Oleh Frans Anggal
Di Ende, seorang siswi kelas 6 SD dihamili bapak angkatnya. Korban menjadi anak angkat sejak duduk di kelas 1 SD. Kasus ini baru diketahui sekolah ketika usia kehamilannya 6 bulan. Sekolah turun tangan, melapor ke polisi. Sekolah juga pertahankan anak ini dan membiayainya hingga tamat. Kini ia diinapkan di rumah wali kelas.
Kekerasan (seksual) terhadap anak masih saja terjadi meski sudah ada UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam UU ini, orangtua ditempatkan pada garda terdepan bagi upaya perlindungan anak. Oleh karena itu, sanksi pidana yang dijatuhkan akan ditambah sepertiga jika pelakunya orangtua sendiri.
Ironisnya, dalam kenyataan justru orangtua sendirilah yang umumnya menjadi pelaku. Kasus di Ende menjadi salah satu bukti dari banyak kasus serupa yang belum terungkap.
Menurut hasil riset, pelaku biasanya orang-orang dekat dan dipercaya anak. Data pasti sulit didapat, karena umumnya korban dan orangtua tidak melapor. Yang terjadi dalam kasus Ende, pihak sekolahlah yang berinisiatif mencari tahu setelah mengamati perubahan fisik pada diri anak.
Langkah yang diambil sekolah sangat tepat dan bijaksana. Sekolah melakukan apa yang terbaik bagi anak. Ironisnya lagi, justru hal seperti ini belum diatur dalam UU perlindungan anak. UU ini masih lemah dalam mekanisme penanganan kasus, tidak seperti di Malaysia, misalnya.
Di Malaysia, selain UU perlindungan anak dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, ada juga sistem deteksi dini, rujukan, dan penanganan terpadu untuk menanggapi masalah kekerasaan. Sejak awal 90-an Malaysia membentuk SCAN Team yang keberadaannya diakui seluruh jajaran pemerintahan sampai tingkat RT. Anggota tim terdiri dari relawan masyarakat dan pegawai kerajaan serta anggota kepolisian dan profesi kesehatan. Setiap kasus ditangani terpadu. Semua pemeriksaan, termasuk pemeriksaan kesehatan, dibiayai pemerintah federal. Dengan sistem seperti ini, masyarakat tahu apa yang harus mereka perbuat dan tidak ragu-ragu mengambil tindakan.
Di Indonesia, sistem seperti itu belum ada. Peran para pihak tidak diatur dalam sistem yang memungkinkan mereka bekerja sama. Juga tak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya bagi semua langkah yang diambil untuk meyelamatkan anak. Jangan heran kalau masyarakat tidak tahu apa yang harus diperbuat. Mereka juga takut atau ragu-ragu melapor dan mengambil tindakan. Apalagi kita belum punya UU perlindungan saksi. Orang takut jadi saksi. Takut digugat.
Karena itulah, dalam kasus di Ende, kita memuji langkah yang diambil pihak sekolah. Kita berharap langkah ini segera didukung oleh semua pihak, apa pun bentuknya.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 1 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar