorinya jelas. Pemerintah sebagai pihak bermasalah. Sedangkan DPRD sebagai pihak yang hendak selesaikan masalah, secara politik. Untuk selanjutnya merekomendasikan penyelesaiannya secara hukum kepada polisi dan/atau jaksa. Dengan konteks seperti ini, masuk akalkah bupati sang kepala pemerintah, yang notabene diapriorikan sebagai pihak bermasalah, berani mengobarkan perang melawan DPRD?
Maka, kembali ke opsi tadi, yang benar atau lebih mendekati kebenaran adalah pernyataan kedua. Bahwa, penolakan bupati terhadap permintaan DPRD menunjukkan ketakutan sang bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek yang hendak diselidiki pansus. Kalau begitu persoalannya, layakkah yang sudah, sedang, dan akan terjadi nanti disebut perang?
Kita pastikan, itu bukan perang: satu meniadakan yang lain. Bahkan, karena ini politik, mungkin juga bukan pertandingan: satu mengalahkan yang lain. Barangkali akan lebih mirip perlombaan: satu meninggalkan yang lain. Dalam sengeket begini, DPRD mudah kucar-kacir. Terutama ketika kasus mulai ditransaksikan. Satu meninggalkan atau mendahului yang lain.
Kita berharap DPRD Lembata konsisten. Tidak usahlah kobarkan perang terbuka. Jangan sampai, perangnya terbuka, ’perdamaian’-nya tertutup. Mulai sajalah bekerja. Kalau bupati hambat langkah pansus, bentuklah panitia angket. Sebab, kalau anjing menggonggong, kafilah berlalu, itu salah siapa? Salahnya anjing! Kalau menggonggong sudah tidak mempan, kenapa tidak menggigit!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
DPRD Lembata meminta Bupati Andreas Duli Manuk menyerahkan dokumen proyek tahun 2006-2009 untuk kepentingan penyelidikan oleh pansus yang telah dibentuk DPRD. Bupati menolak. Dengan alasan, DPRD menjalan fungsi pengawasan, bukan pemeriksaan (Flores Pos Kamis 18 Maret 2010).
Menurut bupati, permintaan dokumen proyek hanya boleh bila sudah ada indikasi penyimpangan. Kalaupun ada penyimpangan, yang lakukan penyelidikan bukan pansus DPRD, tapi pengawas fungsional. Ia merujuk Permendagri No. 13/2006 dan perubahannya No. 59/2009 tentang pedoman pengelolaan keuangan daerah
Di seberang lain, pansus DPRD pedomani UU No 27/2009 dan peraturan tentang pengawasan auditor negara. ”Saya minta bupati baca lagi (UU).... Tidak ada pengawasan tanpa pemeriksaan,” kata Wakil Ketua Pansus II Fredy Wahon. Ia dan Ketua Pansus I Philipus Bediona menilai, penolakan itu simbol perang terbuka bupati vs DPRD. Juga, menunjukkan ketakutan bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek. Karena itu, DPRD perlu bentuk panitia angket. Panitia ini berhak menyita dokumen dan memanggil paksa pihak terkait.
Simaklah penilain Fredy Wahon dan Philipus Bediona itu. Keduanya bilang, pertama, penolakan bupati itu simbol perang terbuka melawan DPRD. Kedua, penolakan itu juga menunjukkan ketakutan bupati. Lho, ini logikanya bagaimana? Kalau penolakan itu simbol perang, berarti bupatinya berani. Penolakan itu menunjukkan keberaniannya. Kalau demikian, tidak tepat mengatakan lagi bahwa penolakan itu menunjukkan ketakutan sang bupati. Masa ada bupati yang berani berperang tapi takut.
Kedua pernyataan itu mesti opsional. Tidak bisa dua-duanya. Tinggal pilih, mana yang benar atau yang lebih mendekati kebenaran. Tentu konteksnya harus jelas dulu. Dalam sengketa ini, konteksnya sudah jelas. Berjibun proyek bermasalah 2006-2009. Proyeknya pemerintah. Yang tidak satu pun kasusnya diselesaikan pemerintah. Yang akhirnya mendorong DPRD membentuk pansus.
Dalam konteks ini, apriorinya jelas. Pemerintah sebagai pihak bermasalah. Sedangkan DPRD sebagai pihak yang hendak selesaikan masalah, secara politik. Untuk selanjutnya merekomendasikan penyelesaiannya secara hukum kepada polisi dan/atau jaksa. Dengan konteks seperti ini, masuk akalkah bupati sang kepala pemerintah, yang notabene diapriorikan sebagai pihak bermasalah, berani mengobarkan perang melawan DPRD?
Maka, kembali ke opsi tadi, yang benar atau lebih mendekati kebenaran adalah pernyataan kedua. Bahwa, penolakan bupati terhadap permintaan DPRD menunjukkan ketakutan sang bupati akan terbongkarnya aneka kasus proyek yang hendak diselidiki pansus. Kalau begitu persoalannya, layakkah yang sudah, sedang, dan akan terjadi nanti disebut perang?
Kita pastikan, itu bukan perang: satu meniadakan yang lain. Bahkan, karena ini politik, mungkin juga bukan pertandingan: satu mengalahkan yang lain. Barangkali akan lebih mirip perlombaan: satu meninggalkan yang lain. Dalam sengeket begini, DPRD mudah kucar-kacir. Terutama ketika kasus mulai ditransaksikan. Satu meninggalkan atau mendahului yang lain.
Kita berharap DPRD Lembata konsisten. Tidak usahlah kobarkan perang terbuka. Jangan sampai, perangnya terbuka, ’perdamaian’-nya tertutup. Mulai sajalah bekerja. Kalau bupati hambat langkah pansus, bentuklah panitia angket. Sebab, kalau anjing menggonggong, kafilah berlalu, itu salah siapa? Salahnya anjing! Kalau menggonggong sudah tidak mempan, kenapa tidak menggigit!
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 20 Maret 2010
Label:
bentara,
bupati andreas duli manuk,
dprd lembata,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus proyek di lembata
Kober Sekosodo dan Honor Itu
Ketika "Honor" Berati Kehormatan
Oleh Frans Anggal
Kelompok Bermain Anak Sekosodo, disingkat Kober Sekosodo, di Desa Watukamba, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, siap diresmikan tahun 2010. Gedungnya sudah dibangun, gunakan dana PNPM-MP tahun anggran 2009 senilai Rp167 juta (Flores Pos Rabu 17 Maret 1010).
Kober Sekosodo didirikan 2004. Tujuannya, membantu orang miskin yang tidak mampu ’sekolahkan’ anak di TK. Yang diterima di kober, anak usia 2-6 tahun. Kober bebas biaya, kecuali uang komite Rp10 ribu per bulan. Praktis di sana, kober antuk anak petani, TK untuk anak pegawai.
Kober Sekosodo ditangani seorang pengelola, seorang pengasuh, dan tiga tenaga pendidik. Honornya? Tenaga pendidik Rp40 ribu per bulan. Terimanya sekali setahun. Berarti, setelah bekerja setahun, seorang tenaga pendidik terima honor Rp480 ribu. Jauh di bawah UMR. Bahkan, honor setahun itu cuma setengah dari UMR sebulan.
Yuliana Bina, Magdalena Mboru, Ernesta Ga’a. Itulah tiga tenaga pendidik Kober Sekosodo. Dengan honor rendah, sesungguhnya mereka sedang kerja bakti. Tidak semua orang mampu dan mau seperti ini. Bagi sementara orang, honor sebegitu bisa bikin geli. ”Honor” sama dengan ”humor”. Bagi sebagian yang lain, honor sebegitu bisa bikin kecut. ”Honor” sama dengan ”horror”.
Lalu, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a sendiri? ”Inilah kondisi kami ...,” kata Yuliana. Ada pemahaman dan keberterimaan terhadap realitas di sana. Bagaimana mungkin terima honor besar, mereka ’hanya’ tenaga pendidik bagi anak-anak petani di sebuah ’sekolah’ gratis. Mereka tidak mungkin bertahan kalau hanya karena upah. Ada sesuatu yang luhur di sana. Panggilan mencerdasakan anak-anak bangsa. Anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks ini, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a, honor tadi sungguh-sungguh merupakan ”honor” dalam maknanya yang autentik, yang dalam bahasa Inggris berarti ”kehormatan”. Jadi, bukan ”humor” seperti bagi sementara orang, karena olehnya mereka tidak merasa geli. Bukan pula ”horror” seperti bagi sebagian yang lain, karena olehnya mereka tidak merasa kecut. Honor di sini betul-betul kehormatan. Sebagai nilai, bukan sebagai harga.
Dengan kehormatan itulah, mereka telah dan sedang mencerdaskan anak-anak bangsa. Artinya, mereka telah dan sedang melaksanakan tugas yang secara tersurat-konstitusional merupakan kewajiban pemerintah. Tugas pencerdasan itu mereka tunaikan di pinggiran. Artinya, di lokasi yang tidak hanya jauh dari pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan pendidikan, tapi juga berpeluang luput dari perhatian penguasa.
Kalau mereka mengharapkan sesuatu dari pemerintah, bukankah merupakan kehormatan juga bila harapan itu ditanggapi pemerintah? ”Kami minta, kalau bisa, pemerintah memperhatikan kesejahteraan kami. Kalaupun belum bisa naikkan kesejahtaraan, kami minta honor bisa diterima tiga bulan sekali. Jangan sampai satu tahun,” kata Yuliana. ”Dan, kami juga minta status kami dari tenaga honor bisa diangkat menjadi tenaga tetap.”
Permintaan yang wajar. Permintaan menjelang Kober Sekosodo diresmikan. ”Rencananya, kalau tidak bupati, wakil bupati yang meresmikan,” kata Kades Watukama Pius Sai. Mudah-mudahan, Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar tergerak hatinya untuk berikan kehormatan, tidak hanya kepada Kober Sekosodo, tapi juga kepada tiga tenaga pendidiknya.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Kelompok Bermain Anak Sekosodo, disingkat Kober Sekosodo, di Desa Watukamba, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende, siap diresmikan tahun 2010. Gedungnya sudah dibangun, gunakan dana PNPM-MP tahun anggran 2009 senilai Rp167 juta (Flores Pos Rabu 17 Maret 1010).
Kober Sekosodo didirikan 2004. Tujuannya, membantu orang miskin yang tidak mampu ’sekolahkan’ anak di TK. Yang diterima di kober, anak usia 2-6 tahun. Kober bebas biaya, kecuali uang komite Rp10 ribu per bulan. Praktis di sana, kober antuk anak petani, TK untuk anak pegawai.
Kober Sekosodo ditangani seorang pengelola, seorang pengasuh, dan tiga tenaga pendidik. Honornya? Tenaga pendidik Rp40 ribu per bulan. Terimanya sekali setahun. Berarti, setelah bekerja setahun, seorang tenaga pendidik terima honor Rp480 ribu. Jauh di bawah UMR. Bahkan, honor setahun itu cuma setengah dari UMR sebulan.
Yuliana Bina, Magdalena Mboru, Ernesta Ga’a. Itulah tiga tenaga pendidik Kober Sekosodo. Dengan honor rendah, sesungguhnya mereka sedang kerja bakti. Tidak semua orang mampu dan mau seperti ini. Bagi sementara orang, honor sebegitu bisa bikin geli. ”Honor” sama dengan ”humor”. Bagi sebagian yang lain, honor sebegitu bisa bikin kecut. ”Honor” sama dengan ”horror”.
Lalu, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a sendiri? ”Inilah kondisi kami ...,” kata Yuliana. Ada pemahaman dan keberterimaan terhadap realitas di sana. Bagaimana mungkin terima honor besar, mereka ’hanya’ tenaga pendidik bagi anak-anak petani di sebuah ’sekolah’ gratis. Mereka tidak mungkin bertahan kalau hanya karena upah. Ada sesuatu yang luhur di sana. Panggilan mencerdasakan anak-anak bangsa. Anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Dalam konteks ini, bagi Yuliana Bina, Magdalene Mboru, dan Ernesta Ga’a, honor tadi sungguh-sungguh merupakan ”honor” dalam maknanya yang autentik, yang dalam bahasa Inggris berarti ”kehormatan”. Jadi, bukan ”humor” seperti bagi sementara orang, karena olehnya mereka tidak merasa geli. Bukan pula ”horror” seperti bagi sebagian yang lain, karena olehnya mereka tidak merasa kecut. Honor di sini betul-betul kehormatan. Sebagai nilai, bukan sebagai harga.
Dengan kehormatan itulah, mereka telah dan sedang mencerdaskan anak-anak bangsa. Artinya, mereka telah dan sedang melaksanakan tugas yang secara tersurat-konstitusional merupakan kewajiban pemerintah. Tugas pencerdasan itu mereka tunaikan di pinggiran. Artinya, di lokasi yang tidak hanya jauh dari pusat kekuasaan politik, ekonomi, dan pendidikan, tapi juga berpeluang luput dari perhatian penguasa.
Kalau mereka mengharapkan sesuatu dari pemerintah, bukankah merupakan kehormatan juga bila harapan itu ditanggapi pemerintah? ”Kami minta, kalau bisa, pemerintah memperhatikan kesejahteraan kami. Kalaupun belum bisa naikkan kesejahtaraan, kami minta honor bisa diterima tiga bulan sekali. Jangan sampai satu tahun,” kata Yuliana. ”Dan, kami juga minta status kami dari tenaga honor bisa diangkat menjadi tenaga tetap.”
Permintaan yang wajar. Permintaan menjelang Kober Sekosodo diresmikan. ”Rencananya, kalau tidak bupati, wakil bupati yang meresmikan,” kata Kades Watukama Pius Sai. Mudah-mudahan, Bupati Don Wangge dan Wabup Achmad Mochdar tergerak hatinya untuk berikan kehormatan, tidak hanya kepada Kober Sekosodo, tapi juga kepada tiga tenaga pendidiknya.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 18 Maret 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
honor tenaga pendidik,
kelopok belajar,
pendidikan
Tudingan Yan Sunur
Flores Pos Punya Target Khusus?
Oleh Frans Anggal
Yan Sunur dan istri memprotes berita Flores Pos yang ditulis Maxi Gantung. Pertama, soal kutipan pernyataan ketua majelis hakim dalam sidang kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Kedua, soal pemberitaan proyek posyandu yang disoroti DPRD Lembata (Flores Pos Senin 15 Maret 2010).
Kepada Maxi Gantung, secara lisan, Yan Sunur dan istri nyatakan kutipan pernyataan hakim dalam berita Flores Pos itu tidak benar. ”Kami sudah klarifikasi dengan ketua majelis hakim. Dia tidak pernah buat pernyataan seperti itu.” Demikian pula dengan pemberitaan proyek posyandu yang dikerjakan Yan Sunur. Konon Yan Sunur sudah temui pimpinan, komisi, dan semua anggota DPRD.
Atas dasar itu, Yan Sunur dan istri menuding Flores Pos punya target khusus terhadap Yan Sunur. Pihaknya sudah siapkan pengacara untuk lapor ke polisi. Tanggapan wartawan Flores Pos Maxi Gantung? Silakan melapor. Yang ditulisnya adalah fakta. Dan fakta itu pun ia tunjukkan.
Pertama, soal kutipan pernyataan ketua majelis hakim. Kepada Yan Sunur dan istri, Maxi Gantung perdengarkan rekaman pernyataan ketua majelis hakim yang kemudian dikutip dalam berita. Cocok. Dalam rekaman itu, ketua majelis hakim bertanya kepada seorang saksi: apakah saat turun dari pesawat di Kupang, ada orang yang bergandengan tangan dengan Yan Sunur, atau orang yang lengket dengan Yan Sunur, atau ada piaraan Yan Sunur.
Kedua, soal pemberitan proyek posyandu. Maxi Gantung mengkroscek kembali pernyataan Yan Sunur ke beberapa anggota dewan, lalu memberitakannya. Isinya: Ketua Komisi III Simon Krova menyatakan tidak pernah didatangi Yan Sunur. Anggota dewan Simoen Odel: ”Apa yang disampaikan Yan Sunur itu tidak benar ....” Anggota dewan Hasan Baha: ”Apa yang ditulis Flores Pos itu benar, masalah posyandu bertubi-tubi dibicarakan di DPRD pada saat sidang.”
Pada kasus pertama, rekaman yang diperdengarkan mengukuhkan pernyataan Maxi Gantung bahwa yang ditulisnya adalah truth, kebenaran. Kebenaran faktual persidangan. Truth is the defense of libel, kata sebuah dalil. ’Kebenaran merupakan pertahanan terhadap pencemaran nama baik’. Kebenaran itu pembuktian utama untuk menentukan pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan. Maxi Gantung sudah membuktikannya. Yan Sunur dan istri akhirnya mengalihkan kemarahan ke ketua majelis hakim dan minta maaf kepada Flores Pos.
Pertanyaan kita: apakah benar Yan Sunur dan istri sudah menemui ketua majelis hakim? Apakah benar pula ketua majelis hakim membatah kata-katanya dalam persidangan, di hadapan Yan Sunur dan istri? Pertanyaan ini patut diajukan karena pada kasus kedua, modusnya mirip.
Yan Sunur bilang ia sudah minta klarifikasi dari semua anggota DPRD. Namun, setelah dikroscek oleh Maxi Gantung, beberapa anggota DPRD membantahnya. Ada yang membantah telah ditemui Yan Sunur. Ada pula yang membantah pernyataan Yan Sunur. Dengan demikian, klaim Yan Sunur pun gugur. Falsus in uno, falsus in omnibus, kata sebuah dalil hukum (Latin). Keseluruhan kesaksian dapat dikesampingkan apabila beberapa bagian daripadanya terbukti salah.
Yan Sunur itu figur publik di Lembata. Dia ketua Gapensi dan wakil ketua DPD II Partai Golkar. Pesan kita hanya satu. Jaga mulut. Jangan gampang menuding, supa tidak mudah pula dituding. En boca cerrada no entram moscas, kata pepatah Spanyol. Flies do not enter a closed mouth, kata orang Inggris. Lalat tidak masuk ke mulut yang tertutup.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Yan Sunur dan istri memprotes berita Flores Pos yang ditulis Maxi Gantung. Pertama, soal kutipan pernyataan ketua majelis hakim dalam sidang kasus pembunuhan Yoakim Langoday. Kedua, soal pemberitaan proyek posyandu yang disoroti DPRD Lembata (Flores Pos Senin 15 Maret 2010).
Kepada Maxi Gantung, secara lisan, Yan Sunur dan istri nyatakan kutipan pernyataan hakim dalam berita Flores Pos itu tidak benar. ”Kami sudah klarifikasi dengan ketua majelis hakim. Dia tidak pernah buat pernyataan seperti itu.” Demikian pula dengan pemberitaan proyek posyandu yang dikerjakan Yan Sunur. Konon Yan Sunur sudah temui pimpinan, komisi, dan semua anggota DPRD.
Atas dasar itu, Yan Sunur dan istri menuding Flores Pos punya target khusus terhadap Yan Sunur. Pihaknya sudah siapkan pengacara untuk lapor ke polisi. Tanggapan wartawan Flores Pos Maxi Gantung? Silakan melapor. Yang ditulisnya adalah fakta. Dan fakta itu pun ia tunjukkan.
Pertama, soal kutipan pernyataan ketua majelis hakim. Kepada Yan Sunur dan istri, Maxi Gantung perdengarkan rekaman pernyataan ketua majelis hakim yang kemudian dikutip dalam berita. Cocok. Dalam rekaman itu, ketua majelis hakim bertanya kepada seorang saksi: apakah saat turun dari pesawat di Kupang, ada orang yang bergandengan tangan dengan Yan Sunur, atau orang yang lengket dengan Yan Sunur, atau ada piaraan Yan Sunur.
Kedua, soal pemberitan proyek posyandu. Maxi Gantung mengkroscek kembali pernyataan Yan Sunur ke beberapa anggota dewan, lalu memberitakannya. Isinya: Ketua Komisi III Simon Krova menyatakan tidak pernah didatangi Yan Sunur. Anggota dewan Simoen Odel: ”Apa yang disampaikan Yan Sunur itu tidak benar ....” Anggota dewan Hasan Baha: ”Apa yang ditulis Flores Pos itu benar, masalah posyandu bertubi-tubi dibicarakan di DPRD pada saat sidang.”
Pada kasus pertama, rekaman yang diperdengarkan mengukuhkan pernyataan Maxi Gantung bahwa yang ditulisnya adalah truth, kebenaran. Kebenaran faktual persidangan. Truth is the defense of libel, kata sebuah dalil. ’Kebenaran merupakan pertahanan terhadap pencemaran nama baik’. Kebenaran itu pembuktian utama untuk menentukan pemberitaan itu pencemaran nama baik atau bukan. Maxi Gantung sudah membuktikannya. Yan Sunur dan istri akhirnya mengalihkan kemarahan ke ketua majelis hakim dan minta maaf kepada Flores Pos.
Pertanyaan kita: apakah benar Yan Sunur dan istri sudah menemui ketua majelis hakim? Apakah benar pula ketua majelis hakim membatah kata-katanya dalam persidangan, di hadapan Yan Sunur dan istri? Pertanyaan ini patut diajukan karena pada kasus kedua, modusnya mirip.
Yan Sunur bilang ia sudah minta klarifikasi dari semua anggota DPRD. Namun, setelah dikroscek oleh Maxi Gantung, beberapa anggota DPRD membantahnya. Ada yang membantah telah ditemui Yan Sunur. Ada pula yang membantah pernyataan Yan Sunur. Dengan demikian, klaim Yan Sunur pun gugur. Falsus in uno, falsus in omnibus, kata sebuah dalil hukum (Latin). Keseluruhan kesaksian dapat dikesampingkan apabila beberapa bagian daripadanya terbukti salah.
Yan Sunur itu figur publik di Lembata. Dia ketua Gapensi dan wakil ketua DPD II Partai Golkar. Pesan kita hanya satu. Jaga mulut. Jangan gampang menuding, supa tidak mudah pula dituding. En boca cerrada no entram moscas, kata pepatah Spanyol. Flies do not enter a closed mouth, kata orang Inggris. Lalat tidak masuk ke mulut yang tertutup.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 17 Maret 2010
Label:
flores,
flores pos,
hukum,
lembata,
pencemaran nama baik,
pers,
yan sunur
14 Maret 2010
Harapkan DPRD Manggarai
Kasus Tambang Mangan di Manggarai
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai berencana turun ke lokasi tambang mangan di Torong Besi, Robek, Kecamatan Reok, dan sejumlah tempat lain. Langkah diambil menyikapi penolakan masyarakat terhadap tambang terbuka. DPRD akan cek apakah data dan fakta yang disampaikan masyarakat sesuai dengan kondisi riil di lapangan (Flores Pos Sabtu 13 Maret 2010).
Di Torong Besi, PT Sumber Jaya Asia (SJA) menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Jelas-jelas, penambangannya itu ilegal. Tindak pidana. Herannya, Polres Manggarai diam saja. Tapi, begitu masyarakat potong kayu di kawasan yang sama, mereka dicap merambah hutan. Polres tiba-tiba gesit lakukan proses hukum.
Mesin hukum ini hanya lancar menghukum orang kacil. Begitu berhadapan dengan kuasa pertambangan, mesinnya ngadat. Pencari keadilan tidak bisa mengandalkannya lagi. Mungkin, ganti dulu kapolresnya baru kepercayaan pulih. Sebagaimana terjadi, misalnya, dalam proses hukum kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di Ngada dan Yoakim Langoday di Lembata.
Ketidakpercayaan inilah yang melatarbelakangi warga Soga lingkar tambang Torong Besi ajukan gugatan perdata class action ke PN Ruteng. Secara pidana, mereka telah laporkan PT SJA ke polres. Tapi, itu tadi, polresnya diam. Tunggu polres bergerak ya kapan? Tunggu kapolres diganti ya kapan? Selama menunggu, selama itu juga perusakan lingkungan hidup dan kehidupan mereka jalan terus. Sebab, PT SJA menambang terus.
Dengan gugatan perdata, setelah polres sudah tidak dipercayai, harapan akan keadilan kini mereka tunggu dari PN Ruteng. Dalam penungguan inilah DPRD mengambil langkah. Sembilan anggota dewan akan turun cek ke lapangan. Bagaimana ceknya, apa hasilnya, apa pula sikapnya, masih harus ditunggu.
Dalam menunggu, warga boleh berharap. Namun jangan muluk-muluklah. Sebab, langkah DPRD itu langkah politik. Bukan langkah hukum. Ujung langkahnya, rekomendasi. Kalau rekomendasinya ditindaklanjuti pihak yang dituju ya untung. Kalau dimasabodohi ya buntung. Contohnya ada. Tidak jauh-jauh. Di kabupaten tetangga, Manggarai Barat (Mabar).
Di Mabar, kasusnya eksplorasi tambang emas. Di Batu Gosok, izinnya diberikan Bupati Fidelis Pranda dengan langgar perda tata ruang. Di Tebedo, izin diberikan, juga oleh Bupati Pranda, dengan langgar UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebab, yang berhak beri izin pinjam pakai kawasan hutan itu Menhut, bukan bupati. Kasusnya sudah di Polres Mabar. Lebih kurang buruknya daripada Polres Manggarai, Polres Mabar tidak diam. Tapi, itu hanya awalnya. Selanjutnya, diam panjang juga. Sampai sekarang bupati dan kuasa pertambangan belum diperikasa.
Terhadapnya, apa langkah politik DPRD Mabar? Tidak ada! DPRD pernah bikin rekomendasi. Mereka surati Bupati Pranda. Isinya: minta eksplorasi di Batu Gosok dan Tebedo dihentikan sementara. Bupati tidak gubris. Tindak lanjut DPRD? Tidak ada! Jadinya, diam panjang berjemaah. Polres diam, bupati diam, DPRD diam. Pikiran, tenaga, dan waktu mereka kini tercurah ke pemilukada.
Langkah politik DPRD Manggarai pun bisa berujung seperti itu. Apalagi, sekarang musim pemilukada juga. Kita berharap DPRD Manggarai lainlah. Dan, sadarlah. Sebagai legislatif, mereka hamba keadilan. Mereka dipilih rakyat, setelah mengemis suara rakyat. Maka, mereka pelayan rakyat. Karena itu, mereka hanya boleh bekerja untuk kepentingan dan demi keadilan bagi rakyat.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
DPRD Manggarai berencana turun ke lokasi tambang mangan di Torong Besi, Robek, Kecamatan Reok, dan sejumlah tempat lain. Langkah diambil menyikapi penolakan masyarakat terhadap tambang terbuka. DPRD akan cek apakah data dan fakta yang disampaikan masyarakat sesuai dengan kondisi riil di lapangan (Flores Pos Sabtu 13 Maret 2010).
Di Torong Besi, PT Sumber Jaya Asia (SJA) menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103. Tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Jelas-jelas, penambangannya itu ilegal. Tindak pidana. Herannya, Polres Manggarai diam saja. Tapi, begitu masyarakat potong kayu di kawasan yang sama, mereka dicap merambah hutan. Polres tiba-tiba gesit lakukan proses hukum.
Mesin hukum ini hanya lancar menghukum orang kacil. Begitu berhadapan dengan kuasa pertambangan, mesinnya ngadat. Pencari keadilan tidak bisa mengandalkannya lagi. Mungkin, ganti dulu kapolresnya baru kepercayaan pulih. Sebagaimana terjadi, misalnya, dalam proses hukum kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr di Ngada dan Yoakim Langoday di Lembata.
Ketidakpercayaan inilah yang melatarbelakangi warga Soga lingkar tambang Torong Besi ajukan gugatan perdata class action ke PN Ruteng. Secara pidana, mereka telah laporkan PT SJA ke polres. Tapi, itu tadi, polresnya diam. Tunggu polres bergerak ya kapan? Tunggu kapolres diganti ya kapan? Selama menunggu, selama itu juga perusakan lingkungan hidup dan kehidupan mereka jalan terus. Sebab, PT SJA menambang terus.
Dengan gugatan perdata, setelah polres sudah tidak dipercayai, harapan akan keadilan kini mereka tunggu dari PN Ruteng. Dalam penungguan inilah DPRD mengambil langkah. Sembilan anggota dewan akan turun cek ke lapangan. Bagaimana ceknya, apa hasilnya, apa pula sikapnya, masih harus ditunggu.
Dalam menunggu, warga boleh berharap. Namun jangan muluk-muluklah. Sebab, langkah DPRD itu langkah politik. Bukan langkah hukum. Ujung langkahnya, rekomendasi. Kalau rekomendasinya ditindaklanjuti pihak yang dituju ya untung. Kalau dimasabodohi ya buntung. Contohnya ada. Tidak jauh-jauh. Di kabupaten tetangga, Manggarai Barat (Mabar).
Di Mabar, kasusnya eksplorasi tambang emas. Di Batu Gosok, izinnya diberikan Bupati Fidelis Pranda dengan langgar perda tata ruang. Di Tebedo, izin diberikan, juga oleh Bupati Pranda, dengan langgar UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebab, yang berhak beri izin pinjam pakai kawasan hutan itu Menhut, bukan bupati. Kasusnya sudah di Polres Mabar. Lebih kurang buruknya daripada Polres Manggarai, Polres Mabar tidak diam. Tapi, itu hanya awalnya. Selanjutnya, diam panjang juga. Sampai sekarang bupati dan kuasa pertambangan belum diperikasa.
Terhadapnya, apa langkah politik DPRD Mabar? Tidak ada! DPRD pernah bikin rekomendasi. Mereka surati Bupati Pranda. Isinya: minta eksplorasi di Batu Gosok dan Tebedo dihentikan sementara. Bupati tidak gubris. Tindak lanjut DPRD? Tidak ada! Jadinya, diam panjang berjemaah. Polres diam, bupati diam, DPRD diam. Pikiran, tenaga, dan waktu mereka kini tercurah ke pemilukada.
Langkah politik DPRD Manggarai pun bisa berujung seperti itu. Apalagi, sekarang musim pemilukada juga. Kita berharap DPRD Manggarai lainlah. Dan, sadarlah. Sebagai legislatif, mereka hamba keadilan. Mereka dipilih rakyat, setelah mengemis suara rakyat. Maka, mereka pelayan rakyat. Karena itu, mereka hanya boleh bekerja untuk kepentingan dan demi keadilan bagi rakyat.
“Bentara” FLORES POS, Senin 15 Maret 2010
Label:
bentara,
dprd manggarai,
flores,
flores pos,
hukum,
manggarai,
pertambangan,
politik,
polres manggarai,
pt sumber jaya asia,
tambang mangan
Rancang Ambruk Nagekeo?
Mediokrasi dalam Pengerjaan Proyek
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Danga, Kecamatan Aesesa, datangi DPRD Nagekeo di Mbay. Mereka kecam rekanan dan instansi teknis. Mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay sangat jelek. Belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK tahun 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam. Hasilnya, seolah-olah hotmiks.
Rabu 10 Maret 2010, Wakil Ketua DPRD Thomas Tiba dan Stanis Paso serta anggota dewan cek ke lapangan. Terbukti. Pengadukan masyarakat Danga benar. Maka, dewan akan ambil sikap. ”Kita akan panggil pemerintah untuk jelaskan ini. Bila perlu, bongkar dan kerja ulang, karena kualitasnya sangat buruk,” kata Thomas Tiba (Flores Pos Jumat 12 Maret 2010).
”Ambil sikap” yang dikatakan Thomas Tiba masih bersifat ”akan”. Pemastian waktunya belum jelas. Demikian pula ”bongkar dan kerja ulang”. Selain masih ”akan”, juga masih ”bila perlu”. Pemastian tindakannya belum jelas. Karena itu, kita jangan gopo-gapa memuji. Jangan memuji keledai sebelum senja, kata pepatah. Kita tunggu sampai pernyataan itu jadi kenyataan. Sampai ”akan” jadi ”sudah”. Sampai ”bila perlu” jadi ”memang perlu”.
Tidak hanya tunggu. Perlu juga tagih, desak, tuntut pemenuhannya. Sebab, pernyataan itu juga janji. Janji harus ditepati. Karena itu, masyarakat perlu datang lagi ke dewan: tagih, desak, tuntut pemenuhan janji dewan. Ini tidak bersifat ”bila perlu”, tapi ”memang perlu”. Siapa lagi yang bisa mengontrol wakil rakyat kalau bukan rakyat sendiri?
Ada sindiran, yang tengah berlangsung di Indonesia bukan demokrasi, tapi mediokrasi. Istilah ini berasal dari kata Inggris ”mediocre” (sedang-sedang, cukupan). Di dalamnya terkandung makna, semua yang dilakukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak menuju pencapaian terbesar (maximum) dan terbaik (optimum). Semuanya hanya suam-suam kuku, abu-abu, setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah.
Pelaku mediokrasi alias mediokrat-lah yang, antara lain, menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sah namun bukan yang maksimal dan optimal. Sebab, bukan rahasia, tiap huruf, titik, dan koma UU dapat ditransaksikan. Para mediokrat jugalah yang sibuk dengan politik pencitraan. Sementara rakyat enggan membongkar struktur di balik pencitraan itu, entah karena terpedaya atau karena tidak tahu perannya sebagai warga negara.
Dalam pandangan filosof UI, Rocky Gerung, mediokrasi dengan segala bentuk dan manifestasinya membuat Indonesia seperti kehilangan peta. Semrawut. Tidak hanya pada tingkat material, tapi juga pada tingkat gagasan.
Kembali ke Mbay, Nagekeo. Ke proyek hotmiks jalan kota. Mbay, Nagekeo, ya Indonesia juga. Ya mediokrasi juga. Karena atmosfernya begitu, dan proyek dikerjakan dalam atmosfer seperti itu, maka hasilnya mediocre. Setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah. Lihat: belum sampai lima bulan, hotmiksnya sudah retak. Mengatasinya, mediokrat punya akal yang akal-akalan. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, sehingga mirip hotmiks. Inilah mediokrasi proyek. Kerjanya asal-asal, hasilnya seolah-olah, untungnya sunguh-sungguh.
Apa jadinya Nagekeo, kalau dalam mediokrasi proyek, DPRD ikut-ikutan jadi mediokrat? Apakah buku Rancang Bangun Nagekeo harus diganti dengan “buku” Rancang Ambruk Nagekeo? Jangan. Karena itu, rakyat Nagekeo jangan hanya diam dan tunggu. Perlu tagih, desak, tuntut DPRD penuhi janji. Jadilah advocatus diaboli atau devil’s advocate bagi DPRD. Yaitu: setan yang selamatkan DPRD justru dengan cara mengganggunya terus-menerus.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Masyarakat Danga, Kecamatan Aesesa, datangi DPRD Nagekeo di Mbay. Mereka kecam rekanan dan instansi teknis. Mutu pengerjaan jalan hotmiks dalam kota Mbay sangat jelek. Belum sampai lima bulan, hasil proyek Rp5 miliar dari DAK tahun 2009 itu sudah rusak. Jalannya retak-retak. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam. Hasilnya, seolah-olah hotmiks.
Rabu 10 Maret 2010, Wakil Ketua DPRD Thomas Tiba dan Stanis Paso serta anggota dewan cek ke lapangan. Terbukti. Pengadukan masyarakat Danga benar. Maka, dewan akan ambil sikap. ”Kita akan panggil pemerintah untuk jelaskan ini. Bila perlu, bongkar dan kerja ulang, karena kualitasnya sangat buruk,” kata Thomas Tiba (Flores Pos Jumat 12 Maret 2010).
”Ambil sikap” yang dikatakan Thomas Tiba masih bersifat ”akan”. Pemastian waktunya belum jelas. Demikian pula ”bongkar dan kerja ulang”. Selain masih ”akan”, juga masih ”bila perlu”. Pemastian tindakannya belum jelas. Karena itu, kita jangan gopo-gapa memuji. Jangan memuji keledai sebelum senja, kata pepatah. Kita tunggu sampai pernyataan itu jadi kenyataan. Sampai ”akan” jadi ”sudah”. Sampai ”bila perlu” jadi ”memang perlu”.
Tidak hanya tunggu. Perlu juga tagih, desak, tuntut pemenuhannya. Sebab, pernyataan itu juga janji. Janji harus ditepati. Karena itu, masyarakat perlu datang lagi ke dewan: tagih, desak, tuntut pemenuhan janji dewan. Ini tidak bersifat ”bila perlu”, tapi ”memang perlu”. Siapa lagi yang bisa mengontrol wakil rakyat kalau bukan rakyat sendiri?
Ada sindiran, yang tengah berlangsung di Indonesia bukan demokrasi, tapi mediokrasi. Istilah ini berasal dari kata Inggris ”mediocre” (sedang-sedang, cukupan). Di dalamnya terkandung makna, semua yang dilakukan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak menuju pencapaian terbesar (maximum) dan terbaik (optimum). Semuanya hanya suam-suam kuku, abu-abu, setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah.
Pelaku mediokrasi alias mediokrat-lah yang, antara lain, menghasilkan peraturan perundang-undangan yang sah namun bukan yang maksimal dan optimal. Sebab, bukan rahasia, tiap huruf, titik, dan koma UU dapat ditransaksikan. Para mediokrat jugalah yang sibuk dengan politik pencitraan. Sementara rakyat enggan membongkar struktur di balik pencitraan itu, entah karena terpedaya atau karena tidak tahu perannya sebagai warga negara.
Dalam pandangan filosof UI, Rocky Gerung, mediokrasi dengan segala bentuk dan manifestasinya membuat Indonesia seperti kehilangan peta. Semrawut. Tidak hanya pada tingkat material, tapi juga pada tingkat gagasan.
Kembali ke Mbay, Nagekeo. Ke proyek hotmiks jalan kota. Mbay, Nagekeo, ya Indonesia juga. Ya mediokrasi juga. Karena atmosfernya begitu, dan proyek dikerjakan dalam atmosfer seperti itu, maka hasilnya mediocre. Setengah-setengah, asal-asal, seolah-olah. Lihat: belum sampai lima bulan, hotmiksnya sudah retak. Mengatasinya, mediokrat punya akal yang akal-akalan. Retakan ditutup dengan semen, lalu dicat hitam, sehingga mirip hotmiks. Inilah mediokrasi proyek. Kerjanya asal-asal, hasilnya seolah-olah, untungnya sunguh-sungguh.
Apa jadinya Nagekeo, kalau dalam mediokrasi proyek, DPRD ikut-ikutan jadi mediokrat? Apakah buku Rancang Bangun Nagekeo harus diganti dengan “buku” Rancang Ambruk Nagekeo? Jangan. Karena itu, rakyat Nagekeo jangan hanya diam dan tunggu. Perlu tagih, desak, tuntut DPRD penuhi janji. Jadilah advocatus diaboli atau devil’s advocate bagi DPRD. Yaitu: setan yang selamatkan DPRD justru dengan cara mengganggunya terus-menerus.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 13 Maret 2010
Label:
bentara,
dprd nagekeo,
flores,
flores pos,
hotmiks jalan dalam kota,
mbay,
mediokrasi,
mediokrasi proyek,
mediokrat,
nagekeo
Beberkan Saja, Roby!
Anggota DPRD Sikka Intervensi Proyek
Oleh Frans Anggal
Beberapa anggota DPRD Sikka meminta Kadishub Robertus (Roby) Lameng membeberkan saja nama-nama anggota DPRD yang lakukan intervensi dan meminta jatah dalam proyek pengadaan alat angkut darat tahun 2009 (Flores Pos Rabu 10 Maret 2010).
Permintaan itu berkenaan dengan pernyataan sang kadis, menanggapi pandangan umum fraksi di DPRD yang menyoroti proyek dimaksud. Kata Roby Lameng, proyek itu diintervensi beberapa anggota dewan untuk golkan kontraktor tertentu. Malah ada yang minta jatah dua mobil. Nama dan ’dosa’ mereka akan ia beberkan pada rapat pansus (Flores Pos Senin 8 Maret 2010).
Pernyataan Roby Lameng merupakan reaksi atas sorotan fraksi yang menengarai proyek di dinasnya bermasalah. Lebih daripada reaksi, ini mekanisme bela diri juga. Bahkan, lebih daripada bela diri, ini mekanisme peng-kambing-hitam-an. Bahwa: proyek itu bermasalah, antara lain, karena adanya intervensi beberapa anggota dewan.
Pertanyaan kita: kalau benar ada intervensi anggota dewan, kenapa dishub tunduk-takluk-taat-manut saja? Intervensi itu jelas salah. Minimal menyalahi Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Takluk pada yang salah sudah pasti salah. Sesuatu yang salah tidak patut dijadikan dasar pembenaran tindakan yang salah. Maka, intervensi dewan tidak patut dijadikan dasar pembenaran bermasalahnya proyek dishub.
Dengan ini, kita ingin Roby Lameng murni atau sekurang-kurangnya elegan dalam alasan dan tujuannya membeberkan nama dan ’dosa’ anggota dewan. Konkretnya: pembeberan itu hendaknya tidak (hanya) karena proyek di dinasnya disoroti dewan, dan tidak (hanya) untuk meredam sorotan itu. Letakkanlah tekad pada dasar bahwa intervensi dewan itu salah, dengan tujuan agar kesalahan itu tidak terulang.
Dengan dasar dan tujuan itu, yang mesti disertai fakta, data, dan pembuktian, tindakan Roby Lameng beberkan nama dan ’dosa’ anggota dewan dapat dibenarkan secara hukum dan moral. Secara demikian, ia tidak harus menunggu rapat pansus untuk beberkan apa yang dijanjikannya. Beberkanlah sekarang juga kepada pers. Bukankah pernyataan pertamanya justru disampaikan di hadapan publik (pers) dan bukan di hadapan pansus?
Ini ada kaitannya dengan akuntabilitas di hadapan publik. Akuntabilitas itu barulah mencapai maknanya kalau apa yang dinyatakan secara publik dibuktikan secara publik pula. Apalagi, ini berkenaan dengan persoalan publik yang melibatkan pejabat publik. Kalau di hadapan publik Roby Lameng katakan bahwa beberapa anggota dewan mengintervensi proyek, semestinya di hadapan publik pula ia buktikan itu dengan menyebut nama dan bentuk tindakan mereka.
Karena itu, kita sepakat dengan beberapa anggota dewan yang meminta Roby Lameng beberkan saja nama anggota DPRD yang lakukan intervensi dan meminta jatah dalam proyek. Tidak usah tunggu rapat pansus. Beberkan sekarang juga kepada pers. Bagi kita, ini ujian, apakah Roby Lameng murni atau sekurang-kurangnya elegan dalam alasan dan tujuannya.
Kalau alasanya bahwa intervensi dewan itu salah dan tujuannya agar tidak terulangnya kesalahan itu, ia tentu tidak akan menunda-nunda kesaksiannya. Sebaliknya, kalau alasannya (hanya) karena adanya sorotan dewan dan tujuannya (hanya) untuk meredam sorotan itu, ia pasti tunggu rapat pansus. Dan kita pun insaf. Ini hanya permainan. Taktik membarter kasus.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Beberapa anggota DPRD Sikka meminta Kadishub Robertus (Roby) Lameng membeberkan saja nama-nama anggota DPRD yang lakukan intervensi dan meminta jatah dalam proyek pengadaan alat angkut darat tahun 2009 (Flores Pos Rabu 10 Maret 2010).
Permintaan itu berkenaan dengan pernyataan sang kadis, menanggapi pandangan umum fraksi di DPRD yang menyoroti proyek dimaksud. Kata Roby Lameng, proyek itu diintervensi beberapa anggota dewan untuk golkan kontraktor tertentu. Malah ada yang minta jatah dua mobil. Nama dan ’dosa’ mereka akan ia beberkan pada rapat pansus (Flores Pos Senin 8 Maret 2010).
Pernyataan Roby Lameng merupakan reaksi atas sorotan fraksi yang menengarai proyek di dinasnya bermasalah. Lebih daripada reaksi, ini mekanisme bela diri juga. Bahkan, lebih daripada bela diri, ini mekanisme peng-kambing-hitam-an. Bahwa: proyek itu bermasalah, antara lain, karena adanya intervensi beberapa anggota dewan.
Pertanyaan kita: kalau benar ada intervensi anggota dewan, kenapa dishub tunduk-takluk-taat-manut saja? Intervensi itu jelas salah. Minimal menyalahi Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Takluk pada yang salah sudah pasti salah. Sesuatu yang salah tidak patut dijadikan dasar pembenaran tindakan yang salah. Maka, intervensi dewan tidak patut dijadikan dasar pembenaran bermasalahnya proyek dishub.
Dengan ini, kita ingin Roby Lameng murni atau sekurang-kurangnya elegan dalam alasan dan tujuannya membeberkan nama dan ’dosa’ anggota dewan. Konkretnya: pembeberan itu hendaknya tidak (hanya) karena proyek di dinasnya disoroti dewan, dan tidak (hanya) untuk meredam sorotan itu. Letakkanlah tekad pada dasar bahwa intervensi dewan itu salah, dengan tujuan agar kesalahan itu tidak terulang.
Dengan dasar dan tujuan itu, yang mesti disertai fakta, data, dan pembuktian, tindakan Roby Lameng beberkan nama dan ’dosa’ anggota dewan dapat dibenarkan secara hukum dan moral. Secara demikian, ia tidak harus menunggu rapat pansus untuk beberkan apa yang dijanjikannya. Beberkanlah sekarang juga kepada pers. Bukankah pernyataan pertamanya justru disampaikan di hadapan publik (pers) dan bukan di hadapan pansus?
Ini ada kaitannya dengan akuntabilitas di hadapan publik. Akuntabilitas itu barulah mencapai maknanya kalau apa yang dinyatakan secara publik dibuktikan secara publik pula. Apalagi, ini berkenaan dengan persoalan publik yang melibatkan pejabat publik. Kalau di hadapan publik Roby Lameng katakan bahwa beberapa anggota dewan mengintervensi proyek, semestinya di hadapan publik pula ia buktikan itu dengan menyebut nama dan bentuk tindakan mereka.
Karena itu, kita sepakat dengan beberapa anggota dewan yang meminta Roby Lameng beberkan saja nama anggota DPRD yang lakukan intervensi dan meminta jatah dalam proyek. Tidak usah tunggu rapat pansus. Beberkan sekarang juga kepada pers. Bagi kita, ini ujian, apakah Roby Lameng murni atau sekurang-kurangnya elegan dalam alasan dan tujuannya.
Kalau alasanya bahwa intervensi dewan itu salah dan tujuannya agar tidak terulangnya kesalahan itu, ia tentu tidak akan menunda-nunda kesaksiannya. Sebaliknya, kalau alasannya (hanya) karena adanya sorotan dewan dan tujuannya (hanya) untuk meredam sorotan itu, ia pasti tunggu rapat pansus. Dan kita pun insaf. Ini hanya permainan. Taktik membarter kasus.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 12 Maret 2010
Label:
bentara,
dihubkominfo sikka,
dprd intervensi proyek,
dprd sikka,
flores,
flores pos,
kadishub roby lameng,
sikka
10 Maret 2010
Polres Manggarai Diam
Kasus Tambang Mangan di Hutan Lindung
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang di Soga, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, mendatangi PN Ruteng, Selasa 9 Maret 2010. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Alamadi NTT, dan Soppan. Mereka mendesak, eksploitasi tambang mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan mereka.
Kedatangan mereka merupakan tindak lanjut gugatan perdata class action yang mereka ajukan ke PN Ruteng beberapa waktu lalu. Gugatan perdata ’terpaksa’ mereka ajukan karena laporan pidananya belum kunjung ditindaklanjuti oleh Polres Manggarai sampai saat ini (Flores Pos Rabu 10 Maret 2010).
Dari sisi hukum, tak ada alasan mendasar polres diam. Polres miliki dasar kuat untuk segera memulai penyelidikan dan penyidikan. Dan karena ini bukan delik aduan, semestinya langkah hukum itu sudah diambil meski tanpa laporan dari masyarakat lingkar tambang.
Pertama, dalam menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103, PT SJA tidak kantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal, itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Permohonan izin yang diajukan 24 November 2008 sudah ditolak oleh Menhut 27 Januari 2009. Meski demikian, PT SJA menambang terus. Ini sudah tindak pidana. Polres tetap diam.
Kedua, menanggapi tembusan surat Menhut yang menolak permohonan izin PT SJA itu, Kapolda NTT Februari 2009 telah instruksikan Kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung dimaksud, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan. Kenyataan, PT SJA tetap, masih, dan terus menambang. Polres tetap diam.
Ketiga, masyarakat lingkar tambang sudah laporkan tindak pidana PT SJA ke Polres Manggarai bebrapa waktu yang lalu. Mereka sodorkan data dari petikan fakta lapangan yang, kalau digunakan, akan bermanfaat bagi penyelidikan dan penyidikan. Polres tetap diam.
Polres baru bangkit dari diam ketika tindak pidana yang sama dilakukan di tempat yang sama oleh warga setempat. Mereka dicap merambah hutan lindung. Ditangkap, ditahan, disidik, didakwa, diadili, dipenjara. Cap itu benar. Proses hukum itu juga benar. Maka, pertanyaan kita di sini bukan ’kenapa para warga ditindak’, tapi ’kenapa pelaku lainnya tidak ditindak’.
PT SJA lakukan tindak pidana yang sama, di tempat yang sama. Malah, dengan tingkat peruskaan yang tinggi dan dampak kerusakan yang dahsyat. Akibat eksploitasi mangan, di hutan lindung itu kini bertebaran lubang dalam. Bukit hijau jadi gundul. Kering. Gersang. Mata air mati. Warga sulit dapat air minum bersih. Mereka juga gagal panen karena lahan pertanian ketiadaan air.
Terhadap tindak pidana ini dan segala akibatnya, Polres Manggarai diam. Penilaian umum: polres tebang pilih. Diskriminatif. Berstandar ganda. Kalau bukan diskriminasi, maka ini diskresi. Pertanyaan kita: legalitas dan moralitas apa di balik dikresi itu? Sejauh ini, polres belum bisa menjelaskannya dengan baik. Dan pasti tidak akan bisa. Legalitas dan moralitasnya absurd.
Oleh absurditas itu, sulit bagi kita untuk tidak patut dapat menduga bahwa kasus ini berada dalam ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Di dalamnya, penegakan hukum berarti transaksi. Kebenaran dan keadilan substansial menjadi kebenaran dan keadilan transaksional. Kebenaran dan keadilan bukan lagi soal ‘nilai’ (value) tapi soal ‘harga’ (price). Karena inikah polres diam?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Warga lingkar tambang di Soga, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, mendatangi PN Ruteng, Selasa 9 Maret 2010. Mereka didampingi JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, OFM Indonesia, Alamadi NTT, dan Soppan. Mereka mendesak, eksploitasi tambang mangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103 dihentikan, karena telah merusak lingkungan hidup dan kehidupan mereka.
Kedatangan mereka merupakan tindak lanjut gugatan perdata class action yang mereka ajukan ke PN Ruteng beberapa waktu lalu. Gugatan perdata ’terpaksa’ mereka ajukan karena laporan pidananya belum kunjung ditindaklanjuti oleh Polres Manggarai sampai saat ini (Flores Pos Rabu 10 Maret 2010).
Dari sisi hukum, tak ada alasan mendasar polres diam. Polres miliki dasar kuat untuk segera memulai penyelidikan dan penyidikan. Dan karena ini bukan delik aduan, semestinya langkah hukum itu sudah diambil meski tanpa laporan dari masyarakat lingkar tambang.
Pertama, dalam menambang mangan di hutan lindung Nggalak-Rego RTK 103, PT SJA tidak kantongi izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menhut. Padahal, itu diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan. Permohonan izin yang diajukan 24 November 2008 sudah ditolak oleh Menhut 27 Januari 2009. Meski demikian, PT SJA menambang terus. Ini sudah tindak pidana. Polres tetap diam.
Kedua, menanggapi tembusan surat Menhut yang menolak permohonan izin PT SJA itu, Kapolda NTT Februari 2009 telah instruksikan Kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung dimaksud, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan. Kenyataan, PT SJA tetap, masih, dan terus menambang. Polres tetap diam.
Ketiga, masyarakat lingkar tambang sudah laporkan tindak pidana PT SJA ke Polres Manggarai bebrapa waktu yang lalu. Mereka sodorkan data dari petikan fakta lapangan yang, kalau digunakan, akan bermanfaat bagi penyelidikan dan penyidikan. Polres tetap diam.
Polres baru bangkit dari diam ketika tindak pidana yang sama dilakukan di tempat yang sama oleh warga setempat. Mereka dicap merambah hutan lindung. Ditangkap, ditahan, disidik, didakwa, diadili, dipenjara. Cap itu benar. Proses hukum itu juga benar. Maka, pertanyaan kita di sini bukan ’kenapa para warga ditindak’, tapi ’kenapa pelaku lainnya tidak ditindak’.
PT SJA lakukan tindak pidana yang sama, di tempat yang sama. Malah, dengan tingkat peruskaan yang tinggi dan dampak kerusakan yang dahsyat. Akibat eksploitasi mangan, di hutan lindung itu kini bertebaran lubang dalam. Bukit hijau jadi gundul. Kering. Gersang. Mata air mati. Warga sulit dapat air minum bersih. Mereka juga gagal panen karena lahan pertanian ketiadaan air.
Terhadap tindak pidana ini dan segala akibatnya, Polres Manggarai diam. Penilaian umum: polres tebang pilih. Diskriminatif. Berstandar ganda. Kalau bukan diskriminasi, maka ini diskresi. Pertanyaan kita: legalitas dan moralitas apa di balik dikresi itu? Sejauh ini, polres belum bisa menjelaskannya dengan baik. Dan pasti tidak akan bisa. Legalitas dan moralitasnya absurd.
Oleh absurditas itu, sulit bagi kita untuk tidak patut dapat menduga bahwa kasus ini berada dalam ’pasar gelap keadilan’ (black market of justice). Di dalamnya, penegakan hukum berarti transaksi. Kebenaran dan keadilan substansial menjadi kebenaran dan keadilan transaksional. Kebenaran dan keadilan bukan lagi soal ‘nilai’ (value) tapi soal ‘harga’ (price). Karena inikah polres diam?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 11 Maret 2010
Label:
bentara,
flores,
flores pos,
hutan lindung nggalak-rego rtk 103,
manggarai,
pertambangan,
polres manggarai,
pt sumber jaya asia,
tambang mangan
09 Maret 2010
Matim dan Laskar Lapar
Korupsi di Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 11 pejabat di Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Manggarai Timur (Matim) jadi tersangka kasus korupsi proyek 30 kapal ikan tahun 2009 senilai Rp900 juta. Mereka: kuasa pengguna anggaran Kadis Ignasius Tora, pejabat pelaksana teknis, unit layanan pengadaan barang dan jasa, panitia pemeriksa barang, serta rekanan. Mereka langgar Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dugaan sementara kerugian negara Rp477 juta (Flores Pos Selasa 9 Maret 2010).
Matim. Pada 17 Juli 2010, usianya baru genap tiga tahun, setelah disapih dari induknya Manggarai. Masih belia. Bahkan masih balita. Tapi, sudah lahirkan banyak koruptor. Hebat to itu. Namun, tidak mengejutkan juga. Hampir semua daerah otonom baru ya begitu. Yang baru cuma kabupatennya. Pejabatnya pejabat lama, pindahan dari kabupaten induk. Mentalitasnya mentalitas lama. Maka: ke kabupaten mekaran, mereka datang rame-rame sebagai laskar lapar.
Namanya laskar lapar, apa saja disikat. Yang paling laris, anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kenapa? Tiap tahun proyek ini datang ke tiap instansi. Publik tidak menaruh perhatian. Mereka anggap itu urusan adminstratif kantor pemerintah. Tidak ada sangkut-paut dengan hidup mereka. Jadi, aman untuk disikat. Maka: pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi salah satu lahan korupsi paling menonjol, melibatkan dana APBD/APBN paling besar setiap tahun, dengan tingkat kebocoran tinggi sekitar 20 persen.
Ditarik ke belakang, praktik ini tidak baru. Sudah sejak pembangunan nasional 1970-an. Awal 1980-an, barulah ekonom pemerintah mengakuinya. Soemitro Djojohadikusumo dan Emil Salim pernah bilang, sekitar 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Modusnya macam-macam. Bisa berupa pemberian suap atau sogok, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, pertentangan kepentingan atau memiliki usaha sendiri, pilih kasih, menerima komisi, nepotisme, dan sumbangan ilegal.
Apa pun modusnya, korupsinya selalu berjemaah. Contohnya, di Matim itu. Satu kasus, sebelas tersangka. Dari kepala kantor sampai anak buah. Semua terlibat. Semua ikut makan. Betul-betul ‘kesebelasan’ laskar lapar. Menjadi kentara di sini, korupsi itu sistemik dan terorganisasi. Di dalamnya, para jemaah menempatkan kepentingan publik di bawah tujuan privat mereka, dengan melanggar norma tugas dan kesejahteraan, dibarengi keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik (Alatas, 1983).
Ketika itu terjadi di kalangan pejabat publik, dampaknya sangat berbahaya. Ini sudah diingatkan oleh Kongres Ke-8 PBB, yang mengesahkan resolusi Corruption in Government di Havana 1990. Korupsi di kalangan pejabat publik menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah. Menghambat pembangunan. Dan, menimbulkan korban individual kelompok masyarakat.
Di atas segalanya, korupsi di kalangan pejabat publik meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Dalam kasus di Matim, bakal runtuhnya kepercayaan rakyat merupakan pukulan terberat bagi Bupati Yosef Tote dan Wabup Andreas Agas. Mereka telah salah memilih dan menempatkan orang. Laskar lapar koq dipercaya. Sudah tidak ada kader lagi ka?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 11 pejabat di Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kelautan Kabupaten Manggarai Timur (Matim) jadi tersangka kasus korupsi proyek 30 kapal ikan tahun 2009 senilai Rp900 juta. Mereka: kuasa pengguna anggaran Kadis Ignasius Tora, pejabat pelaksana teknis, unit layanan pengadaan barang dan jasa, panitia pemeriksa barang, serta rekanan. Mereka langgar Keppres 80/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dugaan sementara kerugian negara Rp477 juta (Flores Pos Selasa 9 Maret 2010).
Matim. Pada 17 Juli 2010, usianya baru genap tiga tahun, setelah disapih dari induknya Manggarai. Masih belia. Bahkan masih balita. Tapi, sudah lahirkan banyak koruptor. Hebat to itu. Namun, tidak mengejutkan juga. Hampir semua daerah otonom baru ya begitu. Yang baru cuma kabupatennya. Pejabatnya pejabat lama, pindahan dari kabupaten induk. Mentalitasnya mentalitas lama. Maka: ke kabupaten mekaran, mereka datang rame-rame sebagai laskar lapar.
Namanya laskar lapar, apa saja disikat. Yang paling laris, anggaran pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kenapa? Tiap tahun proyek ini datang ke tiap instansi. Publik tidak menaruh perhatian. Mereka anggap itu urusan adminstratif kantor pemerintah. Tidak ada sangkut-paut dengan hidup mereka. Jadi, aman untuk disikat. Maka: pengadaan barang dan jasa pemerintah menjadi salah satu lahan korupsi paling menonjol, melibatkan dana APBD/APBN paling besar setiap tahun, dengan tingkat kebocoran tinggi sekitar 20 persen.
Ditarik ke belakang, praktik ini tidak baru. Sudah sejak pembangunan nasional 1970-an. Awal 1980-an, barulah ekonom pemerintah mengakuinya. Soemitro Djojohadikusumo dan Emil Salim pernah bilang, sekitar 30 persen kebocoran anggaran pendapatan dan belanja negara bersumber dari kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.
Modusnya macam-macam. Bisa berupa pemberian suap atau sogok, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, penyalahgunaan jabatan atau wewenang, pertentangan kepentingan atau memiliki usaha sendiri, pilih kasih, menerima komisi, nepotisme, dan sumbangan ilegal.
Apa pun modusnya, korupsinya selalu berjemaah. Contohnya, di Matim itu. Satu kasus, sebelas tersangka. Dari kepala kantor sampai anak buah. Semua terlibat. Semua ikut makan. Betul-betul ‘kesebelasan’ laskar lapar. Menjadi kentara di sini, korupsi itu sistemik dan terorganisasi. Di dalamnya, para jemaah menempatkan kepentingan publik di bawah tujuan privat mereka, dengan melanggar norma tugas dan kesejahteraan, dibarengi keserbarahasiaan, pengkhianatan, penipuan, dan pengabaian yang kejam atas setiap konsekuensi yang diderita oleh publik (Alatas, 1983).
Ketika itu terjadi di kalangan pejabat publik, dampaknya sangat berbahaya. Ini sudah diingatkan oleh Kongres Ke-8 PBB, yang mengesahkan resolusi Corruption in Government di Havana 1990. Korupsi di kalangan pejabat publik menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah. Menghambat pembangunan. Dan, menimbulkan korban individual kelompok masyarakat.
Di atas segalanya, korupsi di kalangan pejabat publik meruntuhkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahnya. Dalam kasus di Matim, bakal runtuhnya kepercayaan rakyat merupakan pukulan terberat bagi Bupati Yosef Tote dan Wabup Andreas Agas. Mereka telah salah memilih dan menempatkan orang. Laskar lapar koq dipercaya. Sudah tidak ada kader lagi ka?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 10 Maret 2010
08 Maret 2010
Jangan Pilih ’Pembunuh’
Dari Demo Folinta di Lembata
Oleh Frans Anggal
Kelompok civil society yang tergabung dalam Front Peduli Pembangunan Lembata (Folinta) berdemo ke kantor bupati dan DPRD Lembata, Sabtu 6 Maret 2010. Mereka soroti tender proyek bencana alam Rp9 miliar dan sejumlah proyek bermasalah. Intinya: korupsi di Lembata sudah sangat parah. Ini yang menyebabkan 99 persen proyek bermasalah (Flores Pos Senin 8 Maret 2010).
Wakil Ketua DPRD Yoseph Meran Lagaour akui itu. Sepanjang 2005- 2009, banyak proyek bermasalah. Sudah banyak, belum tuntas pula. DPRD sendiri sudah capek omong tentangnya. Meski demikian, DPRD bertekad, semua masalah itu sudah tuntas sebelum 2011. Dengan demikian, bupati baru nanti tidak perlu lagi urus masalah-masalah lama.
Tekad yang bagus. Kalau itu dilaksanakan dan berhasil, semua masalah lama itu tuntas. Dengan tuntasnya masalah lama, apakah tidak ada masalah lagi? Tentu tidak. Setiap bupati punya masalahnya. Dari pengalaman, bupati itu ’pembuat masalah’ (problem maker) juga, selain ’penyelesai masalah’ (problem solver).
Folinta menyebut pembuat masalah itu sebagi ’pembunuh’. Ada empat kelompok ’pembunuh’ di Lembata. Yakni: pemerintah, DPRD, penegak hukum, dan kontraktor. Kecuali penegak hukum dan kontraktor, dua ’pembunuh’ lainnya dipilih langsung oleh rakyat. Kepala pemerintahan, yakni bupati dan wabup, dipilih lewat pilkada (sekarang pemilukada). DPRD lewat pileg.
Artinya apa? Rakyat selaku pemilih tidak sepenuhnya bisa cuci tangan. Merekalah yang memilih (atau salah memilih) ’pembunuh’. Ini salah satu sisi buruk, dari sekian banyak sisi baik, pemilihan langsung. Bahkan, ini salah satu dampak negatif, dari sekian banyak dampak positif, demokrasi. Masuk akal kalau Socrates, sejak masa Athena ribuan tahun silam, sudah mencemaskan risiko demokrasi. Filosof ini menolak demokrasi, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat.
Sekali kita diperintah oleh, katakanlah, bupati seperti itu, kita tidak bisa turunkan dia begitu saja di tangah jalan. Demokrasi punya aturan main. Kita kenal sirkulasi kekuasaan lima tahunan. Maka, cara demokratis gantikan dia ya tunggu pemilukada. Lain cerita kalau dia mati, berhalangan tetap, atau lakukan pelanggaran hukum luar biasa.
Dalam konteks Lembata, banyaknya proyek bermasalah 2005- 2009 tidak cukup jadi dasar untuk turunkan Bupati Andreas Duli Manuk dan Wabup Andreas Nula Liliweri di tengah jalan. Buruknya kinerja dan prestasi kerja mereka tidak dapat jadi dasar menjatuhkan mereka sebelum masa jabatannya berakhir 2011. Sama halnya terhadap DPRD. Mau tidak mau ya tunggu pemilukada 2011.
Karena itu, dua sikap perlu dikembangkan. Pertama, partisipasi memilih pemimpin perlu disertai kesadaran bahwa sang pemimpin mungkin akan jadi ‘pembunuh’, dan ini harus ditanggung sebagai risiko demokrasi seperti diingatkan Socrates, tanpa harus memberhentikannya di tengah jalan sesuai dengan aturan demokrasi yang mengenal sirkulasi kekuasaan secara berkala.
Kedua, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat (menurut Socrates) atau ‘pembunuh’ (menurut Folinta), maka jadilah pemilih cerdas. Kandidat yang rekam jejaknya buruk, yang tebukti jadi ‘pembunuh’ atau berpotensi jadi ‘pembunuh’, jangan dipilih. Memilih secara cerdas samalah dengan memilih secara bertanggung jawab.
Ini tidak hanya bagi Lembata 2011. Tapi juga bagi Flotim, Ngada, Manggarai, dan Mabar 2010. Pesannya sama. Jangan coba-coba pilih ‘pembunuh’.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Kelompok civil society yang tergabung dalam Front Peduli Pembangunan Lembata (Folinta) berdemo ke kantor bupati dan DPRD Lembata, Sabtu 6 Maret 2010. Mereka soroti tender proyek bencana alam Rp9 miliar dan sejumlah proyek bermasalah. Intinya: korupsi di Lembata sudah sangat parah. Ini yang menyebabkan 99 persen proyek bermasalah (Flores Pos Senin 8 Maret 2010).
Wakil Ketua DPRD Yoseph Meran Lagaour akui itu. Sepanjang 2005- 2009, banyak proyek bermasalah. Sudah banyak, belum tuntas pula. DPRD sendiri sudah capek omong tentangnya. Meski demikian, DPRD bertekad, semua masalah itu sudah tuntas sebelum 2011. Dengan demikian, bupati baru nanti tidak perlu lagi urus masalah-masalah lama.
Tekad yang bagus. Kalau itu dilaksanakan dan berhasil, semua masalah lama itu tuntas. Dengan tuntasnya masalah lama, apakah tidak ada masalah lagi? Tentu tidak. Setiap bupati punya masalahnya. Dari pengalaman, bupati itu ’pembuat masalah’ (problem maker) juga, selain ’penyelesai masalah’ (problem solver).
Folinta menyebut pembuat masalah itu sebagi ’pembunuh’. Ada empat kelompok ’pembunuh’ di Lembata. Yakni: pemerintah, DPRD, penegak hukum, dan kontraktor. Kecuali penegak hukum dan kontraktor, dua ’pembunuh’ lainnya dipilih langsung oleh rakyat. Kepala pemerintahan, yakni bupati dan wabup, dipilih lewat pilkada (sekarang pemilukada). DPRD lewat pileg.
Artinya apa? Rakyat selaku pemilih tidak sepenuhnya bisa cuci tangan. Merekalah yang memilih (atau salah memilih) ’pembunuh’. Ini salah satu sisi buruk, dari sekian banyak sisi baik, pemilihan langsung. Bahkan, ini salah satu dampak negatif, dari sekian banyak dampak positif, demokrasi. Masuk akal kalau Socrates, sejak masa Athena ribuan tahun silam, sudah mencemaskan risiko demokrasi. Filosof ini menolak demokrasi, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat.
Sekali kita diperintah oleh, katakanlah, bupati seperti itu, kita tidak bisa turunkan dia begitu saja di tangah jalan. Demokrasi punya aturan main. Kita kenal sirkulasi kekuasaan lima tahunan. Maka, cara demokratis gantikan dia ya tunggu pemilukada. Lain cerita kalau dia mati, berhalangan tetap, atau lakukan pelanggaran hukum luar biasa.
Dalam konteks Lembata, banyaknya proyek bermasalah 2005- 2009 tidak cukup jadi dasar untuk turunkan Bupati Andreas Duli Manuk dan Wabup Andreas Nula Liliweri di tengah jalan. Buruknya kinerja dan prestasi kerja mereka tidak dapat jadi dasar menjatuhkan mereka sebelum masa jabatannya berakhir 2011. Sama halnya terhadap DPRD. Mau tidak mau ya tunggu pemilukada 2011.
Karena itu, dua sikap perlu dikembangkan. Pertama, partisipasi memilih pemimpin perlu disertai kesadaran bahwa sang pemimpin mungkin akan jadi ‘pembunuh’, dan ini harus ditanggung sebagai risiko demokrasi seperti diingatkan Socrates, tanpa harus memberhentikannya di tengah jalan sesuai dengan aturan demokrasi yang mengenal sirkulasi kekuasaan secara berkala.
Kedua, karena demokrasi memungkinkan kita diperintah orang bodoh atau bahkan orang jahat (menurut Socrates) atau ‘pembunuh’ (menurut Folinta), maka jadilah pemilih cerdas. Kandidat yang rekam jejaknya buruk, yang tebukti jadi ‘pembunuh’ atau berpotensi jadi ‘pembunuh’, jangan dipilih. Memilih secara cerdas samalah dengan memilih secara bertanggung jawab.
Ini tidak hanya bagi Lembata 2011. Tapi juga bagi Flotim, Ngada, Manggarai, dan Mabar 2010. Pesannya sama. Jangan coba-coba pilih ‘pembunuh’.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 9 Maret 2010
Label:
bentara,
bupati andreas duli manuk,
demo folinta,
flores,
flores pos,
lembata,
pemilukada,
politik,
wabup andreas nula liliweri
07 Maret 2010
Kenapa Kita Kecewa?
Tuntutan Jaksa dalam Kasus Romo Faustin Sega Pr
Oleh Frans Anggal
Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr, dituntut penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum pada sidang di PN Bajawa, Kamis 4 Maret 2010. Menurut jaksa, kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan, secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana terhadap korban (Flores Pos Sabtu 6 Maret 2010).
Massa pengunjung sidang perlihatkan dua reaksi berbeda. Mereka bersorak gembira, ketika bagi Theresia Tawa, jaksa bacakan tuntutan: penjara seumur hidup. Sebaliknya, mereka berteriak kecewa, ketika bagi Anus Waja, jaksa bacakan tuntutan yang sama: penjara seumur hidup.
Tidak hanya massa. Keluarga Romo Faustin juga kecewa. JPIC Keuskupan Agung Ende juga. Alasan kekecewaan: Anus Waja itu penyebab utama pembunuhan berencana. Kenapa tuntutan bagi dia sama dengan tuntutan bagi Theresia Tawa? Kurang lebih demikian alasannya.
Alasan ini menyiratkan keinginan agar tuntutan bagi Anus Waja lebih berat. Kalau Theresia Tawa dituntut penjara seumur hidup, apa yang lebih berat daripada itu yang layak bagi Anus Waja? Tampaknya, tidak ada yang lain selain satu ini: hukuman mati. Itukah yang kita inginkan? Mata ganti mata, gigi ganti gigi? Menghapus darah dengan darah?
Beberapa tahun lalu, kita, di Flores ini, berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo cs. Segala alasan penolakan kita kemukakan. Dari alasan hukum dan keadilan hingga alasan agama dan religius. Kita kutip pasal dan ayat konstitusi UUD 1945 dan UU HAM. Kita beberkan argumentasi filosofis dan teologis.
Kenapa yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak lagi kita tunjukkan dalam kasus Romo Faustin? Mungkin, kita telah gagal “melawan lupa”, istilah sastrawan Chekoslowakia, Milan Kundera. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa,” katanya. Kekuasaan di sini, dalam kasus kita, kekuasaan kita sendiri. Tuannya, diri kita sendiri. Maka, demi kepentingan diri sendiri, mungkin kita tidak sedang gagal “melawan lupa”. Sebaliknya, kita sedang membangun “proyek lupa”.
Barangkali, “proyek lupa” dalam kasus kita ini kita gunakan bukan sebagai sikap hidup, tapi sekadar taktik mengegolkan keinginan. Olehnya, yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak atau belum kita perlihatkan dalam kasus Romo Faustin. Dengan dalih, tahap perkaranya berbeda. Dalam kasus Tibo, yang kita hadapi adalah pelaksanaan putusan (eksekusi) mati. Sedangkan dalam kasus Romo Faustin, baru berupa tuntutan jaksa. Kita inginkan jaksa menuntut hukuman mati, dengan perhitungan (taktik): vonisnya nanti kurang dari itu tapi maksimal, katakanlah penjara seumur hidup. Kita kecewa ketika taktik itu gagal.
Kalau benar keinginan kita akan tuntutan hukuman mati sekadar taktik, apa sesungguhnya yang sedang kita lakukan? Kita sedang menjerumuskan diri ke dalam oportunisme moral. Kita tidak jujur. Tidak murni dan tidak konsekuen memperjuangkan dan memenangkan nilai kehidupan. Kalau benar kita menolak hukumam mati, kita harus berani bersaksi dalam kasus apa pun, menyangkut siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Aspek “kapan pun” mencakup pula semua tahap perkara. Maka: bersaksilah dari awal, bukan tunggu eksekusi mati.
Kita tidak tahu, mungkin JPU tahu itu. Mungkin ia tahu, kita, di Flores ini, pernah berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo. Maka, dalam kasus Romo Faustin, ia pun tidak menuntut hukuman mati bagi Anus Waja. Mungkin ia ingin menghargai nilai yang kita anut dan perjuangan yang pernah kita lancarkan, meskipun itu bukan tugasnya. Kalau begitu, kenapa kita kecewa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Theresia Tawa dan Anus Waja, terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Romo Faustin Sega Pr, dituntut penjara seumur hidup oleh jaksa penuntut umum pada sidang di PN Bajawa, Kamis 4 Maret 2010. Menurut jaksa, kedua terdakwa terbukti sah dan meyakinkan, secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana terhadap korban (Flores Pos Sabtu 6 Maret 2010).
Massa pengunjung sidang perlihatkan dua reaksi berbeda. Mereka bersorak gembira, ketika bagi Theresia Tawa, jaksa bacakan tuntutan: penjara seumur hidup. Sebaliknya, mereka berteriak kecewa, ketika bagi Anus Waja, jaksa bacakan tuntutan yang sama: penjara seumur hidup.
Tidak hanya massa. Keluarga Romo Faustin juga kecewa. JPIC Keuskupan Agung Ende juga. Alasan kekecewaan: Anus Waja itu penyebab utama pembunuhan berencana. Kenapa tuntutan bagi dia sama dengan tuntutan bagi Theresia Tawa? Kurang lebih demikian alasannya.
Alasan ini menyiratkan keinginan agar tuntutan bagi Anus Waja lebih berat. Kalau Theresia Tawa dituntut penjara seumur hidup, apa yang lebih berat daripada itu yang layak bagi Anus Waja? Tampaknya, tidak ada yang lain selain satu ini: hukuman mati. Itukah yang kita inginkan? Mata ganti mata, gigi ganti gigi? Menghapus darah dengan darah?
Beberapa tahun lalu, kita, di Flores ini, berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo cs. Segala alasan penolakan kita kemukakan. Dari alasan hukum dan keadilan hingga alasan agama dan religius. Kita kutip pasal dan ayat konstitusi UUD 1945 dan UU HAM. Kita beberkan argumentasi filosofis dan teologis.
Kenapa yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak lagi kita tunjukkan dalam kasus Romo Faustin? Mungkin, kita telah gagal “melawan lupa”, istilah sastrawan Chekoslowakia, Milan Kundera. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa,” katanya. Kekuasaan di sini, dalam kasus kita, kekuasaan kita sendiri. Tuannya, diri kita sendiri. Maka, demi kepentingan diri sendiri, mungkin kita tidak sedang gagal “melawan lupa”. Sebaliknya, kita sedang membangun “proyek lupa”.
Barangkali, “proyek lupa” dalam kasus kita ini kita gunakan bukan sebagai sikap hidup, tapi sekadar taktik mengegolkan keinginan. Olehnya, yang kita perlihatkan dalam kasus Tibo tidak atau belum kita perlihatkan dalam kasus Romo Faustin. Dengan dalih, tahap perkaranya berbeda. Dalam kasus Tibo, yang kita hadapi adalah pelaksanaan putusan (eksekusi) mati. Sedangkan dalam kasus Romo Faustin, baru berupa tuntutan jaksa. Kita inginkan jaksa menuntut hukuman mati, dengan perhitungan (taktik): vonisnya nanti kurang dari itu tapi maksimal, katakanlah penjara seumur hidup. Kita kecewa ketika taktik itu gagal.
Kalau benar keinginan kita akan tuntutan hukuman mati sekadar taktik, apa sesungguhnya yang sedang kita lakukan? Kita sedang menjerumuskan diri ke dalam oportunisme moral. Kita tidak jujur. Tidak murni dan tidak konsekuen memperjuangkan dan memenangkan nilai kehidupan. Kalau benar kita menolak hukumam mati, kita harus berani bersaksi dalam kasus apa pun, menyangkut siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Aspek “kapan pun” mencakup pula semua tahap perkara. Maka: bersaksilah dari awal, bukan tunggu eksekusi mati.
Kita tidak tahu, mungkin JPU tahu itu. Mungkin ia tahu, kita, di Flores ini, pernah berteriak lantang menolak eksekusi mati Tibo. Maka, dalam kasus Romo Faustin, ia pun tidak menuntut hukuman mati bagi Anus Waja. Mungkin ia ingin menghargai nilai yang kita anut dan perjuangan yang pernah kita lancarkan, meskipun itu bukan tugasnya. Kalau begitu, kenapa kita kecewa?
“Bentara” FLORES POS, Senin 8 Maret 2010
Label:
anus waja,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kasus kematian romo fasutin segra pr,
ngada,
theresia tawa
05 Maret 2010
Mun’im Idris Datang Lagi
Kematian Nurdin bin Yusuf di Kabupaten Sikka
Oleh Frans Anggal
Mun’im Idris, ahli forensik dari Universitas Indonesia, datang lagi ke Flores. Kali lalu ia ke Kabupaten Ngada. Mengautopsi jenazah Romo Faustin Sega Pr. Hasil autopsinya: korban meninggal karena kekerasan tumpul. Ia balikkan keterangan kapolres saat itu: korban mati wajar. Masyarakat marah. Penyidikan pun diambil alih Polda NTT. Kapolres diganti. Baru beres. Kini kasusnya disidangkan di PN Bajawa. Dakwaannya: pembunuhan berencana.
Kali ini Mun’im Idris ke Kabupaten Sikka. Mengautopsi jenazah Nurdin bin Yusuf. Menurut polres, korban meninggal karena lakalantas di Wailiti 20 Juni 2009. Keluarga tidak puas. Banyak kejanggalannya. Atas biaya keluarga, Mun’im Idris didatangkan. Kamis 4 Maret 2010, ia lakukan autopsi. Hasilnya: korban meninggal karena kekerasan tumpul di kepala, rahang, dan badan. Sampel rambut, kulit kepala, dan jaringan otak masih akan diteliti di labfor. “Untuk sementara, ada kejanggalan terkait kematian korban,” katanya.
Mari berandai sejenak. Seandaianya keterangan polisi, dalam dua kasus itu, dipercaya begitu saja, apa jadinya? Habislah perkaranya. Romo Faustin mati wajar: habis perkara! Nurdin mati karena lakalantas tunggal: habis perkara! Tidak perlu capek-capek demo. Tidak perlu repot-repot bikin pernyataan pers. Tidak perlu susah-susah datangkan Mun’im Idris.
Untung, lembaga dan keluarga korban tidak gampang percaya pada keterangan polisi yang suka cari gampang. Di satu sisi, kita bangga dengan masyarakat seperti ini. Terhadap kerja dan keterangan polisi, mereka kritis. Mereka meragukannya. Namun mereka tidak berhenti di situ. Keraguan mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan mereka olah menjadi penyelidikan. Mendatangkan Mun’im Idris, itu bagian dari upaya penyelidikan.
Di sisi lain, kita sedih. Mendatangkan ahli forensik sekaliber Mun’im Idris tidaklah mudah. Banyak keluarga dari korban pembunuhan maunya seperti itu, tapi tidak mampu untuk itu. Betapa mahalnya kebenaran dan keadilan! Kasihan orang-orang kecil , bodoh, lemah, miskin. Mereka jadi korban dari polisi yang tidak bisa dipercaya karena tidak profesional.
Profesionalisme mengandung pengertian kasanggupan orang untuk melayani klien dalam hal-hal yang sangat dibutuhkannya, dengan keadilan sedemikian rupa, sehingga kepentingan klien selalu diutamakan di atas kepentingan dirinya, tanpa mengalahkan nilai luhur yang khas untuk profesinya, jika perlu bahkan nilai profesi itulah yang diutamakan di atas kepentingan klien (Bernard Kieser, 1991).
Karena itulah, misalnya, pengacara tidak boleh membohongi pengadilan demi kepentingan klien. Dokter tidak boleh mengakhiri hidup pasien demi memenuhi permintaannya karena sudah tidak tahan lagi menderita. Sikap etika profesi adalah: mengutamakan kepentingan klien di atas kepentingan profesional, dan mengutamakan nilai-nilai luhur profesi di atas permintaan klien
Skala tertinggi di sini adalah nilai. Dalam praktik, ‘nilai’ (value) sering tergusur oleh ‘harga’ (price). Maka, penegak hukum, termasuk polisi, tidak lagi maju tak gentar membela yang benar (‘nilai’), tapi maju tak gentar membela yang bayar (‘harga’). Ini ejekan bagi hukum dan keadilan. Dan mereka, yang tidak profesional itu, adalah tukang ejek.
Soal tukang ejek, sastrawan Irlandia Oscar Wilde (1854-1900) pernah menyentilnya dalam drama komedi Lady Windemere’s Fan (1892), melalui dialog tokoh Cecil Graham dan Lord Darlington (Act iii). Cecil Graham: “Tukang ejek itu apa sih?” Lord Darlington: “Orang yang tahu harga segala sesuatu, dan tidak tahu nilai segala sesuatu.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Mun’im Idris, ahli forensik dari Universitas Indonesia, datang lagi ke Flores. Kali lalu ia ke Kabupaten Ngada. Mengautopsi jenazah Romo Faustin Sega Pr. Hasil autopsinya: korban meninggal karena kekerasan tumpul. Ia balikkan keterangan kapolres saat itu: korban mati wajar. Masyarakat marah. Penyidikan pun diambil alih Polda NTT. Kapolres diganti. Baru beres. Kini kasusnya disidangkan di PN Bajawa. Dakwaannya: pembunuhan berencana.
Kali ini Mun’im Idris ke Kabupaten Sikka. Mengautopsi jenazah Nurdin bin Yusuf. Menurut polres, korban meninggal karena lakalantas di Wailiti 20 Juni 2009. Keluarga tidak puas. Banyak kejanggalannya. Atas biaya keluarga, Mun’im Idris didatangkan. Kamis 4 Maret 2010, ia lakukan autopsi. Hasilnya: korban meninggal karena kekerasan tumpul di kepala, rahang, dan badan. Sampel rambut, kulit kepala, dan jaringan otak masih akan diteliti di labfor. “Untuk sementara, ada kejanggalan terkait kematian korban,” katanya.
Mari berandai sejenak. Seandaianya keterangan polisi, dalam dua kasus itu, dipercaya begitu saja, apa jadinya? Habislah perkaranya. Romo Faustin mati wajar: habis perkara! Nurdin mati karena lakalantas tunggal: habis perkara! Tidak perlu capek-capek demo. Tidak perlu repot-repot bikin pernyataan pers. Tidak perlu susah-susah datangkan Mun’im Idris.
Untung, lembaga dan keluarga korban tidak gampang percaya pada keterangan polisi yang suka cari gampang. Di satu sisi, kita bangga dengan masyarakat seperti ini. Terhadap kerja dan keterangan polisi, mereka kritis. Mereka meragukannya. Namun mereka tidak berhenti di situ. Keraguan mereka kembangkan menjadi pertanyaan. Dan pertanyaan mereka olah menjadi penyelidikan. Mendatangkan Mun’im Idris, itu bagian dari upaya penyelidikan.
Di sisi lain, kita sedih. Mendatangkan ahli forensik sekaliber Mun’im Idris tidaklah mudah. Banyak keluarga dari korban pembunuhan maunya seperti itu, tapi tidak mampu untuk itu. Betapa mahalnya kebenaran dan keadilan! Kasihan orang-orang kecil , bodoh, lemah, miskin. Mereka jadi korban dari polisi yang tidak bisa dipercaya karena tidak profesional.
Profesionalisme mengandung pengertian kasanggupan orang untuk melayani klien dalam hal-hal yang sangat dibutuhkannya, dengan keadilan sedemikian rupa, sehingga kepentingan klien selalu diutamakan di atas kepentingan dirinya, tanpa mengalahkan nilai luhur yang khas untuk profesinya, jika perlu bahkan nilai profesi itulah yang diutamakan di atas kepentingan klien (Bernard Kieser, 1991).
Karena itulah, misalnya, pengacara tidak boleh membohongi pengadilan demi kepentingan klien. Dokter tidak boleh mengakhiri hidup pasien demi memenuhi permintaannya karena sudah tidak tahan lagi menderita. Sikap etika profesi adalah: mengutamakan kepentingan klien di atas kepentingan profesional, dan mengutamakan nilai-nilai luhur profesi di atas permintaan klien
Skala tertinggi di sini adalah nilai. Dalam praktik, ‘nilai’ (value) sering tergusur oleh ‘harga’ (price). Maka, penegak hukum, termasuk polisi, tidak lagi maju tak gentar membela yang benar (‘nilai’), tapi maju tak gentar membela yang bayar (‘harga’). Ini ejekan bagi hukum dan keadilan. Dan mereka, yang tidak profesional itu, adalah tukang ejek.
Soal tukang ejek, sastrawan Irlandia Oscar Wilde (1854-1900) pernah menyentilnya dalam drama komedi Lady Windemere’s Fan (1892), melalui dialog tokoh Cecil Graham dan Lord Darlington (Act iii). Cecil Graham: “Tukang ejek itu apa sih?” Lord Darlington: “Orang yang tahu harga segala sesuatu, dan tidak tahu nilai segala sesuatu.”
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 6 Maret 2010
Label:
autopsi,
bentara,
flores,
flores pos,
hukum,
kematian nurdin bin yusuf,
mun'im idris,
polres sikka,
sikka
04 Maret 2010
Kajari Benar, Tapi ….
Kasus Korupsi di Ende
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende menetapkan mantan Sekda Ende Iskandar Mohammad Mberu dan Asisten I Stda Ende Hendrikus Seni menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Ende, khusus pos tidak terduga, senilai Rp150 juta. Kejaksaan akan segera layangkan surat panggilan, kata Kajari Marihot Silalahi (Flores Pos Kamis 4 Maret 2010).
Dalam kasus ini, Iskandar Mberu memerintahkan Kepala BPKAD utuk keluarkan uang Rp150 juta. Uang ini diterima Hendrik Seni untuk diteruskan kepada pihak ketiga, yakni (menurut penyelidikan) oknum BPK. Hendrik Seni merasa ia tidak lakukan korupsi. Sebab, dia hanya perantara. Uang itu tidak ia nikmati. Malah uang itu sudah dikembalikan ke kas negara.
Ini dibenarkan Sekretaris Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat, Oscar Vigator. Menurut dia, sepatutnya kasus ini tidak dilanjutkan. Dua unsurnya sudah tidak ada. Unsur memperkaya diri tak relevan, karena uang itu bukan untuk dan tidak dinikmati oleh Hendrik Seni. Ia hanya perantara. Sedangkan unsur merugikan keuangan negara gugur, karena uang sudah dikembalikan ke kas daerah.
Tanggapan Kajari Silalahi? Pengembalian uang tidak menghentikan proses hukum. Apalagi, uang itu baru dikembalikan setelah jaksa lakukan penyidikan. Pengembalian uang hanya akan jadi bahan pertimbangan dalam perkara, tapi tidak menghentikan perkara.
Kajari Silalahi benar. Tanpa merujuk UU ruwet, cukup pakai akal sehat, kita paham. Contohnya, dari yang sederhana saja. Si A menganiaya si B hingga terluka. Ada dua unsur di sini. Unsur perbuatan (menganiaya) dan unsur akibat (terluka). Karena diobati, luka itu sembuh. Dengan kata lain, akibat dari perbuatan itu pulih. Pertanyaan kita: dengan pulihnya akibat, apakah perbuatan menganiaya dianggap tidak (pernah) ada?
Akal sehat kita pasti bilang: tidak. Logika hukum pidana juga begitu. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena uang negara kembali. Karena itu, dalam kasus di atas, Kajari Silalahi benar. Pengembalian uang ke kas negara tidak menghentikan proses hukum.
Mengembalikan uang itu jelas tindakan terpuji. Maka, patut dijadikan bahan pertimbangan dalam perkara. Namun, ‘sayangnya’, tindakan itu tidak bisa menghentikan perkara. Sebab, ‘ini sedihnya’, selain merupakan keharusan, mengembalikan uang itu serentak juga merupakan bukti adanya perbuatan melawan hukum. Kalau tidak melawan hukum, kenapa dikembalikan?
Yang menarik dari kasus ini sebenarnya bukan itu. Tapi, dua hal ini, Pertama, momentum penetapan tersangkanya. Koq, dilakukan sehari setelah PMKRI mendesak Kajari Silalahi mundur karena dinilai gagal. Apakah karena ada presur lalu mulai gopo-gapa? Atau urutan kejadian itu kebetulan saja?
Seorang warga Ende, Romo Yosef Liwu Pr, mempertanyakan ini via SMS. “Lihat tuh, setelah PMKRI demo, ya langsung ada tersangka baru e? Atau memang kejari sudah bidik duluan? Tapi pola kerja yang begitu-begitu saja dari dulu. Diam panjang, gebrak 1-2 menit, dan begitu terus, yang berujung pada tidak ada hasil.”
Kedua, kenapa kajari dahulukan kasus kecil ini? Kenapa tidak prioritaskan kasus besar yang berultah berkali-kali di kejari dan rugikan keuangan negara miliaran rupiah? Apakah ini kerja ala kadarnya sebelum pamit biar tidak dinilai gagal? Kita khawatir, Romo Yosef Liwu benar. Ini “gebrak 1-2 menit” sebelum “diam panjang” berlanjut, “yang berujung pada tidak ada hasil.”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Kejari Ende menetapkan mantan Sekda Ende Iskandar Mohammad Mberu dan Asisten I Stda Ende Hendrikus Seni menjadi tersangka kasus dugaan korupsi dana APBD Kabupaten Ende, khusus pos tidak terduga, senilai Rp150 juta. Kejaksaan akan segera layangkan surat panggilan, kata Kajari Marihot Silalahi (Flores Pos Kamis 4 Maret 2010).
Dalam kasus ini, Iskandar Mberu memerintahkan Kepala BPKAD utuk keluarkan uang Rp150 juta. Uang ini diterima Hendrik Seni untuk diteruskan kepada pihak ketiga, yakni (menurut penyelidikan) oknum BPK. Hendrik Seni merasa ia tidak lakukan korupsi. Sebab, dia hanya perantara. Uang itu tidak ia nikmati. Malah uang itu sudah dikembalikan ke kas negara.
Ini dibenarkan Sekretaris Pusat Kajian dan Advokasi Masyarakat, Oscar Vigator. Menurut dia, sepatutnya kasus ini tidak dilanjutkan. Dua unsurnya sudah tidak ada. Unsur memperkaya diri tak relevan, karena uang itu bukan untuk dan tidak dinikmati oleh Hendrik Seni. Ia hanya perantara. Sedangkan unsur merugikan keuangan negara gugur, karena uang sudah dikembalikan ke kas daerah.
Tanggapan Kajari Silalahi? Pengembalian uang tidak menghentikan proses hukum. Apalagi, uang itu baru dikembalikan setelah jaksa lakukan penyidikan. Pengembalian uang hanya akan jadi bahan pertimbangan dalam perkara, tapi tidak menghentikan perkara.
Kajari Silalahi benar. Tanpa merujuk UU ruwet, cukup pakai akal sehat, kita paham. Contohnya, dari yang sederhana saja. Si A menganiaya si B hingga terluka. Ada dua unsur di sini. Unsur perbuatan (menganiaya) dan unsur akibat (terluka). Karena diobati, luka itu sembuh. Dengan kata lain, akibat dari perbuatan itu pulih. Pertanyaan kita: dengan pulihnya akibat, apakah perbuatan menganiaya dianggap tidak (pernah) ada?
Akal sehat kita pasti bilang: tidak. Logika hukum pidana juga begitu. Perbuatan pidana tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena akibatnya dipulihkan. Tindak pidana korupsi tidak hilang atau dianggap tidak ada hanya karena uang negara kembali. Karena itu, dalam kasus di atas, Kajari Silalahi benar. Pengembalian uang ke kas negara tidak menghentikan proses hukum.
Mengembalikan uang itu jelas tindakan terpuji. Maka, patut dijadikan bahan pertimbangan dalam perkara. Namun, ‘sayangnya’, tindakan itu tidak bisa menghentikan perkara. Sebab, ‘ini sedihnya’, selain merupakan keharusan, mengembalikan uang itu serentak juga merupakan bukti adanya perbuatan melawan hukum. Kalau tidak melawan hukum, kenapa dikembalikan?
Yang menarik dari kasus ini sebenarnya bukan itu. Tapi, dua hal ini, Pertama, momentum penetapan tersangkanya. Koq, dilakukan sehari setelah PMKRI mendesak Kajari Silalahi mundur karena dinilai gagal. Apakah karena ada presur lalu mulai gopo-gapa? Atau urutan kejadian itu kebetulan saja?
Seorang warga Ende, Romo Yosef Liwu Pr, mempertanyakan ini via SMS. “Lihat tuh, setelah PMKRI demo, ya langsung ada tersangka baru e? Atau memang kejari sudah bidik duluan? Tapi pola kerja yang begitu-begitu saja dari dulu. Diam panjang, gebrak 1-2 menit, dan begitu terus, yang berujung pada tidak ada hasil.”
Kedua, kenapa kajari dahulukan kasus kecil ini? Kenapa tidak prioritaskan kasus besar yang berultah berkali-kali di kejari dan rugikan keuangan negara miliaran rupiah? Apakah ini kerja ala kadarnya sebelum pamit biar tidak dinilai gagal? Kita khawatir, Romo Yosef Liwu benar. Ini “gebrak 1-2 menit” sebelum “diam panjang” berlanjut, “yang berujung pada tidak ada hasil.”
“Bentara” FLORES POS, Jumat 5 Maret 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hendrikus seni,
hukum,
iskandar mohammad mberi,
kajari marihot silalahi,
kasus korupsi,
kejari ende
03 Maret 2010
Desakan PMKRI Masuk Akal
Buruknya Kinerja Kejari Ende
Oleh Frans Anggal
PMKRI Cabang Ende mendesak Kajari Ende Marihot Silalahi mundur. Mereka juga desak Kejaksaan Agung RI segera mencopotnya. Marihot Silalahi dinilai gagal. Banyak kasus korupsi tidak terselesaikan. Satu di antara terpaksa diambil alih penanganannya oleh Kejati NTT.
Sikap PMKRI ini didukung anggota DPRD Ende dari Fraksi Demokrat, Arminus Wuni Wasa. Menurut dia, pengambilalihan penanganan kasus oleh Kejati NTT menunjukkan Kajari Silalahi tidak mampu. Karena itu, wajar PMKRI desak dia mundur atau dicopot (Flores Pos Rabu 3 Maret 2010).
Bagi yang tahu rekam jejak Kejari Ende, tuntutan PMKRI masuk akal. Banyak kasus korupsi berulang tahun di lembaga ini. Di antaranya, kasus pembelian alat uji kendaraan di Dishub, dengan kerugian negara Rp1,435 miliar. Kasus pembelian mesin pompa air PDAM, dengan kerugian negara Rp270 juta. Dan, kasus dana APBD yang dipinjamkan kepada pihak ketiga senilai Rp3,5 miliar. Yang terakhir inilah yang penanganannya diambil alih Kejati NTT.
PMKRI dan berbagai elemen civil society di Kabupaten Ende telah berkali-kali menyoroti dan mendesakkan penyelesaian segera semua kasus itu. Namun, seperti kata pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu. Tampaknya, hanya mendesakkan penyelesaian kasus sudah tidak mempan lagi. Dipandang perlu, mendesakkan pengunduran diri atau pencopotan jabatan si kajari.
Pada banyak kasus, penggantian seorang kepala berdampak positif bagi kinerja lembaga. Kita ambil contoh, dari Kabupaten Manggarai. Begitu Timbul Tamba mengepalai Kejari Ruteng, hasilnya kelihatan. Banyak koruptor masuk ‘hotel prodeo’ di Labe. Contoh lain bisa diambil dari lembaga kepolisian. Polres Lembata dalam kasus pembunuhan Yoakim Langoday dan Polres Ngada dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr.
Saat Polres Lembata dikepalai kapolres lama, kasus Langoday tidak jelas nasibnya. Nasib serupa menimpa kasus Romo Faustin ketika Polres Ngada masih dipimpin kepolres lama. Begitu kedua kapolres diganti, bersamaan dengan diambil alihnya penyidikan oleh Polda NTT, hasilnya langsung kelihatan. Kini kedua kasus sedang dalam persidangan.
Ketiga contoh di atas menunjukkan, kinerja sebuah lembaga penegak hukum sangat bergantung dari kinerja kepala atau pemimpinnya. Lembaga kejaksaan kita sudah bagus. Srukturnya sudah bagus. Sistemnya pun sudah bagus. Yang belum, perilaku aparatnya. Semakin tidak bagus lagi, di bawah kepemimpinan yang tidak kuat. Sebaliknya, di bawah kepemimpinan yang kuat, bukan hanya aparatnya yang jadi bagus, tapi juga keseluruhan dan keutuhan kinerja lembaga. Sebab, kepemimpinan yang kuat dapat mengimbangi kelemahan struktur dan sistem kelembagaan.
Dalam konteks inilah kita melihat Kejari Ende. Kalau lembaga ini buruk kinerjanya, kajarinyalah yang harus disoroti, didorong, didesaki tuntutan. Kalau desakan berkinerja lebih baik tetap tidak dihiraukan, majukan desakan pengunduran diri atau pencopotannya dari jabatan. Masih ada (semoga juga masih banyak) yang jauh lebih mampu dan lebih baik. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan karena kajari seorang, rusak citra selembaga, rusak hukum sedaerah, rusak keadilan sekabupaten.
Karena itu, kita setuju dengan PMKRI. Sebaiknya Kajari Sialahi mengundurkan diri. Kalau ini sulit, karena kita bukan orang Jepang, maka sebaiknya Kejaksaan Agung RI menggantinya dengan yang lain. Yang lebih mampu dan lebih baik. Minimal, seperti Timbul Tamba itulah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
PMKRI Cabang Ende mendesak Kajari Ende Marihot Silalahi mundur. Mereka juga desak Kejaksaan Agung RI segera mencopotnya. Marihot Silalahi dinilai gagal. Banyak kasus korupsi tidak terselesaikan. Satu di antara terpaksa diambil alih penanganannya oleh Kejati NTT.
Sikap PMKRI ini didukung anggota DPRD Ende dari Fraksi Demokrat, Arminus Wuni Wasa. Menurut dia, pengambilalihan penanganan kasus oleh Kejati NTT menunjukkan Kajari Silalahi tidak mampu. Karena itu, wajar PMKRI desak dia mundur atau dicopot (Flores Pos Rabu 3 Maret 2010).
Bagi yang tahu rekam jejak Kejari Ende, tuntutan PMKRI masuk akal. Banyak kasus korupsi berulang tahun di lembaga ini. Di antaranya, kasus pembelian alat uji kendaraan di Dishub, dengan kerugian negara Rp1,435 miliar. Kasus pembelian mesin pompa air PDAM, dengan kerugian negara Rp270 juta. Dan, kasus dana APBD yang dipinjamkan kepada pihak ketiga senilai Rp3,5 miliar. Yang terakhir inilah yang penanganannya diambil alih Kejati NTT.
PMKRI dan berbagai elemen civil society di Kabupaten Ende telah berkali-kali menyoroti dan mendesakkan penyelesaian segera semua kasus itu. Namun, seperti kata pepatah, anjing menggonggong, kafilah berlalu. Tampaknya, hanya mendesakkan penyelesaian kasus sudah tidak mempan lagi. Dipandang perlu, mendesakkan pengunduran diri atau pencopotan jabatan si kajari.
Pada banyak kasus, penggantian seorang kepala berdampak positif bagi kinerja lembaga. Kita ambil contoh, dari Kabupaten Manggarai. Begitu Timbul Tamba mengepalai Kejari Ruteng, hasilnya kelihatan. Banyak koruptor masuk ‘hotel prodeo’ di Labe. Contoh lain bisa diambil dari lembaga kepolisian. Polres Lembata dalam kasus pembunuhan Yoakim Langoday dan Polres Ngada dalam kasus pembunuhan Romo Faustin Sega Pr.
Saat Polres Lembata dikepalai kapolres lama, kasus Langoday tidak jelas nasibnya. Nasib serupa menimpa kasus Romo Faustin ketika Polres Ngada masih dipimpin kepolres lama. Begitu kedua kapolres diganti, bersamaan dengan diambil alihnya penyidikan oleh Polda NTT, hasilnya langsung kelihatan. Kini kedua kasus sedang dalam persidangan.
Ketiga contoh di atas menunjukkan, kinerja sebuah lembaga penegak hukum sangat bergantung dari kinerja kepala atau pemimpinnya. Lembaga kejaksaan kita sudah bagus. Srukturnya sudah bagus. Sistemnya pun sudah bagus. Yang belum, perilaku aparatnya. Semakin tidak bagus lagi, di bawah kepemimpinan yang tidak kuat. Sebaliknya, di bawah kepemimpinan yang kuat, bukan hanya aparatnya yang jadi bagus, tapi juga keseluruhan dan keutuhan kinerja lembaga. Sebab, kepemimpinan yang kuat dapat mengimbangi kelemahan struktur dan sistem kelembagaan.
Dalam konteks inilah kita melihat Kejari Ende. Kalau lembaga ini buruk kinerjanya, kajarinyalah yang harus disoroti, didorong, didesaki tuntutan. Kalau desakan berkinerja lebih baik tetap tidak dihiraukan, majukan desakan pengunduran diri atau pencopotannya dari jabatan. Masih ada (semoga juga masih banyak) yang jauh lebih mampu dan lebih baik. Jangan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Jangan karena kajari seorang, rusak citra selembaga, rusak hukum sedaerah, rusak keadilan sekabupaten.
Karena itu, kita setuju dengan PMKRI. Sebaiknya Kajari Sialahi mengundurkan diri. Kalau ini sulit, karena kita bukan orang Jepang, maka sebaiknya Kejaksaan Agung RI menggantinya dengan yang lain. Yang lebih mampu dan lebih baik. Minimal, seperti Timbul Tamba itulah.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 4 Maret 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
kajari ende,
kajari marihot silalahi,
kejari ende,
korupsi
Ketika Rakyat Muak
Maraknya Artis Terjuan ke Politik
Oleh Frans Anggal
DPD PDI Perjuangan Sumatera Selatan mendukung Helmy Yahya menjadi bakal calon bupati Ogan Ilir pada pemilukada 5 Juni 2010. Dasar pertimbangannya, Helmy pernah jadi calon wakil gubernur Sumatera Selatan berpasangan dengan Syharial Oesman. Meksi gagal kala itu, Helmy mendapat dukungan suara signifikan di Kabupaten Ogan Ilir (Flores Pos Selasa 2 Maret 2010).
Apa pentingnya berita ini? Helmy Yahya itu seleb. Pebisnis hiburan. Ia satu dari banyak artis yang kini marak terjun ke politik. Sesuatu yang tidak baru sebetulnya. Tahun 1960-an, Bing Slamet jadi anggota DPR-GR. Selanjutnya satu dua artis duduk di DPR. Tapi, semua itu jabatan legislatif.
Jabatan eksekutif? Ini baru. Tahun 2008, Rano Karno terpilih jadi wakil bupati Tengerang, berpasangan dengan Ismet Iskandar. Setahun kemudian, 2009, Dede Yusuf jadi wakil gubernur Jawa Barat, mendampingi Ahmad Heryawan. Tahun 2010, bisa saja Helmy Yahya wakil bupati Ogan Ilir.
Yang baru di sini, tidak baru di luar negeri. Di AS, Ronald Reagan jadi presiden. Arnold Shwarzenegger jadi gubernur California. Di Filipina, Yoseph Estrada jadi presiden. Di Italia, lebih ‘gila’. Bintang film porno jadi anggota parlemen. Anna Ilona Staller namanya alias Cicciolina. Ia diusung Partai Cinta. Pada pemilihan parlemen 1987, ia raih 20 ribu suara, nomor dua terbanyak. Tahun 1992, ia ikut lagi. Tahun 2008 muncul bintang film porno lain, Milly D’Abbraccio.
Kenapa mereka yang begitu-begitu bisa laku, terpilih, dan menggusur para politisi totok? Milly D’Abbraccio punya jawabannya saat diwawancarai Reuters. ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu …. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Para politisi itu …. Wah, persis seperti di Indonesia. Partainya baru, mukanya lama. Partainya banyak, platformnya sama. Suka kasih janji, tapi gemar ingkar janji. Mudah mengkritik, tapi gampang terkooptasi. Di luar ring mereka lantang, masuk ring mereka bungkam. Sebelum berkuasa mereka memberdayakan, setelah berkuasa mereka memperdayakan. Selagi di bawah mereka mengajar, setelah di atas mereka menghajar.
Jawaban si bintang film porno itu mirip dengan penjelasan pengamat politik dan kebudayaan Indonesia, Ben Anderson (2001). Tentang banyaknya artis terpilih menduduki jabatan politis di Indonesia, Anderson menduga, kesenangan massa rakyat Indonesia terhadap artis itu bukanlah pengidolaan. Fenomena ini lebih mengungkapkan pengingkaran dan rasa muak massa rakyat terhadap elite politik. Sama dengan jawaban Milly D’Abbraccio, bukan? ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi ….”
Kemuakan lahir, tentu tidak hanya karena kiprah elite politik. Sebesar apa pun kejahatannya, politisi tidak akan memuakkan kalau publik tidak tahu tentangnya. Publik tidak tahu kalau tidak diberi tahu. Di sini peran media massa sebagai pemberita(hu) sangatlah penting. Terutama televisi. Kalau berita tentang politisi selalu yang buruk-buruk (karena memang suka bikin yang buruk-buruk), bagaimana mungkin citranya positif di mata publik? Kalau beritanya terus-menerus seperti itu, bagaimana mungkin tidak memuakkan?
Ruang kosong yang lahir dari kemuakan publik inilah yang kemudian diisi oleh para entertain. Dan, klop. Berterima. Bagaimana hasilnya nanti, itu soal lain lagi. Boleh jadi, sebagai politisi, para (mantan) artis bakal memuakkan juga. Paling-paling diganti dengan yang lain. Sungguh, kita sedang masuki era baru. Era celebrity politics menurut Darrell West. Hasilnya? Nanti kita lihat.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
DPD PDI Perjuangan Sumatera Selatan mendukung Helmy Yahya menjadi bakal calon bupati Ogan Ilir pada pemilukada 5 Juni 2010. Dasar pertimbangannya, Helmy pernah jadi calon wakil gubernur Sumatera Selatan berpasangan dengan Syharial Oesman. Meksi gagal kala itu, Helmy mendapat dukungan suara signifikan di Kabupaten Ogan Ilir (Flores Pos Selasa 2 Maret 2010).
Apa pentingnya berita ini? Helmy Yahya itu seleb. Pebisnis hiburan. Ia satu dari banyak artis yang kini marak terjun ke politik. Sesuatu yang tidak baru sebetulnya. Tahun 1960-an, Bing Slamet jadi anggota DPR-GR. Selanjutnya satu dua artis duduk di DPR. Tapi, semua itu jabatan legislatif.
Jabatan eksekutif? Ini baru. Tahun 2008, Rano Karno terpilih jadi wakil bupati Tengerang, berpasangan dengan Ismet Iskandar. Setahun kemudian, 2009, Dede Yusuf jadi wakil gubernur Jawa Barat, mendampingi Ahmad Heryawan. Tahun 2010, bisa saja Helmy Yahya wakil bupati Ogan Ilir.
Yang baru di sini, tidak baru di luar negeri. Di AS, Ronald Reagan jadi presiden. Arnold Shwarzenegger jadi gubernur California. Di Filipina, Yoseph Estrada jadi presiden. Di Italia, lebih ‘gila’. Bintang film porno jadi anggota parlemen. Anna Ilona Staller namanya alias Cicciolina. Ia diusung Partai Cinta. Pada pemilihan parlemen 1987, ia raih 20 ribu suara, nomor dua terbanyak. Tahun 1992, ia ikut lagi. Tahun 2008 muncul bintang film porno lain, Milly D’Abbraccio.
Kenapa mereka yang begitu-begitu bisa laku, terpilih, dan menggusur para politisi totok? Milly D’Abbraccio punya jawabannya saat diwawancarai Reuters. ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi itu …. Mereka ganti nama partai, tapi orangnya sama saja. Masing-masing menjanjikan banyak hal, tapi tak ada yang terjadi.”
Para politisi itu …. Wah, persis seperti di Indonesia. Partainya baru, mukanya lama. Partainya banyak, platformnya sama. Suka kasih janji, tapi gemar ingkar janji. Mudah mengkritik, tapi gampang terkooptasi. Di luar ring mereka lantang, masuk ring mereka bungkam. Sebelum berkuasa mereka memberdayakan, setelah berkuasa mereka memperdayakan. Selagi di bawah mereka mengajar, setelah di atas mereka menghajar.
Jawaban si bintang film porno itu mirip dengan penjelasan pengamat politik dan kebudayaan Indonesia, Ben Anderson (2001). Tentang banyaknya artis terpilih menduduki jabatan politis di Indonesia, Anderson menduga, kesenangan massa rakyat Indonesia terhadap artis itu bukanlah pengidolaan. Fenomena ini lebih mengungkapkan pengingkaran dan rasa muak massa rakyat terhadap elite politik. Sama dengan jawaban Milly D’Abbraccio, bukan? ”Tiap orang sudah muak dengan wajah para politisi ….”
Kemuakan lahir, tentu tidak hanya karena kiprah elite politik. Sebesar apa pun kejahatannya, politisi tidak akan memuakkan kalau publik tidak tahu tentangnya. Publik tidak tahu kalau tidak diberi tahu. Di sini peran media massa sebagai pemberita(hu) sangatlah penting. Terutama televisi. Kalau berita tentang politisi selalu yang buruk-buruk (karena memang suka bikin yang buruk-buruk), bagaimana mungkin citranya positif di mata publik? Kalau beritanya terus-menerus seperti itu, bagaimana mungkin tidak memuakkan?
Ruang kosong yang lahir dari kemuakan publik inilah yang kemudian diisi oleh para entertain. Dan, klop. Berterima. Bagaimana hasilnya nanti, itu soal lain lagi. Boleh jadi, sebagai politisi, para (mantan) artis bakal memuakkan juga. Paling-paling diganti dengan yang lain. Sungguh, kita sedang masuki era baru. Era celebrity politics menurut Darrell West. Hasilnya? Nanti kita lihat.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 3 Maret 2010
Label:
anna ilona staller,
arnold shwarzenegger,
artis,
bentara,
dede yusuf,
flores pos,
maraknya artis terjuan ke politik,
milly d'abbraccio,
nasional,
politik,
rano karno,
ronald reagen,
yoseph estrada
01 Maret 2010
Kenapa Adi Us Tertangkap?
Penipuan Jelang UAS dan UN di Ende
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 19 siswa SMP di Ende jadi korban penipuan Tibertius Ma’u alias Adi Us (24). Kepada mereka Adi Us janjikan kunci jawaban UAS dan UN, asalkan mereka setor uang dan pulsa Rp50-400 ribu. Aksinya sejak Oktober 2009. Mulai terbongkar ketika tiga siswa merasa ditekan. Adi Us sering ancam tidak akan beri kunci jawaban apabila uang dan pulsa terlambat disetor. Tiga siswa ini lapor ke polisi. Adi Us ditangkap (Flores Pos Senin 1 Maret 2010).
Siapakah Adi Us? Berita Flores Pos hanya menyebutnya warga Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah. Dia bukan guru. Bukan pegawai sekolah. Bukan pula pegawai dinas pendidikan. Jadi, dia tidak ada sangkut-pautnya dengan UAS dan UN. Koq bisa-bisanya dipercaya oleh para siswa!
Suksesnya Adi Us menipu (meski akhirnya tertangkap) menujukkan, tidak hanya jahat, dia juga pintar. Sebaliknya, gampangnya ke-19 siswa ditipu menunjukkan, tidak hanya baik (polos-lugu), mereka juga tolol. Kunci sukses penipuan justru terletak di situ. Pelakunya pintar tapi jahat. Korbannya baik tapi tolol. Hampir semua tragedi berakar pada gabungan itu. Di depan si pintar-jahat, si baik-tolol selalu jadi ayam sayur.
Pada kasus di atas, si baik-tolol berada dalam kecemasan jelang UAS dan UN. Mereka butuhkan pegangan: kalau bukan kepastian, paling kurang optimisme. Si pintar-jahat tahu itu. Ia juga tahu apa yang paling andal mengatasi kecemasan itu: kunci jawaban UAS dan UN! Kunci ini tidak hanya berikan optimisme, tapi juga kepastian lulus. Transaksi pun berjalan.
Menjadi pertanyaan kita: mengapa untuk mengatasi kecemasan UAS dan UN, para siswa bukannya semakin tekun belajar, tapi malah mencari kunci jawaban? Ada yang telah terkikis dalam dunia pendidikan kita. Yakni, apa yang dalam bahasa Jerman disebut Ausdauer: ketekunan, ketabahan, daya tahan, stamina. Maunya yang serbapintas, serbacepat, serbagampang. Bila perlu, seperti burung di udara, tidak menanam tapi menuai. Mental instan!
Mental ini tidak lahir tiba-tiba. Semuanya melalui proses. Lewat pengalaman, pencerapan, pembelajaran, komunikasi, dan interaksi dengan lingkungan: di rumah, di sekolah, di masyarakat. Karena yang begitu yang selalu mereka lihat, maka yang begitulah yang mereka anggap baik dan benar, sehingga yang begitu jugalah yang mereka lakukan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bahkan, buah itu menujukkan pohonnya. Pohon keluarga, pohon sekolah, pohon masyarakat, pohon bangsa, pohon negara.
Karena itu, kalau banyak pelajar sekarang ini bermenal instan, janganlah kaget. Masalahnya di pohonnya itu. Negara ini negara para pencinta jalan pintas. Korupsi, sogok-menyogok, jual beli ijazah, dst. Bukankah masuk akal kalau buah dari pohon seperti ini bercitarasa instan pula?
Jika begitu soalnya, kiranya kita tidak pura-pura terkejut kalau akhirnya harus dikatakan: kasus 19 siswa SMP di Ende itu bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama kali. Tiap tahun, jelang atau saat UN, selalu ada skandal. Kalau bukan jual beli kunci jawaban, ya pembocoran soal. Kalau bukan oleh orang luar seperti pada kasus di atas, ya oleh orang dalam. Dan kalau sudah libatkan orang dalam, jangan harap kasusnya sampai di tangan polisi. Kenapa?
Ada semacam solidaitas tahu sama tahu sambil tutup mulut demi jaga nama. Siswa jaga nama guru, guru jaga nama sekolah, sekolah jaga nama dinas pendidikan, dinas pendidikan jaga nama daerah, dst. Dalam kasus di atas, rupanya Adi Us tahu “rahasia umum” ini. Dia coba nimbrung, cari untung. Mulanya untung, ujungnya buntung. Kenapa? Aksinya tidak tergaransi baik. Kenapa? Karena dia bukan orang dalam!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Sebanyak 19 siswa SMP di Ende jadi korban penipuan Tibertius Ma’u alias Adi Us (24). Kepada mereka Adi Us janjikan kunci jawaban UAS dan UN, asalkan mereka setor uang dan pulsa Rp50-400 ribu. Aksinya sejak Oktober 2009. Mulai terbongkar ketika tiga siswa merasa ditekan. Adi Us sering ancam tidak akan beri kunci jawaban apabila uang dan pulsa terlambat disetor. Tiga siswa ini lapor ke polisi. Adi Us ditangkap (Flores Pos Senin 1 Maret 2010).
Siapakah Adi Us? Berita Flores Pos hanya menyebutnya warga Kelurahan Paupire, Kecamatan Ende Tengah. Dia bukan guru. Bukan pegawai sekolah. Bukan pula pegawai dinas pendidikan. Jadi, dia tidak ada sangkut-pautnya dengan UAS dan UN. Koq bisa-bisanya dipercaya oleh para siswa!
Suksesnya Adi Us menipu (meski akhirnya tertangkap) menujukkan, tidak hanya jahat, dia juga pintar. Sebaliknya, gampangnya ke-19 siswa ditipu menunjukkan, tidak hanya baik (polos-lugu), mereka juga tolol. Kunci sukses penipuan justru terletak di situ. Pelakunya pintar tapi jahat. Korbannya baik tapi tolol. Hampir semua tragedi berakar pada gabungan itu. Di depan si pintar-jahat, si baik-tolol selalu jadi ayam sayur.
Pada kasus di atas, si baik-tolol berada dalam kecemasan jelang UAS dan UN. Mereka butuhkan pegangan: kalau bukan kepastian, paling kurang optimisme. Si pintar-jahat tahu itu. Ia juga tahu apa yang paling andal mengatasi kecemasan itu: kunci jawaban UAS dan UN! Kunci ini tidak hanya berikan optimisme, tapi juga kepastian lulus. Transaksi pun berjalan.
Menjadi pertanyaan kita: mengapa untuk mengatasi kecemasan UAS dan UN, para siswa bukannya semakin tekun belajar, tapi malah mencari kunci jawaban? Ada yang telah terkikis dalam dunia pendidikan kita. Yakni, apa yang dalam bahasa Jerman disebut Ausdauer: ketekunan, ketabahan, daya tahan, stamina. Maunya yang serbapintas, serbacepat, serbagampang. Bila perlu, seperti burung di udara, tidak menanam tapi menuai. Mental instan!
Mental ini tidak lahir tiba-tiba. Semuanya melalui proses. Lewat pengalaman, pencerapan, pembelajaran, komunikasi, dan interaksi dengan lingkungan: di rumah, di sekolah, di masyarakat. Karena yang begitu yang selalu mereka lihat, maka yang begitulah yang mereka anggap baik dan benar, sehingga yang begitu jugalah yang mereka lakukan. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bahkan, buah itu menujukkan pohonnya. Pohon keluarga, pohon sekolah, pohon masyarakat, pohon bangsa, pohon negara.
Karena itu, kalau banyak pelajar sekarang ini bermenal instan, janganlah kaget. Masalahnya di pohonnya itu. Negara ini negara para pencinta jalan pintas. Korupsi, sogok-menyogok, jual beli ijazah, dst. Bukankah masuk akal kalau buah dari pohon seperti ini bercitarasa instan pula?
Jika begitu soalnya, kiranya kita tidak pura-pura terkejut kalau akhirnya harus dikatakan: kasus 19 siswa SMP di Ende itu bukanlah satu-satunya, dan bukan pula yang pertama kali. Tiap tahun, jelang atau saat UN, selalu ada skandal. Kalau bukan jual beli kunci jawaban, ya pembocoran soal. Kalau bukan oleh orang luar seperti pada kasus di atas, ya oleh orang dalam. Dan kalau sudah libatkan orang dalam, jangan harap kasusnya sampai di tangan polisi. Kenapa?
Ada semacam solidaitas tahu sama tahu sambil tutup mulut demi jaga nama. Siswa jaga nama guru, guru jaga nama sekolah, sekolah jaga nama dinas pendidikan, dinas pendidikan jaga nama daerah, dst. Dalam kasus di atas, rupanya Adi Us tahu “rahasia umum” ini. Dia coba nimbrung, cari untung. Mulanya untung, ujungnya buntung. Kenapa? Aksinya tidak tergaransi baik. Kenapa? Karena dia bukan orang dalam!
“Bentara” FLORES POS, Selasa 2 Maret 2010
Label:
bentara,
ende,
flores,
flores pos,
hukum,
pendidikan,
penipuan,
uas dan un 2010
Periksa Bupati Pranda!
Eksplorasi Tambang Emas di Manggarai Barat
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Mabar kini ‘asyik’ dengan pemilukada. Isu berseliweran. Dari soal cabup dan cawabup, parpol dan koalisi parpol, hingga mutasi di lingkup pemkab. Hajatan lima tahunan ini bisa bikin banyak orang lupa akan banyak hal. Termasuk, melupakan kasus hukum kelas berat yang semestinya mendapat prioritas penanganan.
Lihat, misalnya, kasus tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. Sudah mencuat sejak April 2009. Dua bulan lagi, berultah satu tahun. Eksplorasi di Batu Gosok melanggar perda tata ruang. Sedangkan eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung. Berbagai aksi telah dilakukan forum Geram dan berbagai elemen masyarakat. Terakhir, Geram tempuh proses hukum.
Hasilnya? Sudah lamban, sepotong-sepotong pula. Polres Mabar baru memeriksa ’krucu-krucu’, para kepala dinas terkait. Bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan pelaku eksplorasi belum tersentuh samasekali. Kenapa?
Untuk bupati, alasan kapolres jelas. Sedangkan untuk kuasa pertambangan, alasannya kabur air. Bupati belum diperiksa, katanya, karena belum ada izin dari presiden. Bisa dimengerti, dalam konteks UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 36 ayat 1 menyatakan: tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
Nah, bagaimana kalau belum ada persetujuan presiden? Ya, belum boleh diperiksa. Tampaknya kapolres memeluk erat ayat ini. Sampai-sampai, ia ’lupa’ baca ayat selanjutnya. Ayat 2 menyatakan: dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Surat penyidik ke presiden tertanggal 14 November 2009. Sudah tiga bulan lebih tuh. Di era transportasi dan komunikasi selancar sekarang, akal sehat kita bilang: surat itu sudah pasti tiba tiga bulan lalu. Sudah lewat jauh dari 60 hari. Maka, seharusnya sang bupati sudah diperiksa. Tidak bisa lagi berdalih tunggu izin presiden. Izin presiden tidak relevan lagi karena batas waktu yang ditetapkan UU terlampaui. Kenapa tetap ngotot tunggu sesuatu yang mubazir?
Dengan ini, akal sehat kita juga mau bilang: tidak ada alasan (lagi) untuk tidak segera memeriksa sang bupati. Bupati Pranda harus segera diperiksa! Pemilukada sekalipun tidak bisa dijadikan dasar penundaan penegakan hukum. Malah sebaliknya. Pemilukada mengharuskan percepatan penegakan hukum itu. Terutama, bila kasusnya berkenaan dengan diri kandidat. Dari kacamata demokrasi dan pendidikan politik, ini berguna sebagai informasi bagi calon pemilih agar mereka bisa menjatuhkan pilihan yang tepat.
Dalam istilah Milan Kundera, penegakan hukum di sini dapat kita pandang sebagai salah satu cara ’melawan lupa’. Melalui novelnya The Book of Laughter Forgetting (Buku tentang Ketawa dan Lupa), sastrawan Chekoslowakia ini mengabadikan kalimat yang kemudian jadi terkenal. The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.”
Pesan Kundera penting. Bangsa kita bangsa pelupa kelas berat. Ketika pemilu, pilkada, atau pemilukada datang, kita mudah lupa akan rekam jejak buruk para kontestan dan kandidat. Kita gampang dikuasai lewat ‘proyek lupa’ besar-besaran bernama sosialisasi dan kampanye. Apalagi kalau, seperti yang terkesan di Mabar, aparat penegak hukumnya ikut jadi kaki tangan. Ini tak boleh dibiarkan. Terhadap ‘proyek lupa’, hanya ada satu kata: Lawan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Maret 2010
Oleh Frans Anggal
Kabupaten Mabar kini ‘asyik’ dengan pemilukada. Isu berseliweran. Dari soal cabup dan cawabup, parpol dan koalisi parpol, hingga mutasi di lingkup pemkab. Hajatan lima tahunan ini bisa bikin banyak orang lupa akan banyak hal. Termasuk, melupakan kasus hukum kelas berat yang semestinya mendapat prioritas penanganan.
Lihat, misalnya, kasus tambang emas di Batu Gosok dan Tebedo. Sudah mencuat sejak April 2009. Dua bulan lagi, berultah satu tahun. Eksplorasi di Batu Gosok melanggar perda tata ruang. Sedangkan eksplorasi di Tebedo merambah hutan lindung. Berbagai aksi telah dilakukan forum Geram dan berbagai elemen masyarakat. Terakhir, Geram tempuh proses hukum.
Hasilnya? Sudah lamban, sepotong-sepotong pula. Polres Mabar baru memeriksa ’krucu-krucu’, para kepala dinas terkait. Bupati pemberi izin dan kuasa pertambangan pelaku eksplorasi belum tersentuh samasekali. Kenapa?
Untuk bupati, alasan kapolres jelas. Sedangkan untuk kuasa pertambangan, alasannya kabur air. Bupati belum diperiksa, katanya, karena belum ada izin dari presiden. Bisa dimengerti, dalam konteks UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 36 ayat 1 menyatakan: tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
Nah, bagaimana kalau belum ada persetujuan presiden? Ya, belum boleh diperiksa. Tampaknya kapolres memeluk erat ayat ini. Sampai-sampai, ia ’lupa’ baca ayat selanjutnya. Ayat 2 menyatakan: dalam hal persetujuan tertulis tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 hari terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
Surat penyidik ke presiden tertanggal 14 November 2009. Sudah tiga bulan lebih tuh. Di era transportasi dan komunikasi selancar sekarang, akal sehat kita bilang: surat itu sudah pasti tiba tiga bulan lalu. Sudah lewat jauh dari 60 hari. Maka, seharusnya sang bupati sudah diperiksa. Tidak bisa lagi berdalih tunggu izin presiden. Izin presiden tidak relevan lagi karena batas waktu yang ditetapkan UU terlampaui. Kenapa tetap ngotot tunggu sesuatu yang mubazir?
Dengan ini, akal sehat kita juga mau bilang: tidak ada alasan (lagi) untuk tidak segera memeriksa sang bupati. Bupati Pranda harus segera diperiksa! Pemilukada sekalipun tidak bisa dijadikan dasar penundaan penegakan hukum. Malah sebaliknya. Pemilukada mengharuskan percepatan penegakan hukum itu. Terutama, bila kasusnya berkenaan dengan diri kandidat. Dari kacamata demokrasi dan pendidikan politik, ini berguna sebagai informasi bagi calon pemilih agar mereka bisa menjatuhkan pilihan yang tepat.
Dalam istilah Milan Kundera, penegakan hukum di sini dapat kita pandang sebagai salah satu cara ’melawan lupa’. Melalui novelnya The Book of Laughter Forgetting (Buku tentang Ketawa dan Lupa), sastrawan Chekoslowakia ini mengabadikan kalimat yang kemudian jadi terkenal. The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting. “Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingat melawan lupa.”
Pesan Kundera penting. Bangsa kita bangsa pelupa kelas berat. Ketika pemilu, pilkada, atau pemilukada datang, kita mudah lupa akan rekam jejak buruk para kontestan dan kandidat. Kita gampang dikuasai lewat ‘proyek lupa’ besar-besaran bernama sosialisasi dan kampanye. Apalagi kalau, seperti yang terkesan di Mabar, aparat penegak hukumnya ikut jadi kaki tangan. Ini tak boleh dibiarkan. Terhadap ‘proyek lupa’, hanya ada satu kata: Lawan!
“Bentara” FLORES POS, Senin 1 Maret 2010
Langganan:
Postingan (Atom)