08 Februari 2009

Indonesia dalam Sebuah Rumah Kaca

Oleh Frans Anggal

Besok republik kita merayakan hari ulang tahun ke-61. Telah setengah abad lebih kita hidup bernegara, dan kini kita berada pada suatu era: era teknologi informasi. Berbeda dengan era-era sebelumnya yang mengandalkan modal dan senjata sehingga negaralah yang selalu menjadi kekuatan, pada era terbaru ini justru individu bisa berperan hebat tanpa tergantung pada hierarki teologis, dinasti politik, dan rezim ideologis. Perang di era ini tidak hanya bergantung kepada persenjataan militer fisik. Perang kini lebih canggih berupa perang memenangkan publik opini dunia.

Ramos Horta, misalnya, sendirian mengalahkan diplomasi Deplu RI dan jajarannya. Osama bin Laden sendirian memorakporandakan harga diri dan martabat superpower AS. Osama bukan raja, bukan presiden, bukan perdana menteri, dan tidak berinduk pada negara mana pun. Tapi jelas kekuatan Osama lebih hebat daripada ratusan kepala negara dan kepala pemerintahan gurem.

Pada dimensi konstruktif juga ada pemain global kaliber jenius yang secara individual menjadi pemain tingkat global setara atau melebihi negara. Laksmi Mittal adalah orang India yang membuka pabrik pertama di Surabaya dan sekarang menjadi raja besi baja dunia. Li Ka Hsing adalah warga Hong Kong yang menjadi operator pelabuhan terbesar sedunia termasuk Terusan Panama. Dua bersaudara pendiri Marvell Technology, Sehat Soetardja dan Pantas Soetardja adalah orang Indonesia yang memasok komponen komputer secara duopoli bersama Lucent Technology. Lima tahun yang lalu keduanya masuk dalam daftar 40 orang terkaya AS di bawah umur 40 tahun.

Contoh lain dan yang paling dekat dengan kita adalah Tibo, dkk. Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva adalah orang-orang kecil, perantau asal Flores di Poso. Ketiganya sangat tidak berarti di mata negara ini dipandang dari segi pangkat, kedudukan, dan modal. Namun ketiganya mempunyai kekuatan. Kekuatan itu tidak datang dari diri mereka sendiri, tetapi dari jejaring yang memetakan mereka dan kasusnya dalam konteks kemanusiaan universal.

Sudah dua kali pelaksanaan eksekusi mati terhadap ketiganya ditunda. Meski dibantah oleh para penguasa negeri ini, penundaan ini tidak lepas dari besarnya tekanan dari dalam dan luar negeri. Demo penolakan eksekusi mati marak di NTT dan Sulawesi. Para pemuka agama, praktisi hukum, dan politikus baik perseorangan maupun organisasi mendesak agar pelaksanaan hukuman mati ditunda sampai otak kerusuhan Poso terungkap. Tekanan kini sudah bergesar. Ekskeusi mati tidak hanya ditunda tapi harus dibatalkan karena Tibo, dkk cuma korban dari sebuah peradilan sesat. Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) meminta Presiden SBY tidak hanya menunda pelaksanaan hukuman mati terhadap siapa pun di Indonesia, tapi juga menghapus pemberlakuan hukuman mati itu sendiri.

Sentuhan melalui jalur dilomatik pun semakin kuat. Paus Benediktus XVI melalui suratnya tertanggal 11 Agustus 2006 meminta Presidan SBY memberikan pengampunan kepada Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva. Uni Eropa mengkritik masih berlakunya hukuman mati di Indonesia, hal yang sudah tidak diberlakukan lagi pada banyak negara berperadaban tinggi.

Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva bukan Ramos Horta yang membikin Indonesia kehilangan Timor Timur, bukan pula Osam bin Laden yang membikin Amerika Serikat kebakaran jenggot. Namun ketiganya punya dampak terhadap citra negara ini dalam tata pergaulan internasional berkat kerja jejaring dari sebuah era teknologi informasi. Olehnya, Indonesia ibarat sedang berada dalam sebuah rumah kaca. Semua mata dunia tertuju tembus ke dalamnya. Apa pun yang dilakukan negara ini terhadap tiga terpiana mati akan membawa dampak bagi wajahnya sendiri di mata dunia.

Ini sesungguhnya peluang. Tinggal dimanfaatkan atau disia-siakan. Dirgahayu Republik Indonesia.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Agustus 2006

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

PERADILAN INDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA

Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan

demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini

telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??

David Pangemanan,
(0274)9345675