18 Maret 2009

BLT Pelipur Lara

Oleh Frans Anggal

Harga premium atau bensin menggila. Di Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka, Rp12.000 per liter. Naik tiga kali lipat. BBM mulai langka meski rencana kenaikan resmi harga baru akan diberlakukan 1 Juni. Pada beberapa SPBU, antrean semakin panjang. Rencana kenaikan harga BBM sudah menimbulkan kepanikan di masyarakat (panic buying).

Kejadian seperti ini selalu berulang setiap kali harga BBM hendak dinaikkan. Meski kuotanya ditingkatkan 5 persen jelang kenaikan harga, pasokan selalu terasa kurang karena dua hal. Pertama, tingginya permintaan konsumen selagi harga belum naik. Ada yang membeli banyak untuk pemakaian sendiri. Tapi tidak sedikit yang sengaja menimbun untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang menguntungkan.

Kedua, kelangkaan juga terjadi karena lonjakan permintaan yang begitu tinggi tidak diikuti dengan tambahan stok dan armada pengangkutan. Pertamina sendiri hanya boleh berpegang pada batasan kuota 35.7 juta kiloliter. Ia tidak punya kewenangan melapaui angka itu. Kewenangan menaikkan kuota berada di tangan pemerintah dan DPR. Di sini terlihat kurangnya antisipasi para pengambil keputusan.

Langkah konkret mengantisipasi pembelian BBM di atas kebutuhan normal perlu segera dilakukan. Misalnya, melarang SPBU menjual BB dengan jeriken, kecuali untuk usaha kecil yang mendapat izin instansi terkait. Larangan ini mesti diikuti pengawasan yang ketat.

Dari pengalaman sebelumnya, panic buying bersifat sementara. Biasanya, kalau harga BBM sudah ditetapkan oleh pemerintah, konsumsi dengan sendirinya akan menurun. Tapi bukan berarti persoalannya beres. Harga barang dan jasa yang sudah duluan melonjak sebelum kenaikan harga BBM akan naik lagi berlipat-lipat. Kenaikan harga BBM sungguh merupakan proses pemiskinan. Kompensasi berupa BLT tidak bisa mencegahnya. Logika BLT itu sendiri sangat menyesatkan.

Kata pemerintah, kaum yang paling miskin tidak terkena dampak kenaikan harga BBM karena teratasi dengan BLT. Pemerintah lupa, kaum yang tadinya belum termasuk miskin sehingga tidak menerima BLT, pada akhirnya ikut turun strata menjadi miskin karena harga semua barang meningkat dan pendapatan mereka jalan di tempat. Data menunjukkan hal ini. Setelah kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka kemiskinan justru meningkat dari 31,1 juta jiwa (2005) menjadi 39,3 juta jiwa (2006). Demikian pula inflasi naik tajam 17, 75% (2006). Penganggur bertambah dari 9,9% (2004) menjadi 10,3% (2005) dan 10,4% (2006).

Sudah terbukti, sudah teruji, kenaikan BBM selalu tidak pro orang miskin. BLT pun sekadar pelipur lara. Quo vadis SBY-JK?

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 24 Mei 2008

Tidak ada komentar: