Oleh Frans Anggal
Bupati Manggarai Barat Fidelis Pranda mengadukan Ketua DPRD Mateus Hamsi ke polisi. Pranda merasa dicemarkan nama baiknya oleh Hamsi dalam beberapa tindakan. Antara lain, tuduhan pada saat rapat di dewan, laporan ke KPK di Jakarta, serta siaran pers yang dipublikasikan televisi dan media cetak. Dalam laporan ke KPK, Hamsi menyebutkan KKN yang dilakukan Pranda merugikan keuangan negara puluhan miliar rupiah.
Pranda menilai semua tuduhan itu tidak benar. Oleh karena itu, ia melaporkan Hamsi ke polisi dengan materi aduan tindak pidana ‘perbuatan fitnah’ dan ‘perbuatan tidak menyenangkan’. Hamsi diadukan baik sebagai pribadi maupun sebagai ketua DPRD.
Kasus ‘melaporkan pelapor’ seperti ini sering terjadi dalam banyak upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tindakan memperkarakan si pelapor acapkali didorong bukan hanya oleh isi laporan, tapi juga oleh cara si pelapor yang dirasakan atau dinilai sebagai upaya pembunuhan karakter.
Penjelasan Bupati Pranda menunjukkan juga hal itu. “Karena (isi laporan Hamsi) tak benar maka saya merasa tak enak. Nama saya dicemarkan. Ini namanya pembunuhan karakter. Kasus ini disiarkan TVRI dan berita-berita koran.”
Pranda mengatakan ia “merasa tak enak”. Dalam budaya kita, yang dimaksudkan itu sama maknanya dengan “merasa dipermalukan”. Mengapa ia menyinggung soal “rasa” dan tidak hanya berhenti pada soal benar-salahnya isi laporan Hamsi ke KPK? Jawabannya terletak pada kultur atau budaya.
Dalam budaya kita, “rasa malu” atau aib lebih kuat ketimbang “rasa bersalah”. Apakah orang lain tahu atau tidak, itu lebih penting daripada apakah benar atau salah tindakan saya.
Kultur bangsa kita memang menabukan penyebarluasan aib di muka umum. Apalagi dalam posisi hukum seseorang yang belum dinyatakan bersalah oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dalam banyak kasus, gerak langkah pemberantasan korupsi yang mengedepankan cara "mempermalukan” seseorang di muka umum dengan aib yang melekat atau dilekatkan padanya justru terbukti kontraproduktif terhadap gerakan pemberantasan korupsi itu sendiri. Cara “mempermalukan” hanya akan melahirkan antipati. Akibat lanjutan yang tampak adalah menguatnya pertahanan diri (resistensi) dan politisasi terhadap setiap gerak langkah pemberantasan korupsi.
Dengan ini kita tidak hendak memvonis siapa salah siapa benar dalam kasus Pranda vs Hamsi. Kita hanya mau menunjukkan bahwa di Indonesia, pemberantasan korupsi bukan hanya persoalan penegakan hukum. Pemberantasan korupsi adalah juga persoalan budaya. Sisi budaya perlu dipertimbangkan dalam memilih cara.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 8 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar