18 Maret 2009

Contohi Dinas P dan K Ende

Oleh Frans Anggal

Ada hal ‘kecil’ tapi penting dari ujian akhir sekolah (UAS) SD di Kabupaten Ende. Seorang murid yang hamil akibat kebuasan ayah angkatnya tetap menjadi peserta. Ketika kasusnya terungkap---kini diproses hukum---Dinas P dan K berbeda sikap dengan sekolah.

Sekolah ingin tetap mempertahankan anak ini dan membiayainya hingga tamat. Ia masih bisa ikut UAS, dengan perkiraan partus pada Agustus. Sedangkan dinas ingin menegakkan aturan. “Dari sisi aturan, kita tidak bisa tawar-menawar meski ada niat baik dari sekolah. Dengan kondisi seperti itu, jelas anak tersebut tidak bisa mengikuti UAS,” kata Kadis Agustinus Amby.

Bahwa kemudian Dinas P dan K berubah sikap sehingga membolehkan anak ini mengikuti UAS, ini sesuatu yang patut dipuji. Korban dalam kasus ini adalah anak di bawah umur (di bawah 18 tahun). Anak di bawah umur harus dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual. Anak seperti ini harus ditolong, bukannya dihukum. Mengizinkannya tetap mengikuti UAS, selain merupakan pengakuan atas hak anak dalam pendidikan, juga sebentuk pertolongan meringankan beban batinnya di tengah trauma psikologis, stigma sosial, dan penolakan.

Benarkah aturan yang dirujuk Kadis Agustinus Amby itu ada dan masih berlaku, entahlah. Kalaupun ada dan masih berlaku, langkah Kadis Amby ‘melanggar’ aturan itu patut didukung. Lebih baik ‘melanggar’ aturan ketimbang melanggar hak anak.

Mengizinkan anak itu tetap ikut UAS merupakan model yang tepat dalam memahami dan menerapkan aturan. Langkah seperti ini hanya bisa lahir dari komitmen meletakkan kedaulatan hidup di atas kedaulatan ajaran, atau konkretnya dalam kasus ini: meletakkan hak anak didik di atas kewibawaan aturan pendidikan.

Kebijakan ala Dinas P dan K Ende ini seyogianya menjadi contoh pula bagi semua sekolah. Khususnya bagi sekolah yang menegakkan aturan dengan mengabaikan hak-hak anak, yang menerapkan disiplin sampai melakukan kekerasan terhadap anak.

Alasan melakukan kekerasan agar anak menjadi disiplin tidak bisa dibenarkan. Ini paradigma salah kaprah. Sebab, tidak ada kaitan antara disiplin dan kekerasan. Sekolah memang harus menerapkan disiplin bagi guru dan murid, tapi disiplin tidak identik dengan kekerasan. Sekolah justru harus menjadi lembaga yang memutuskan mata rantai kekerasan. Yang menanam rotan pasti menuai rotan.

Kunci menerapkan disiplin adalah komunikasi. Komunikasi verbal, misalnya berupa nasihat yang bisa diterima anak dengan senang hati. Komunikasi non-verbal, misalnya dengan keteladanan guru. Tidak dengan cara menyakiti. Apa pun alasannya, hak anak mesti dihargai dan ditempatkan di atas kewibawaan aturan sekolah.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 15 Mei 2008

Tidak ada komentar: