12 Maret 2009

Hikmah Kasus Wae Nakeng

Oleh Frans Anggal

Seorang suami menggorok leher istrinya hingga tewas, kejadian di Wae Nakeng, Kabupaten Manggarai Barat. Sebelumnya, suami istri ini bertengkar dalam kamar. Lalu, suami keluar mencari parang. Parang tidak ditemukan, ia mengambil sabit. Istri lari menghindar. Suami mengejar dan mendapatkannya tidak jauh dari rumah. Ia langsung menggorok. Istri tewas di tempat. Pelaku sudah ditahan. Motif kejadian belum diketahui. Kata polisi, ada kaitannya dengan masalah rumah tangga.

Ini pembunuhan. Bukan sekadar ‘kekerasan’ dalam rumah tangga (KDRT). Namun, seperti lazim pada banyak kasus KDRT, pembunuhan akhirnya menjadi puncak kekerasan suami terhadap istri. Peristiwa ini menunjukkan KDRT membawa akibat fatal bagi perempuan. World Health Organization (WHO) dalam “world report” pertamanya mengenai kekerasan dan kesehatan tahun 2002 menemukan bahwa 40 hingga 70 persen perempuan meninggal karena pembunuhan, dan umumnya dilakukan oleh pasangannya atau mantan pasangannya sendiri.

Pembunan seperti ini bukan pembunuhan ‘biasa’. Kaitannya sangat erat dengan jender. Ini perlu kita gunakan sebagai dasar untuk memahami persoalan. Dengan demikian, kita tidak berhenti pada pertanyaan “kenapa laki-laki melakukan kekerasan atau membunuh”, tapi juga bertanya “kenapa perempuan berdiam diri”. Analisis jender mendorong kita untuk menanyakan juga kenapa kekerasan terhadap istri selalu terjadi dan seakan diterima begitu saja oleh masyarakat.

Jawabannya---dan ini merupakan akar masalahnya---adalah adanya kekuasaan hubungan di dalam masyarakat, yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan, yang didominasi oleh laki-laki. Di sini, kekerasan menjadi ‘tanda-perjuangan’ laki-laki untuk memelihara fantasi identitas dan kekuasaannya.

Dalam fantasi dan kekuasaan itu, laki-laki menginginkan perempuan hidup di bawah belas kasihnya. Hal ini membuat laki-laki, dengan harga diri yang rendah, menghancurkan perasaan perempuan dan martabatnya, karena mereka merasa tidak mampu mengatasi seorang perempuan yang dapat berpikir dan bertindak sebagai manusia yang bebas.

Jelas, KDRT berakar pada budaya. Oleh karenanya, “penghapusan kekerasan dalam rumah tangga” yang telah lama diundangkan merupakan proyek raksasa yang tidak mudah dilaksankan. Sebab, mencerabut sesuatu yang telah lama berakar dalam budaya tidaklah mudah. Tapi justru karena itulah perjuangan pengarus-utamaan jender tidak boleh dihentikan. Pengesahan UU KDRT pada 14 September 2004 bukanlah puncak perjuangan. Itu justru awal perjuangan sesungguhnya. Kasus Wae Nakeng memberikan hikmah: perjuangan harus semakin digelorakan.

"Bentara" FLORES POS, Senin 31 Maret 2008

Tidak ada komentar: