18 Maret 2009

Rutan Itu “Rumah”

Oleh Frans Anggal

Tiga tahanan di Rutan Bajawa dianiaya dua petugas. Sekujur tubuh mereka babak belur. Muka bengkak. Salah satu korban disetrum pakai listrik hingga tidak bisa berjalan. Kasus terungkap saat para penghuni rutan menceritakannya kepada pihak keluarga seusai misa hari Minggu di Rutan Bajawa. Kasusnya sudah dilaporkan ke polisi.

Kepala Rutan Bajawa Heru Sulistio membantah. Katanya, tidak ada penganiayaan. Para koran hanya ditempeleng karena bersikap tidak sopan terhadap petugas. “Apa yang dilakukan petugas itu dalam rangka pembinaan.”

Jawaban kepala rutan, “hanya ditempeleng” dan ”dalam rangka pembinaan”, menunjukkan betapa rumah tahanan (rutan) atau lembaga pemasyarakatan (lapas) masih berparadiga penjara. Rutan/lapas belum memperlakukan warga binaannya sebagai insan dan sumber daya manusia yang harus diperlakukan dengan baik, dengan manusiawi, dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Padahal amanat ini tegas dinyatakan dalam konsiderans Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

UU itu tidak mencantumkan tempeleng sebagai salah satu bentuk pembinaan. Apalagi, yang lebih daripada tempeleng, seperti yang dilaporkan tiga tahanan kepada kepolisian. Mereka dipukul dengan kayu. Dipukul di pelipis, geraham, pipi kiri, wajah, dada, dan pergelangan kaki. Para korban mengalami luka lecet.

UU Nomor 12 Tahun 1995 yang menjadi dasar pelaksanaan pembinaan di rutan atau lapas menyebutkan, sistem pemasyarakatan adalah rangkaian kegiatan penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga bisa diterima kembali masyarakat. Karena itu, UU ini menegaskan, sistem pembinaan dilaksanakan atas dasar pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Dengan asas ini maka menjadi warga rutan atau lapas tidak menurunkan derajat seorang manusia menjadi seekor binatang. Betapapun besar kesalahan yang telah dilakukan, warga binaan tetaplah seorang manusia, lengkap dengan hak-hak dasarnya yang tidak boleh dihilangkan kapan pun, di mana pun, oleh siapa pun, dan dengan alasan apa pun. Satu-satunya hak yang diambil daripadanya hanyalah hak atas kebebasan bergerak. Itu saja. Lainnya tidak.

Karena itu, kasus penganiayaan tiga tahanan Rutan Bajawa dan sikap kepala rutan yang membela anak buahnya tidak dapat dibenarkan. Kasus ini harus diproses tuntas dan adil. Rutan itu “rumah” bagi manusia, bukan “rimba raya” binatang buas.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 22 Mei 2008

Tidak ada komentar: