Kontroversi Tambang di Riung
Oleh Frans Anggal
Pemkab Ngada lakukan sosialisasi tambang bijih besi di wilayah Kecamatan Riung. Sosialisasi tiga hari bertutut-turut, 14-16 Juli 2010. Hari pertama, dalam wilayah kota kecamatan: di Kelurahan Benteng Tengah dan Kelurahan Nanga Meze. Hari kedua dan ketiga, di luar kota: di Desa Sambinasi dan Desa Latung (Flores Pos Sabtu 17 Juli 2010).
Ketua Persatuan Riung Seriwu (Perisai) Alfons Beghu terheran-heran dengan cara pemkab. Sosialisasinya koq mutar-mutar jauh ke wilayah yang justru tidak punya potensi bijih besi: Benteng Tengah, Nanga Meze, dan Sambinasi. Kenapa tidak langsung ke target utama, Desa Latung? Desa inilah yang punya bijih besi.
Pertanyaan Alfons Beghu ini pertanyaan retoris. Ia tidak butuhkan jawaban. Jawabannya sudah ia tahu. Sudah jadi ’rahasia umum’ di Riung. Sosialisasi langsung ke Desa Latung tidak mudah. Masyarakatnya sudah ambil sikap jelas tegas. Tolak tambang sampai titik darah terakhir.
Karena tolak tambang sudah jadi sikap final mereka maka, konsekuensinya, izin ekplorasi di wilayah mereka pun mereka tolak. Yaitu, izin eksplorasi bahan galian bijih besi dan mineral serta pengikut lainnya. Izin ini diberikan Bupati Yos Piet Nuwa Wea kepada PT Graha Kencana tahun 2009. Diberikan tanpa konsultasi publik. Tanpa persetujuan warga lokasi tambang.
Maka, yang kini terjadi, pertarungan dua izin. Izinya bupati melawan izinnya masyarakat. Izinnya bupati izin (di atas) kertas. Izinnya masyarakat izin (di atas) tanah. Oleh tanda tangan dan cap bupati, kertas itu bertuah: menjadi SK. Itulah kekuasaan, kata Dylan Thomas, penyair terkenal dari Wales. Kekuasaan adalah the hands that signed the paper. Tangan yang menandatangani kertas!
Tangan inilah yang kini bertarung melawan tangan lain. Tangan warga Desa Latung. Tangan yang tidak menandatangani kertas. Karena, mereka tidak punya kertas. Tidak hidup dari kertas. Tidak memperdagangkan kertas. Mereka hanya punya tanah. Hidup dari tanah. Tanah itulah kertas mereka. Di atasnya mereka bubuhkan tanda tangan dan cap. Alat tulisnya pacul dan sekop. Tintanya keringat dan airmata.
Ketika tanah itu mau dijadikan lokasi eksplorasi tambang, mereka tidak rela. Tambang mereka tolak. Izin ekplorasinya---sang kertas—juga mereka tolak. Mereka tolak sampai titik darah penghabisan. Mereka tidak rela ”tanah tumpah darah” hancur hanya oleh selembar ”kertas tumpah tinta” seorang bupati. Karena itu, segala bentuk ’rayuan’ mereka tolak.
Pertama, mereka tidak menghadiri ritus adat rambu rangke yang diprakarsai dan difasilitasi bupati di halaman kantor camat Riung, Sabtu 26 Juni 2010. Sebagai tandingan terhadap ajang konsolidasi pendukung tambang itu, pada hari yang sama di tempat lain mereka gelar “musyawarah masyarakat tolak tambang”.
Kedua, mereka menunggu sosialisasi pemkab. Malah menunggu dengan penuh ’rindu’. Bukan karena mereka mau ‘dirayu”, tapi karena mereka sudah ‘tidak tahan’ untuk menyampaikan sekali lagi sikap final menolak tambang. Karena itu, mereka ‘kecewa’, sosialisasi tidak langsung ke desa mereka, tapi mutar-mutar ke wilayah pro-tambang tapi tak punya potensi tambangnya.
Di mata mereka, sosialisasi itu sia-sia. Sebab, sikap mereka sudah final. Tolak tambang dan tolak izin eksplorasi tambang. Mereka tidak rela ”tanah tumpah darah” hancur oleh dampak selembar ”kertas tumpah tinta” seorang bupati.
“Bentara” FLORES POS, Senin 19 Juli 2010
3 komentar:
"Pemkab Nagekeo" lakukan sosialisasi tambang bijih besi di wilayah Kecamatan Riung. Sosialisasi tiga hari bertutut-turut, 14-16 Juli 2010.
Apa benar pemkab Nagekeo? atau mungkin yang anda maksudkan Ngada? Karena Riung masuk dalam wilayah Kab.Ngada. Mohon dilihat lagi,Terima Kasih. :)
Anda benar. Semestinya "Pemkab Ngada", bukan "Pemkab Nagekeo". Mohon maaf atas ketidakcermatan ini. Koreksi telah masukkan. Terima kasih.
di riung sedang dilakukan penelitian kembali, apa benar jadi di tambang??? padahal menurut informasi di pemkab IUP sedang bermasalah
Posting Komentar