18 Maret 2009

Jual Rakyat, Cari Makan

Oleh Frans Anggal

DPRD Lembata melakukan pertemuan dengan pihak PT Merukh Enterprise di Denpasar. Para wakil rakyat ini berada di sana untuk kegiatan bimtek dan pemeriksaan kesehatan. Sambil menyelam minum air. Merukh mereka undang, bahas tambang emas Lembata. Sebagian anggota kaget karena pertemuan ini tidak diagendakan sebelumnya. Ini ulahnya pimpinan dewan. Di depan Merukh, pimpinan dewan katakan rakyat Lembata sedang menunggu kehadiran Merukh. Situasi sangat kondusif. Semua pemilik ulayat sudah serahkan tanahnya. Seusai pertemuan, bagi kado. Setiap anggota dapat Rp2 juta. Untuk pimpinan biasanya lebih besar.

Sepak terjang DPRD Lembata ini mengundang kecaman masyarakat. Pernyataan pimpinan dewan bertentangan dengan kondisi riil. Masyarakat Lembata umumnya dan Kedang serta Leragere khususnya justru tegas menolak tambang. Mereka resah. DPRD Lembata pun dicap mencari makan dengan menjual rakyat.

Sepak terjang DPRD Lembata merupakan contoh tepat tentang demokrasi di negeri ini yang menyimpang semakin jauh dari cita-citanya, yakni kedaulatan rakyat. Dalam rencana tambang emas Lembata, rakyat sebagai pemegang kedaulatan dipinggirkan. Dalam pengambilan kebijakan, masyarakat adat yang tanah ulayatnya diencanakan jadi lokasi tambang tidak dilibatkan dan tidak didengar. Mereka malah dibohongi dengan informasi menyesatkan. Mereka diintimidasi dan diadu domba agar mudah dikuasai dan menyerah pasrah pada keinginan penguasa dan pengusaha. Syukur, hingga saat ini suara penolakan masyarakat atas rencana tambang masih bulat dan tetap kuat.

Ada beberapa faktor yang menguatkan posisi mereka. Pertama, munculnya kesadaran masyarakat akan bahaya tambang emas berkat sosialisasi. Kedua, adanya organ gerakan yaitu JPIC OFM Indonesia dan JPIC SVD Ende yang bergiat melahirkan kesadaran masyarakat. Ketiga, adanya dukungan media massa terutama dalam memperkuat pencitraan sekaligus pengungkapan informasi akurat tentang nasib masyarakat. Keempat, adanya pengembangan jaringan, termasuk jaringan antar-kelompok etnis dan agama.

Di hadapan kekuatan masyarakat seperti ini, pemerintah dan DPRD Lembata tetap berjuang dengan caranya sendiri. Secara formal, cara yang mereka tempuh terkesan demokratis, namun secara substansial semakin jauh dari cita-cita demokrasi itu sendiri yaitu kedaulatan rakyat. Tentang cara seperti ini, pengamat politik Olle Torquist berkata, jikalau demokrasi itu hanya bersifat formal dalam arti tidak diiringi partisipasi yang sungguh-sungguh dari rakyat maka hasil yang mungkin terlihat adalah ‘demokrasi para bandit’. Para bandit suka menjarah di mana banyak uang. Demi keuntungannya sendiri, mereka bahkan rela menjual rakyat. Jual rakyat untuk cari makan.

"Bentara" FLORES POS, Senin 26 Mei 2008

Tidak ada komentar: