18 Maret 2009

Untuk Kita Renungkan

Oleh Frans Anggal

Seorang pelaku pencemaran hosti di Ende babak belur dihajar massa. Kasus ini terjadi pada misa hari Minggu 26 Mei 2008 di Gereja Paroki Mautapaga. Dalam kalender liturgi Katolik, hari Minggu itu dikhususkan untuk menghormati Tubuh dan Darah Kristus. Menurut iman Katolik, hosti dan anggur yang sudah dikonsekrir oleh imam berubah menjadi tubuh dan darah Kristus sendiri. Yang boleh menerimanya hanyalah orang Katolik yang sudah pantas dan sudah mempersiapkan diri.

Perbuatan pelaku pencemaran jelas menyakitkan hati umat Katolik. Apalagi bila terjadi berulang kali. Ini juga yang dikatakan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota ketika menenangkan massa yang sudah ‘terlanjur’ bertindak anarkis. Uskup memahami perasaan umatnya, namun tidak membenarkan tindakan mereka. Kekerasan bukanlah jalan kristiani. Kekerasan itu jutru melawan ajaran iman yang sangat menghormati kehidupan. Yang berhak atas mati hidupnya manusia hanyalah Tuhan. Berkat imbauan uskup, massa akhirnya tenang dan bubar.

Apa pun alasan dan tujuannya, tindak kekerasan tidak dapat dibenarkan. Karena agama dan demi agama sekalipun, kekerasan harus ditolak. Agama yang benar mencintai kehidupan dan selalu menyemaikan budaya kehidupan dalam diri penganutnya. Kekerasan justru menghancurkan upaya itu. Kekerasan menyuburkan dan melanggengkan budaya kematian.

Dalam kenyataan, meski ajaran agama menolaknya, tindak kekerasan tetap saja dilakukan para penganut. Ini sebuah ironi, seperti ucapan Sudhamoy. “Ironisnya, semua agama menunjuk pada satu tujuan: perdamaian. Tetapi, atas nama agama pula telah terjadi begitu banyak kerusuhan. Sedemikian banyak darah dan orang menderita. Benar-benar sebuah kemalangan bahwa di ujung abad kedua puluh, kita masih harus menyaksikan kekejian seperti ini. Semua atas nama agama. Mengibarkan bendera agama selalu merupakan cara yang paling mudah untuk menghancurkan roh kemanusiaan." Sudhamoy adalah tokoh dalam novel Lajja karya Taslima Nasrim yang berkisah tentang 13 hari kehidupan keluarga Hindu yang diteror dan dicekam ketakutan oleh kaum fundamentalis di Banglades yang ingin membalas pembakaran Masjid Babri di Ayodhya, India, oleh fundamentalis Hindu.

Banyak faktor yang melahirkan kekerasan terkait agama. Faktor itu berupa keruwetan dunia eksternal (sosial, ekonomi, politik) yang mengubah manusia dalam melihat objek kekerasan, sedemikian rupa sehingga objek kekerasan direndahkan dari manusia menjadi bukan-manusia. Kekerasan lalu dianggap sebagai tindakan suci.

Sudah separah itukah keberagamaan kita? Untuk kita renungkan.

"Bentara" FLORES POS, Senin 26 Mei 2008

Tidak ada komentar: