20 Maret 2009

“Bahasa yang Lain”

Oleh Frans Anggal

Calon gubernur NTT Gaspar Ehok dalam kampanye dialogis di Ende mengatakan, banyak persoalan di NTT yang disembunyikan, sehingga NTT yang muncul ke permukaan bukanlah NTT senyatanya. Tentang kenyataan yang sebenarnya, para pemimpin suka berbicara dengan bahasa yang lain. Kenapa gunakan bahasa yang lain? Ada kecenderungan kuat untuk coba menghindar dari tanggung jawab yang diberikan, kata Ehok.

Menarik, dalam kampanye kali ini, bahasa ikut dipersoalkan. “Bahasa yang lain” yang dimaksudkan Ehok adalah bahasa yang tidak mengungkapkan kenyataan sesungguhnya. Dengan bahasa, orang bisa mengungkapkan sesuatu. Dengan bahasa pula, orang bisa menyembunyikan sesuatu. Dalam praktik kekuasaan, bahasa sering digunakan justru untuk tujuan yang kedua. Bahasa seperti inilah yang dimaksudkan Ehok ketika menyatakan bahwa banyak persoalan di NTT yang disembunyikan. Kenyataan itu disembunyikan, bahkan dikuburkan, atau sekurang-kurangnya dikaburkan, justru dengan menggunakan bahasa.

Tidak perlu menderetkan ratusan contoh konkret untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini. Ketika ‘rawan pangan’ melanda masyarakat, para pejabat kita mengatakan masyarakat tidak rawan pangan, tapi ‘rawan daya beli’. Ketika harga ‘dinaikkan’, para pejabat mengatakan harga ‘disesuaikan’. Ketika karena kelaparan rakyat terpaksa makan ‘ubi hutan’, para pejabat mengatakan ubi hutan itu ‘pangan alternatif’ warisan nenek moyang.

Dalam bahasa, dikenal istilah eufemisme. Penghalusan bahasa. Tujuannya demi kesantunan. Membuang hajat dihaluskan dengan ‘ke belakang’. Kentut dihaluskan dengan ‘buang angin’. Hal seperti ini sudah lazim dalam pergaulan, bahkan menjadi keharusan demi kesantunan. Persoalannya menjadi lain ketika eufemisme digunakan tidak lagi demi kesantunan, tapi demi susuatu yang justru melanggar etika. Yaitu ketika eufemisme dipakai untuk mengaburkan atau menguburkan sesuatu yang seharusnya ditelanjangi. Di sini, eufemisme menjadi sama dengan penipuan atau manipulasi.

Para pejabat kita sangat pandai menggunakan eufemisme ketika kenyataan buruk yang menjadi tanggung jawabnya dipersoalan publik melalui media massa. Ketika eufemisme yang digunakannya tidak lagi mempan meyakinkan publik maka media massa yang mengangkat kenyataan empirik itu dipersalahkan. Media dicap membesar-besarkan fakta. Media di Indonesia sudah terbiasa dengan reaksi naif seperti ini. Buruk muka, cermin dibelah. Buruk berita, media dicerca.

Di hadapan kebiasaan buruk seperti ini, pernyataan Ehok sangat tepat. “Bahasa yang lain” atau bahasa yang menyembunyikan kenyataan itu lahir dari sikap ingin menghindar dari tanggung jawab.

"Bentara" FLORES POS, Senin 2 Juni 2008

Tidak ada komentar: