Oleh Frans Anggal
Kalau DPRD Ende menepati janji atau tak terhalang agenda lain maka rapat itu tetap berlangsung Kamis 10 April 2007. Rapat dengar pendapat soal kasus Ropa. Kasus ganti rugi tanah lokasi PLTU.
Hingga kini 11 dari 12 pemilik tanah belum mau tanda tangani berita acara pelepasan hak. Akibatnya, pembangunan mega proyek listrik bertenaga batubara ini belum bisa dimulai. Orang PLN pusat sudah datang pekan lalu untuk acara peletakan batu pertama atau “nekatana” dalam bahasa setempat. “Nekatana” tidak jadi dilaksanakan karena ke-11 pemilik tanah tidak mengizinkan tanahnya digusur sebelum pelunasan ganti rugi. Acaranya pun diubah, bukan “nekatana” tapi “joka nitu” atau seremoni minta permisi roh penghuni lokasi. “Nekatana” sendiri belum dipastikan kapan berlangsung. Dengan demikian, belum jelas pula kapan proyek ini mulai dikerjakan. Semunya sangat bergantung dari kapan hak ke-11 pemilik tanah dipenuhi.
Kata PLN, uang ganti rugi untuk 12 pemilik tanah sudah dibayar lunas Rp6 miliar lebih melalui panitia pengadaan tanah. Kata panitia, uang sudah diserahkan kepada Alex Mari, ahli waris salah satu pemilik tanah. Selaku ‘perantara’ bagi 11 pemilik yang lain, Alex tidak menyerahkan utuh uang-uang itu. Karena itulah ke-11 pemilik tanah tidak mau menandatangani berita acara.
Prosedur pembayaran ganti rugi ini sudah jelas menyalahi aturan, perpres. Kalau ikut aturan, pasti tidak ada masalah. Tapi, sudahlah. Prosedur yang salah sudah terjadi. Tapi, uang ganti rugi yang merupakan hak ke-11 orang itu sekarang ada di mana? Kalau di tangan Alex Mari seperti kata panitia, kenapa tidak cepat diambil kembali untuk diserahkan secara langsung kepada yang berhak?
Poin ini ditekankan oleh para pastor yang mendampingi ke-11 pemilik tanah. Romo Dion Boleng Lewar Pr merasa heran, mengapa panitia tidak mengambil uang itu dari Alex Mari dan serahkan kepada yang berhak. “Bukankah itu yang menjadi pokok persoalan?” Itu juga yang ditegaskan Romo Domi Nong Pr. “Sederhana saja, ... berikan uang harga tanah dan tanaman kepada rakyat dan soal ini akan selesai.”
Dalam dengar pendapat dengan DPRD pekan lalu, panitia membalikkan semua logika di atas. Soal uang, panitia tidak tahu dan tidak urus. Kurangnya berapa, itu urusan PLN dengan para pemilik tanah. Panitia betul-betul hanya jadi saksi.
Bola panas kini dilemparkan ke PLN. Turut terkena lemparan adalah koran yang memberitakan kasus ini. Sedangkan para pastor dicap sebagai pihak ketiga, pihak yang menyebabkan semuanya jadi begini. Artinya, biang keroknya bukan pantia. Panitia bersiiiiiih.
Benarkah? Nanti kita lihat. Kita tunggu rapat dengar pendapat dengan DPRD. Tapi syaratnya: semua yang terkait harus hadir.
"Bentara" FLORES POS, Senin 7 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar