17 Maret 2009

Keluarkan “Meto-Meto” Itu

Oleh Frans Anggal

Sebelas pemilik tanah bakal lokasi PLTU Ropa akhirnya menempuh jalur hukum. Melalui tim pengacara, mereka melaporkan tindakan penyerobotan yang dilakukan PLN dan Panitia Tim 9 yang dibentuk dengan SK bupati Ende. Turut dilaporkan, ancaman yang dilakukan Petrus Paso Pande terhadap Romo Domi Nong Pr dan Romo Dion Boleng Lewar Pr.

Proses hukum kasus Ropa merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya fasilitasi tidak membuahkan hasil. Empat kali DPRD menggelar dengar pendapat. Hasilnya kosong melompong. Pihak keluarga Alex Mari tidak hanya tidak menyerahkan uang yang merupakan hak 11 pemilik tanah, tapi juga tidak mengakui hak mereka. Malah, ke-11 orang itu diusir keluar dari lokasi dan dari persekutuan adat. Adegan ini terjadi di hadapan DPRD dalam dengar pendapat keempat atau terakhir, yang berakhir secara ‘dramatis’ pula. Keluarga Alex Mari meninggalkan ruang rapat alias walk out.

Gagal dengan dengar pendapat, DPRD tidak membentuk pansus, tapi bikin lagi Tim Khusus Diperluas yang beranggota 17 orang terdiri dari Tim 9 plus 8 anggota dewan. Belakangan, Wakil Ketua Tim 9 Hendrik Seni mengatakan pihaknya bukan anggota Tim Khusus Diperluas. Mana yang benar? Tim Khusus Diperluas pun menjadi semacam ‘Tim Khusus Dipersempit’, karena anggotanya cuma 8 anggota dewan. Hasil kerja tim yang mengedepankan pendekatan budaya ini belum kelihatan, muncullah kasus ancaman terhadap Romo Domi dan Romo Dion.

Ini preseden buruk. Kalau berlama-lama dengan peran fasilitasi Tim Khusus, kasus Ropa bisa meluas, menjauhi, mengaburkan, dan menguburkan persoalan pokok. Sehebat apa pun konsep penyelesaian, mutunya ditentukan oleh tingkat pencapaian. Dan pencapaian itu terbukti nol koma nol.

Karena itu, sangat tepat dan sudah saatnya kasus Ropa diproses secara hukum. Proses hukum bisa menjernihkan kasus, mendudukkan masalah pada tempatnya, membuktikan mana benar dan mana salah. Semuanya demi tegaknya keadilan. Hanya berlandaskan keadilan, damai sejati bisa tercipta.

Kini sorotan tertuju ke aparat penegak hukum. Melimpahkan kasus adalah juga melimpahkan kepercayaan. Polisi, jaksa, dan hakim diharapkan bekerja dengan tulus, bukan dengan fulus. Apalagi, yang digugat dalam kasus ini adalah BUMN (PLN) dan pemerintah (Tim 9). Keduanya punya uang dan kuasa. Dapatkah, seperti kata adagium klasik, “hukum harus tetap ditegakkan meski langit akan runtuh”?

Mengutip mosalaki Tibo Migo, pesan kita: “Ma’e jadi meto.” Jangan jadi ulat. Kasus Ropa telah jadi borok yang digerogoti banyak meto. Tugas aparat penegak hukum antara lain mengeluarkan meto-meto itu. Dan, hanya mungkin kalau tidak ikutan jadi meto, bukan?

"Bentara" FLORES POS, Senin 5 Mei 2008

Tidak ada komentar: