18 Maret 2009

“Kembali ke Laptop”

Oleh Frans Anggal

Di tengah arus deras demo mahasiwa menolak rencana kenaikan harga BBM, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar bikin pernyataan. Katanya, ada sejumlah mantan menteri dan pejabat yang menunggangi aksi mahasiswa. DPR berang, minta Siregar berikan bukti dan sebutkan nama. Siregar akan dipanggil DPR untuk dimintai klarifikasi.

Bisa jadi Siregar punya bukti. Bisa jadi ia akan sebutkan nama mantan menteri dan pejabat. Tapi, bukti seperti apa yang ia miliki? Sudahkah diuji kebenarannya? Atau cuma ‘om do’ (omong doang)?

‘Om do’ sering digunakan aparat kekuasaan untuk mengalihkan isu, membawa masyarakat semakin jauh dari masalah pokok. Terhadap cara seperti ini, masyarakat yang kritis seperti para mahasiswa tidak mudah terpengaruh. Apa pun isu tandingan yang dilontarkan penguasa, masyarakat kritis akan selalu “kembali ke laptop” (memijam ucapan pelawak Tukul dalam talk show Empat Mata). Selalu kembali ke inti persoalan, inti perjuangan. Apa yang menjadi inti persoalan dan perjuangan mahasiwa melawan keinginan pemerintah menaikkan harga BBM?

Demonstrasi beranjak dari prinsip sederhana. Pemerintah seharusnya tidak mengambil kebijakan hanya dengan pertimbangan fiskal, demi menyelamatkan APBN. Kebijakan semestinya didasarkan pertama-tama pada komitmen melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan rakyat. Ketika harga BBM dinaikkan, masyarakat langsung menjerit karena harga kebutuhan pokok dan biaya hidup ikut-ikutan naik. Mereka menjadi semakin miskin dan menderita. Kenaikan harga BBM selalu menjadi ‘kutukan’, belum terbukti menjadi ‘rahmat’ bagi masyarakat kecil.

Pemerintah memang memberikan kompensasi dana BBM bagi masyarakat miskin, mulai dari kesehatan hingga pendidikan. Namun

masyarakat tetap saja resah. Sebagian orang miskin tidak menikmati dana itu. Kesehatan dan pendidikan tetap saja mahal. Di negeri ini, “Orang Miskin Dilarang Sakit” seperti judul buku Eko Prasetyo, atau judul lainnya, “Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah”.

Sebenarnya, pemerintah bukan tidak punya uang untuk bisa mensubsidi BBM bagi masyarakat. Uang ada, banyak lagi, namun bocor ke mana-mana. Seandaianya tidak ada kebocoran, atau paling kurang 20% saja dari kebocoran itu dikembalikan ke kas negera, maka harga BBM tak perlu naik terus-menerus. Yang terjadi, pemerintah salah urus, lalu masyarakat menanggung akibatnya. Apa gunanya ada pemerintah? Inilah inti persoalan dan dasar mengapa mahasiswa berdemo menolak kenaikan harga BBM.

Melihat persoalan pokok seperti ini, pernyataan Kapala BIN Syamsir Siregar menjadi tidak penting. Anggap saja cuma ‘om do’. Karena itu, mari selalu kembali ke persoalan pokok. “Kembali ke laptop”!

"Bentara" FLORES POS, Senin 19 Mei 2008

Tidak ada komentar: