16 Maret 2009

Utamakan Kasus Korupsi

Oleh Frans Anggal

Ketua DPRD Mabar Mateus Hamsi berencana melaporkan Bupati Fidelis Pranda ke polisi dengan tuduhan merendahkan martabat DPRD. Sebelumnya, Pranda mengadukan Hamsi ke polisi karena merasa dicemarkan nama baiknya, antara lain oleh adanya laporan dugaan korupsi miliaran rupiah ke KPK. Pranda menilai tuduhan itu tidak benar. Maka ia melaporkan Hamsi ke polisi dengan delik pidana ‘perbuatan fitnah’ dan ‘perbuatan tidak menyenangkan’. Kini giliran Hamsi ‘membalas’ dengan tuduhan: merendahkan martabat DPRD.

Pranda-Hamsi “berbalas pantun”. Liriknya sama: pencemaran nama baik, yang semakin jauh dari masalah pokok: dugaan korupsi. Mau bilang apa. Hukum kita memungkinkannya. Masih kolot.

Di negara-negara demokratis, pasal-pasal pencemaran nama baik dalam hukum pidana dianggap sebagai ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Pasal ini pun tidak menarik bagi penuntut umum. Sebab, ketentuan itu menuntut adanya pembuktian bahwa hal yang dituduhkan itu salah, dan pembuktian bahwa hal itu dilakukan dengan sengaja dengan tujuan menyakiti seseorang. Sangat sulit bagi penuntut untuk membuktikannya. Bahkan di Belanda, negara asal KUHP dan KUH Perdata Indonesia, ketentuan tentang pencemaran nama baik dalam perangkat perundang-undangannya telah berubah dari apa yang ada di Indonesia.

Di Indonesia, sudah kolot hukumnya, kolot juga aparat penegak hukumnya. Ini yang ikut menyuburkan korupsi dan ‘mengenakkan’ koruptor. Di negeri ini, pelapor kasus korupsi sering menjadi tersangka pencemaran nama baik. Ada dua contoh kasus di NTT.

Romo Frans Amanue Pr diadukan mencemarkan nama baik Bupati Flotim Felix Fernandez. Romo Frans ketika itu melaporkan dugaan korupsi yang dilakukan Bupati Felix. Ia divonis penjara 2 bulan dengan masa percobaan lima bulan. Sementara itu, kasus korupsi yang dilaporkannya sama sekali tidak disentuh aparat penegak hukum. Dugaan korupsi yang dilakukan bupati ini baru ditangani KPK dan Kejaksaan Tinggi pada 2005, setelah sebelumnya dipetieskan sejak 2003. Dampak dari upaya melaporkan kasus yang sama juga menimpa anggota DPRD NTT asal Flores Timur, Arif Rahman. Ia divonis 3 bulan penjara karena melaporkan sejumlah kasus korupsi yang dilakukan Bupati Felix Fernandez.

Di tengah hukum yang kolot, kita masih terhibur oleh sikap tanggap Polri. Para kapolda sudah diinstruksikan untuk memprioritaskan penanganan perkara tindak pidana korupsi jika dalam waktu bersamaan ada tuduhan pencemaran nama baik. Instruksi 7 Maret 2005 itu ditandatangani Direktur III Bareskrim Brigjen Indarto.

Kita berharap, dalam kasus Pranda vs Hamsi, Kapolres Mabar menaati instruksi tersebut. Utamakan kasus korupsi ketimbang delik pencemaran nama baik. Jangan utamakan aksi “berbalas pantun”.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 30 April 2008

Tidak ada komentar: