Dari Kasus Penyalahgunaan Hosti di Maumere
Oleh Frans Anggal
Uskup Maumere Mgr Gerulfus Kherubim Pareira SVD menyatakan memaafkan dua lelaki non-Katolik yang ikut menerima hosti pada misa di Gereja Katedral Maumere, Senin 14 Februari 2011. Umat yang tersulut kemarahan pun bisa menahan diri. Demi kemananan selanjutnya, proses hukum bagi pelaku penyalahgunaan hosti ini ditangani Polda NTT di Kupang (Flores Pos Rabu 16 Februari 2011).
Kalau boleh memuji, yang lebih pantas dipuji bukan ukskup, tapi umat. Sebagai orang terpilih oleh berbagai keutamaan yang dimilikinya, uskup selalu punya hati yang rela mengampuni. Berimankan Tuhan maha-pengampun, ia tidak menyimpan dendam. Dia pembawa damai. Dan damai hanya bisa tercipta oleh kerelaan mengampuni.
Umat? Mereka bukan uskup. Tidak semua mereka memiliki keutamaan yang sama. Dalam konteks peristiwa di Maaumere, mereka adalah audiens dan partisipan perayaan misa. Dalam terminologi psikologi massa, mereka bisa disebut ‘kerumunan’ (crowd). Mereka rentan menjadi ‘kerumunan yang beraksi’ (acting crowd) atau ‘kerumunan yang melakukan kerusuhan’ (rioting crowd).
Penyalahgunaan hosti itu melukai perasaan religius mereka. Ini sudah cukup sebagai pemicu amuk. Jika terjadi, sangat bisa dimengerti, meski tidak bisa dibenarkan. Yang mengagumkan kita, pemicu dan peluang itu ada, tapi umat bisa mengendalikan diri. Luar biasa.
Kasus ini terjadi dalam suasana psikologis umat kristiani yang tersakiti peristiwa Temanggung, Jawa Tengah. Selasa 8 Februari 2011. Tiga gereja dibakar massa yang tidak puas dengan tuntutan 5 tahun penjara untuk seorang terdakwa kasus penistaan agama. Penyalahgunaan hosti itu penistaan agama juga, bukan? Kalau umat mau balas dendam, bisa saja. Tapi, tidak. Mereka bisa kendalikan diri. Luar biasa.
Kita bangga. Orang di Flores bisa seperti ini. Bisa mengendalikan diri. Dan ini bukan yang pertama kali. Apa yang sesungguhnya ada di balik fenomena yang patut diacungi jempol ini?
Flores pulau Katolik. Namun bebas dari fundamentalisme menebar hegemoni moral mayoritas. Orang di Flores tahu dengan baik dan membedakan dengan baik pula mana urusan agama dan mana urusan negara. Karena itu, di pulau ini tidak lahir ormas vigilante yang seenak perut melakukan kekerasan atas nama menegakkan moralitas agama mayoritas.
Di pulau ini, tidak tak muncul cerita seperti dibeberkan filosof Rocky Gerung pada pengantar Pidato Kebudayaan 2010: “Memelihara Republik, Mengaktifkan Akal Sehat”. Ia membuka pidatonya dengan pelukisan ‘mengerikan’…. “Ada konvoi pemuda beringas berkeliling kota menebar moral….. Ada fatwa penyair tua sepanjang hari membenci tubuh….”
Yang begitu-begitu tak ada di Flores. Dalam hal satu ini, Flores memberikan teladan ber-Indonesia secara sejati. Sepertinya warga pulau ini sadar, kesepakatan rasional pertama kita dalam menyelenggarakan kehidupan sosial adalah mulai dengan menerima kemajemukan. Fakta kemajemukan inilah yang melahirkan Sumpah Pemuda, Pancasila, dan UUD 1945.
Sepertinya warga pulau ini sadar, perbedaan harus terus diingatkan, karena itulah satu-satunya alasan perlunya persatuan. Semua upaya menghilangkan perbedaan, dengan alasan apa pun, salah secara logis dan berbahaya secara sosiologis. Perbedaan adalah alasan fundamental ke-Indonesia-an kita. Persatuan adalah bahasa untuk saling mengerti perbedaan itu. Dan… itu ada di Flores!
“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Februari 2011
1 komentar:
berarti gereja sebagai penyebar damai sudah berhasil menunjukan kegunaan dan pengaruhnya terhadap kehidupan bermasyarakat.
semoga warga gereja terus menyulutkan semangat damai dari gereja... toh yesus sendiri biarkan dirinya di pukul hanya untuk memuaskan mereka2 yang senang main bunuh2an bagai binatang (bahkan lebih keji dari binatang, karena binatang hanya membunuh untuk makan, sedangkan manusia membunuh karena benci)
Thanks anda juga telah menyebarkan dan manabu gendang perdamaian dengan menebarkan tulisan anda ini....GBU
....lanjut
Posting Komentar