12 Maret 2009

Flotim Bisa Mulai

Oleh Frans Anggal

Seribu hektare lebih tanaman pangan di Kabupaten Flores Timur terserang hama. Serangan menimpa tanaman padi, jagung, kacang tanah, dan sayuran pada hampir seluruh kecamatan. Sebanyak 4 ribu lebih kepala keluarga menderita kerugian. Besar kemungkinan para petani akan mengalami gagal panen.

Betapa ketahanan pangan kita sangat rapuh. UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan, ketahanan pangan adalah tersedianya pangan yang cukup, bermutu, beragam, bergizi, dan terjangkau daya beli masyarakat. Bagaimana mungkin pangan tersedia dalam jumlah yang cukup, bermutu, beragam, dan bergizi kalau panen gagal? Bagaimana mungkin pula masyarakat memiliki daya beli kalau panen yang mereka andalkan untuk mendapatkan duit merosot karena terserang hama?

Hama menyerang, panen gagal, rawan pangan mengintip, masyarakat menderita kurang gizi, gizi buruk, busung lapar, hingga penyakit dan kematian. Rentetan itu selalu berulang meski kita sudah memiliki UU pangan. UU pangan tidak dengan sendirinya mengatasi masalah. Tanpa penerapan yang tepat, UU pangan sebagus apa pun tidak akan mampu mengurangi petani miskin yang kelaparan.

Menurut laporan Bank Dunia 2006 (jadi, 10 tahun setelah pemberlakukan UU Pangan), jumlah warga miskin hampir 109 juta, dengan pendapatan di bawah 2 dolar AS per hari. Sekitar 70 persen dari jumlah itu adalah petani di pedesaan.

Yang sering dilupakan adalah kenyataan bahwa bagi 70 persen petani Indonesia di pedesaan itu, kebutuhan pangannya berbasis sumber daya lokal. Kearifan lokal ini berperan sebagai mitigasi kerawanan pangan (food insecurity). Sayangnya, kearifan lokal sering dilupakan. Pemerintah melalui programnya secara tidak langsung menggiring pola konsumsi penduduk berbasis beras (nasi). Muncul persepsi bias bahwa pangan identik dengan beras saja karena dianggap makanan pokok. Belum makan nasi dianggap sama dengan belum makan.

Padahal, oleh kerapnya bencana dan serangan hama seperti yang terjadi di Flotim, produksi beras tidak bisa diandalkan untuk menyangga ketahanan pangan. Pemerintah perlu memetakan kembali potensi pangan non-beras yang berbasis sumber daya lokal guna mencapai diversifikasi konsumsi pangan pada setiap daerah.

Salah satu potensi makanan berbasis sumber daya lokal yang patut dikembangkan adalah ubi jalar. Selain sesuai dengan agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, ubi jalar berproduktivitas tinggi, empat bulan dapat menghasilkani lebih dari 30 ton per hektare. Karbohidrat, vitamin A, C, dan mineral yang dikandungnya pun membuat ubi ini cocok menggantikan beras. Flotim bisa mulai.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 28 Maret 2008

Tidak ada komentar: