18 Maret 2009

Mulai dari KPUD Sendiri

Oleh Frans Anggal

Meski didemo pendukung paket yang tidak lolos verifikasi, KPUD NTT tetap dengan keputusannya melanjutkan proses pemilihan gubernur (pilgub). Penetapan paket calon sudah final, terdiri dari tiga paket: FREN (Frans Lebu Raya - Esthon L Foenay), GAUL (Gaspar Parang Ehok - Julius Bobo), dan TULUS (Ibrahim Agustinus Medah – Paulus Moa). Demikian pula, penarikan nomor urut sudah dilakukan. Singkat kata, anjing menggongong, kafilah berlalu.

Sikap dan keputusan ini didukung Pemprov NTT. Tujuannya agar kerja KPUD tetap berjalan dengan baik, sehingga pencoblosan tetap sesuai dengan jadwal, 2 Juni 2008.

Kemelut pilgub NTT memperpanjang daftar kasus pilkada di Indonesia, di dalamnya KPUD menjadi pihak yang bertanggung jawab. Kasus-kasus ini semakin menguatkan bukti bahwa biang kerok utama masalah pilkada bukanlah masyarakat pemilih. Kekhawatiran bahwa selama pemilu terjadi gejolak masyarakat tidak terbukti. Justru KPU(D) selaku penyelenggara yang bikin masalah.

KPU(D) adalah satu dari sejumlah komisi negara—antara lain Komnas HAM, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial, Komisi Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)—yang anggotanya diseleksi dengan melibatkan penilaian publik. Berbagai komisi negara ini merupakan lembaga ekstra-struktural yang diharapkan dapat menegakkan kebenaran dan kebersihan. Karena itu, anggotanya diseleksi secara transparan dengan harapan agar yang terpilih adalah yang berintegritas tinggi.

Apa yang terjadi? Korupsi di KPU pusat pada Pemilu 2004 lalu menghancurkan harapan bahwa komisi negara itu bisa tegak gagah perkasa sebagai lembaga yang memang “extra ordinary” karena anggotanya kaum intelektual yang kuat menghadapi godaan korupsi. Yang hancur adalah kepercayaan publik. Hancur, karena dalam perkara elementer pun, intelektual itu tidak lulus. Mereka menerima honor di luar gaji dari Biro Keuangan tanpa peduli asal uang itu.

Masyarakat bisa berkomentar, kalau KPU di pusat saja sudah begitu, bagaimana jadinya KPUD di daerah. Komentar yang bernada praduga negatif ini semakin mengesankan ketika banyak KPUD, termasuk di NTT, mengecewakan masyarakat. Dari kasus pilkada di Kabupaten Sikka hingga pilkada tingkat provinsi (pilgub) saat ini, KPUD terkesan kurang siap. Kurang profesional dalam memahami dan menerapkan aturan, terutama ketika terjadi masalah. Atau barangkali tahu aturan, tapi sengaja memelintirnya karena anggota KPUD sudah tidak independen. Kesan seperti ini sulit sulit ditepis.

Kini KPU(D) mencanangkan “pemilu berkulaitas”. Mulainya harus dari diri KPU(D) sendiri selaku penyelenggara. Bagaimana bisa berkualitas pemilunya kalau KPU(D)-nya ternyata tidak profesional, tidak bersih, dan tidak independen.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 16 Mei 2008

Tidak ada komentar: