Oleh Frans Anggal
Lima anggota DPRD Kabupaten Manggarai yang terlibat tindak pidana perjudian (main kartu) dijatuhi hukuman penjara. Putusan ini datang dari Mahkamah Agung (MA) setelah Kejaksaan Negeri Ruteng mengajukan kasasi. Sebelumnya, di tingkat Pengadilan Negeri (PN) Ruteng dan juga Pengadilan Tinggi (PT) Kupang, kelima anggota dewan ‘hanya’ diberi hukuman percobaan satu tahun, yang artinya sama dengan tidak masuk penjara. Kini para anggota dewan menempuh upaya hukum terakhir berupa peninjauan kembali (PK).
Sudah jelas, apa pun bentuknya perjudian merupakan penyakit sosial. Judi dilarang oleh agama. Hukum Indonesia juga tegas menyatakan judi sebagai tindak pidana. Namun, karena telanjur jadi bagian dari pranata sosial, judi sulit diberantas. Perjudian berlangsung sembunyi-sembunyi (ilegal) dan sering diselenggarakan atas sepengetahuan dan sepersetujuan pihak berwenang.
Sayang, nasib baik tidak sedang memihak lima anggota DPRD Manggarai. Saat sedang asyik judi kartu di rumah salah seorang anggota, mereka digerebek polisi. Aksi penangkapan ini menghebohkan. Namun ketika proses hukum mulai berjalan, kehebohan sesaat itu berganti dengan pesimisme. Mengapa?
Seperti biasanya, kalau berhadapan dengan orang besar, hukum mudah lunglai. Sebaliknya, di hadapan orang kecil, beringasnya minta ampun. Pelayanan pun lamban, ruwet, dan mahal. Lapor kehilang ayam, malah bisa kehilangan kambing.
Karena itulah, ketika PN Ruteng mengganjarkan hukuman ‘hanya’ satu tahun percobaan kepada kelima orang besar itu, masyarakat tidak terkejut. Bukankah biasanya hukuman bagi orang besar hanya sebatas itu? Betapa pun fakta hukum kuat, lengkap, dan meyakinkan, kasus bisa dihentikan di tengah jalan di tangan polisi atau jaksa, dengan senjata ampuhnya surat penghentian penyidikan. Kalaupun lolos juga ke meja hijau, hakim tinggal memberikan kado putus bebas atau seberat-seberatnya hukum percobaan.
Kali ini, yang biasa berlaku bagi orang besar tiba-tiba tidak berlaku bagi lima anggota DPRD Manggarai. Yang tadinya ringan di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi kini menjadi berat di tingkat mahkamah. Tamparan halus hukuman percobaan yang diterima di Ruteng dan Kupang kini menjadi tinju keras yang dilepaskan jauh-jauh dari Jakarta.
Masyarakat terkejut. Ternyata, hukum masih bisa tegak di hadapan orang besar. Meski, datangnya dari MA di Jakarta, bukan dari PN di Ruteng dan PT di Kupang. Habis terkejut, kini masyarakat mulai bertanya: kenapa putusannya bisa berubah dari hukuman percobaan menjadi hukuman penjara? Pasti ada hakim yang tidak becus. Siapa? Hakim di Ruteng dan di Kupang, ataukah yang di Jakarta?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 29 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar