20 Maret 2009

Yang Bersih yang Bisa

Oleh Frans Anggal

“Hanya orang yang bersih yang berani mengatakan bisa memberantas korupsi.” Begitu kata calon gubernur NTT Ibrahim Agustinus Medah pada kampanye terbuka di Ende. “Kalau orang berteriak berantas korupsi, tanya kepada dia sudah bersih atau belum. Sudah diperiksa atau belum.”

Pemberantasan korupsi memang sangat penting diwacanakan oleh siapa pun yang ingin memimpin NTT. Provinsi ini menduduki peringkat atas nasional dalam dua hal: kemiskinan dan korupsi. Sedemikan suburnya korupsi di NTT sampai memunculkan kesan, korupsi telah menjadi gaya hidup baru kalangan pejabat. Data semakin menguatkan kesan itu.

Menurut temuan BPKP Perwakilan NTT, selama 2003-2007 terdapat 1.967 kasus dugaan korupsi dengan indikasi kerugian negara Rp50 miliar lebih. Kasus-kasus itu tersebar pada level provinsi, kabupaten, dan kota. Yang sudah ditindaklanjuti 1.080 kasus dengan nilai kerugian negara Rp32 miliar lebih. Sisanya 887 kasus senilai Rp17 miliar. Dari yang belum ditindaklanjuti itu, kasus terbanyak dengan indikasi kerugian negara terbesar justru berada di tingkat provinsi.

‘Sudah ditindaklanjuti’ bukan berarti sudah ada yang masuk penjara. Yang jadi tersangka, ada. Tapi tak sampai berstatus terpidana. Ujung-ujung proses hukum adalah penghentian penyidikan oleh polisi atau jaksa. Selalu dengan alasan tidak cukup bukti. Kalaupun sampai di pengadilan, hasil akhirnya mudah ditebak: putus bebas. Kesimpulannya, di NTT banyak korupsi, tapi tak ada koruptor.

Kalau korupsinya tanpa koruptor, lalu siapa yang nyolong uang negara? Sarah Lery Mboeik dari PIAR NTT memberi jawaban nakal: yang nyolong itu tuyul. Lery benar. Tuyul tidak bisa ditangkap, tidak bisa disidangan, tidak bisa divonis, dan tidak bisa dipenjarakan. Lagipula, kita belum memiliki UU yang bisa memproses hukum tuyul. Juga tak ada penjara untuk tuyul. UU kita hanya mengenai manusia. Belum ada yang mengatur perikehidupan roh halus.

Jawaban nakal Lery Mboeik tentu tidak dimaksudkan untuk memutuskan asa. Lery justru hendak menantang aparat penegak hukum. Juga, tentu, menantang siapa pun yang akan memimpin NTT, entah Frans Lebu Raya, Gaspar Parang Ehok, atau Ibrahim Agustinus Medah.

Dalam memberantas korupsi, gubernur bisa dan seharusnya memainkan peran. Yaitu peran koordinasi, tanpa mencampuri wewenang yudikatif. Namun peran itu hanya efektif kalau gubernur tidak ikut jadi tuyul atau mantan tuyul, tidak bersekongkol dengan tuyul, dan tidak suka memelihara tuyul. Benar kata Medah, hanya orang yang bersih yang bisa dan berani. Tapi, siapa? Anda tahu jawabannya.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 3 Juni 2008

Tidak ada komentar: