20 Maret 2009

“Membangun dari Dosa”?

Oleh Frans Anggal

Banyak harapan yang diembankan masyarakat Sikka atas pundak bupati terlantik Sosimus Mitang dan wabup Damianus Wera. Antara lain diungkapkan Petrus Salestinus, putra Sikka yang dikenal sebagai pengacara di Jakarta. Sosi-Dami (Soda) diharapkan melanjutkan gaya kepemimpinan dua mantan bupati Sikka, Laurens Say dan Daniel Woda Palle, yang suka berkunjung ke desa-desa, duduk dan bermusyawarah dengan masyarakat, bahkan tidur bersama masyarakat di kampung-kampung. “Ini sejalan dengan moto yang mereka (Soda) emban yakni ‘membangun dari desa’.”

“Membangun dari desa” mengandung anggapan, desa itu penting. Ini sangat tepat. Sebab, secara historis, desa merupakan embrio bagi terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat, dan hukumnya sendiri yang mengakar kuat, serta relatif mandiri dari campur tangan entitas kekuasaan dari luar. Desa juga telah lama eksis sebagai kesatuan masyarakat hukum atau “self governing community” yang memiliki sistem pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam.

Sayangnya, desa yang kuat dan mandiri seperti ini kemudian melemah oleh campur tangan negara yang berlebihan. Desa akhirnya kehilangan keleluasaan (discretionary), kekebalan (immunity), dan kemampuan (capacity) dalam mengambil keputusan dan menggunakan kewenangan untuk mengelola sumber daya lokal. Padahal ketiga hal tersebutlah yang membuat desa kuat dan mandiri.

Contoh nyata dapat dilihat dari proses perencanaan pembangunan. Prosesnya memang terkesan demokratis. Semuanya mulai dari desa dengan murenbangdes untuk selanjutnya ke musrenbangcam dan musrenbangkab. Namun, yang terjadi dalam musrenbangdes adalah manipulasi partisipasi masyarakat. Programnya berasal dari instansi tingkat kabupaten, sedangkan musrenbangdes hanya jadi tukang stempel dan kesempatan sosialisasi program. Masyarakat desa dipaksa dan secara terpaksa mengikuti keinginan instansi.

Demokrasinya demokrasi prosedural semata. Padahal, yang dibutuhkan adalah demokrasi substansial. Artinya, masyarakat desa harus memiliki ruang seluas-luasnya untuk terlibat penuh dalam merencanakan, memutuskan, dan mengontrol kebijakan-kebijakan politik serta ekonomi yang menyangkut hajat hidupnya.

Pertanyaan kita, “membangun dari desa” model apa yang digagas Soda? Kalau “dari desa” itu sekadar bermakna prosedural sebagaimana terjadi dalam musrenbangdes yang lucu itu maka Soda tak bakal membawa perubahan apa-apa. Kita berharap, “dari desa” benar-benar bermakna substansial. Tanpa itu, “membangun dari desa” hanya akan mengulang pola lama, “membangun dari dosa”.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 4 Juni 2008

Tidak ada komentar: