Oleh Frans Anggal
Perjuangan kemanusiaan kita menyelamatkan kehidupan manusia dalam kasus Tibo dkk. belum akan segera berakhir. Kita tidak tahu pasti apakah tiga terpidana mati kasus Posos III itu segera dieksekusi, seperti yang dijanjikan Kejaksaan Agung dilaksanakan setelah perayaan HUT Ke-61 Kemerdekaan RI 17 Agustus. Bisa ya, bisa tidak.
Eskekusi bisa saja ditunda lagi karena ‘satu dan lain hal’--yang dalam keterangan aparat negara kita selalu berkaitan dengan masalah teknis, bukan persoalan substansial yang merupakan inti perjuangan kita. Ambillah kemungkinan terburuk, Tibo dkk jadi diesekusi mati. Yang menjadi pertanyaan, apa sikap dan langkah kita? Apakah kita menjadi demikian marah, amuk, dan membunuh sesama seperti yang dilakukan dengan congkak oleh negara? Kalau itu yang kita lakukan maka kita mengkhinati perjuangan kita sendiri menyelamatakan kehidupan manusia, pemberian Tuhan yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun, juga oleh negara!
Seruan Uskup Maumere Mgr. Vincentius Sensi Potokota dalam surat pastoralnya patut kita jadikan acuan. “Perjuangan kita demi kehidupan, kebenaran, dan keadilan tetap kita pertahankan, juga apabila negara tetap berketetapan mengeksekusi ketiga saudara kita. Dalam memberikan reaksi atas pelaksanaan eksekusi mati atas ketiga saudara kita, kami menegaskan agar kita tetap konsisten dengan keseluruhan isi perjuangan kita.”
Mengendus reaksi yang bakal muncul, khususnya di Kabupaten Sikka yang intensitas perjuangan menolak hukuman mati Tibo dkk terasa begitu kental dan bergema, Polri memberlakukan siaga satu. Artinya, kondisinya genting. Ini sikap antisipatif aparat keamanan mencegah tindakan anarkis yang bisa saja dilakukan masyarakat Sikka yang marah dan tidak mampu mengendalikan diri.
Untuk siaga satu, Polres Sikka mendapat bantuan 100 personel Brimob dari Kupang, 30 personel Brimob dari Ende, 60 personel Brimob dari Ruteng, dan 30 personel Dalmas dari Flotim. Banyak memang. Namun jumlah ini tidak ada artinya sama sekali kalau masyarakat Sikka apalagi Flores-Lembata marah dan anarkis.
Dengan ini kita hendak mengatakan bahwa kunci keamanan Flores-Lembata sesungguhnya tidak terletak pada jumlah personel dan kesiagaan aparat kepolisian, tetapi pada kedewasaan masyarakat Flores-Lembata sendiri menyikapi sebuah masalah. Tepat sekali kata Kapolres Sikka AKBP Drs. Endang Syafruddin, “Seberapa pun kekuatan personel, tidak ada artinya. Yang terpenting adalah masyarakat sendiri tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”
Yang perlu kita sadari, panasnya Flores-Lembata saat ini dapat saja dijadikan lahan empuk para provokatur menyiramkan bensin dan menyulutkan api kerusuhan. Alhasil, pulau kita tidak bedanya dengan Poso, ladang pembantaian yang ‘menyalibkan’ Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva sebagai tumbal.
Perjuangan kita menyelamatkan kehidupan mesti tetap dalam koridor budaya kehidupan. Darah tidak bisa dibersihkan dengan darah.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Agustus 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar