Oleh Frans Anggal
Lima paket dipastikan bertarung dalam pikada Sikka setelah dua paket tidak lolos verifikasi tahap kedua. Dalam banyak kasus pilkada di Tanah Air, gugurnya paket dikarenakan oleh kekisruhan internal partai. Demikian juga antara lain yang terjadi di Sikka.
Kasus seperti ini memperlihatkan betapa pilkada langsung belum mampu menciptakan sistem politik yang demokratis. Dulu, ketika kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagai perpanjangan tangan parpol, suara rakyat dianggap terpinggirkan. Pilkada langsung diharapkan membawa perubahan. Yaitu, bisa mengembalikan hak rakyat untuk menentukan langsung pemimpinnya, memunculkan pemimpin yang aspiratif, menciptakan stabilitas politik di daerah, serta menghilangkan praktik politik uang.
Yang terjadi? Jauh panggang dari api. Penyebabnya: parpol masih sentralistis. Praktik pencalonan dalam pilkada tetap saja ditentukan oleh pengurus pusat partai politik. Parpol belum menampilkan sosok sebagi lembaga politik yang menjamin transparansi dan akuntabilitas.
Berbeda dengan yang terjadi di Amerika Serikat, misalnya. Di sana, penjaringan calon gubernur atau walikota dilakukan melalui proses yang disebut “primary”. Anggota partai politik diberi kesempatan memilih calon yang paling mereka dukung. Keterlibatan para anggota parpol ini menjadi dasar legitimasi dalam proses penetapan calon. Hierarki kepengurusan parpol yang desentralistis seperti ini memungkinkan terjadinya pemilihan secara mandiri tanpa intervensi dari kepengurusan parpol di tingkat lebih tinggi.
Di Indonesia, astaga. Pilihan kandidat ditentukan oleh segelintir elite partai di pusat. Akibatnya sangat dirasakan. Pilkada belum mengembalikan hak rakyat untuk menentukan langsung pemimpinnya. Pilkada belum memunculkan pemimpin yang aspiratif. Pilkada belum menciptakan stabilitas politik di daerah. Pilkada belum menghilangkan praktik politik uang.
Selagi parpol belum banyak berubah, janganlah kita terlampau muluk berharap pilkada dengan sendirinya menjamin demokratisasi lokal. Bereskan dulu tugas besar ini: membenah, mengembangkan, dan memperbarui parpol. Apalagi, selama reformasi, parpol bersama DPRD dan birokrasi merupakan komponen yang tidak tersentuh perubahan.
Parpol perlu dibenah menjadi desentralistis, demokratis, transparan, dan akuntabel. Dengan kapasitas parpol seperti ini, pilkada langsung bisa diharapkan mengembalikan hak rakyat menentukan langsung pemimpinnya; memunculkan pemimpin yang aspiratif; menciptakan stabilitas politik di daerah, dan menghilangkan praktik politik uang.
Secara sebaliknya kita dapat mengatakan bahwa pilkada tetap saja tidak bisa mendemokratisasi politik lokal apabila parpol gagal mengembangkan dan memperbarui diri. Jadi, ubah dulu parpolnya.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 26 Maret 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar