16 Maret 2009

“Ma’e Jadi Meto”

Oleh Frans Anggal

Mosalaki Tibo Migo menyatakan, persoalan kasus Ropa menjadi besar dan meluas karena banyak yang masuk ke dalamnya. Ibarat luka, kasus ini bisa menjadi borok karena digerogoti meto (ulat). “Ma’e jadi meto.” Jangan jadi ulat, pesannya untuk Tim 9, PLN, negosiator, dan Tim Khusus Diperluas.

Kalau luka kasus Ropa sudah menjadi borok karena digerogoti banyak ulat maka yang bisa menyebuhkannya hanya mosalaki. Tibo Migo memiliki wewenang dan kesanggupan menyembuhkan luka itu. Namun, sebagaimana dokter yang selalu memberikan persyaratan bagi penyembuhan, Tibo Migo menyodorkan tuntutan. Pertama, penuhi hak ganti rugi tanah bagi 11 orang. Kedua, jangan usir 11 orang itu keluar dari lokasi dan persekutuan adat. Ketiga, Alex Mari dan keluarga besarnya mengakui Tibo Migo sebagai mosalaki.

Tuntutan pertama jelas harus dipenuhi PLN dan Tim 9. Sedangkan tuntutan kedua dan ketiga lebih sebagai urusan internal persekutuan adat setempat. Yang menarik, pemenuhan ganti rugi ditempatkan sebagai tuntutan pertama. Ditilik dari urutan tuntutan dan penekanan ucapannya, tampaknya mosalaki Tibo Migo melihat pemenuhan hak ke-11 pemilik tanah merupakan prasyarat mutlak penyembuhan borok kasus Rapa. “Saya hanya tegaskan, ingat dan selesaikan hak 11 pemilik tanah, dan harus bayar.”

Penegasan ini meneguhkan tilikan akal sehat masyarakat umum. Bahwa, masalah pokok kasus Ropa adalah uang. Uang tidak diberikan kepada yang berhak. Yang bersalah, jelas, yang memberikan uang: PLN bersama Tim 9. Kalau begitu, tarik lagi toh? Tarik seluruhnya dan seutuhnya agar ditransaksikan secara benar kepada yang berhak. Ternyata sulit. Empat kali pertemuan yang difasilitasi DPRD Ende tak membuahkan hasil. Keluarga penerima uang bukan hanya tidak menyerahkan kembali uang-uang itu, tapi juga menyatakan 11 orang tadi tidak berhak dan lalu mengusir mereka keluar dari lokasi dan persekutuan adat.

Kasus pokok digiring masuk wilayah adat. Lalu lahirlah Tim Khusus Diperluas. Tim ini mengandalkan pendekatan budaya dengan meminta fasilitasi mosalaki. Tapi, lihatlah, kecerdasan seorang mosalaki Tibo Migo. Ketika didekati Tim Khusus Diperluas, ia mendudukkan kembali soal secara tepat: bayar hak 11 pemilik tanah.

Tibo Migo benar. Masalah hak masalah mendasar. Perdamaian hanya bisa sejati dan langgeng di atas keadilan. Berikan yang menjadi hak orang, dan ambil yang menjadi hakmu. Opus iustitiae pax. Keadilan ciptakan perdamaian. Bahkan, keadilan itu prasyarat. Tanpa keadilan, tiada pedamaian. Adil dulu baru bisa damai.

Dengan ini kita berharap Tim Khusus Diperluas tidak tergiring menjauhi soal pokok kasus Ropa. Ini antara lain makna ucapan mosalaki Tibo Migo: “Ma’e jadi meto.” Jangan jadi ulat.

"Bentara" FLORES POS, Senin 28 April 2008

Tidak ada komentar: