Oleh Frans Anggal
Langkah Bupati Lembata Andreas Duli Manuk mencabut rekomendasi izin sementara pengelolaan kawasan hutan lindung ditolak oleh masyarakat Leragere. Penolakan mereka ada dasarnya.
Tanah itu tanah suku. Pemerintah tak punya hak. Dulu, penetapannya menjadi kawasan hutan lindung dilakukan secara sepihak oleh pemerintah. Karena sepihak maka penetapannya tidak legal dan tidak legitim. Dengannya, suku tidak pernah kehilangan hak memiliki dan menguasai atas tanah itu. Tanah itu tetap tanah suku, dari dulu sampai sekarang.
Karena itu, langkah apa pun yang dilakukan pemerintah atas tanah itu tidak ada dasarnya, baik penetapannya menjadi kawasan hutan lindung maupun pemberian izin pengelolaan. Demikian pula dengan langkah Bupati Manuk. Ia tidak punya dasar dalam memberikan rekomendasi izin sementara pengelolaan, juga tentunya dalam mencabut kembali rekomendasi itu. Tanah suku, kok, repot-repot atur. Apa kepentingannya selaku pihak yang tidak berhak?
Jawabannya sudah diketahui masyarakat. Ini cara bupati memenangkan rencana tambang emas. Masyarakat tolak tambang dipengaruhi dengan berbagai cara. Cara yang persuasif sudah kandas, kini pakai yang represif. Cara-cara ini khas warisan Orde Baru ketika penguasa berselingkuh kepentingan dengan investor.
Orde Baru sendiri dikenal berwatak fasis-militeristik. Malapetaka dimulai ketika modal asing diperkenankan masuk dan merebut sumber ekonomi rakyat. Tentara selalu menjadi alat bagi kepentingan kekuasaan kapitalis internasional dan elite ekonomi lokal, selain mereka sendiri juga harus menjaga aset-aset ekonomi yang dikuasainya. Sementara masyarakat harus tercerabut dari sumber-sumber ekonomi yang dapat menghidupi mereka. Terjadi ketidakadilan dalam memiliki dan mengontrol sumber daya strategis. Ketidakdilan ini menjadi sumber utama konflik dan kekerasan, seperti yang terjadi tiga tahun di Kalimantan, Poso, dan Muluku.
Langkah Bupati Manuk bersama investor Merukh dalam memperjuangkan tambang emas akan menghasilkan kisah yang sama. Kisah ketidakadilan dan peminggiran masyarakat. Ini bom waktu. Kekuasaan Manuk akan berakhir, namun dampak yang ditinggalkannya luar biasa merusak. Seperti Rezim Orde Baru, kelihatan stabil, ternyata meninggalkan bom konflik komunal. Akarnya, ketidakadilan dalam memiliki dan mengontrol sumber daya strategis. Investor dan elite lokal berpesta keuntungan di atas penderitaan masyarakat yang telah dicabut dari sumber ekonomi yang dapat menghidupi mereka.
Dalam kasus tambang emas Lembata, sumber ekonomi masyarakat dalam dan seputar tambang adalah tanah ulayat. Tanah ini akan hilang, diganti tambang, diganti bom. Peletak bom tinggal menonton.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 21 Mei 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar