08 Februari 2009

Pernyataan Wapres yang Menyesatkan

Oleh Frans Anggal

Dua kali Tibo cs hendak dieksekusi mati, dua kali pula pelaksanaannya ditunda. Pemerintah menyebutkan alasan penundaan sebagai masalah teknis di lapangan. Sebab, putusan final Mahkamah Agung sudah dikeluarkan 5 April 2006, tinggal pelaksanaannya oleh Kejaksaan Tinggi dan Polda Sulawesi Tengah. Bagi pemerintah, Tibo cs harus tetap dieksekusi mati, kapan pun waktunya. Untuk memuluskan pelaksanaannya---seperti kata Wapres Jusuf Kalla—soal waktu tidak akan dipublikasikan sebagaimana dilakukan terdahulu yang mengakibatkan tertundanya eksekusi. Terkesan sangat kuat, di mata pemerintah, publikasi merupakan penyebab besar dan kuatnya gelombang protes masyarakat.

Beberapa hal perlu kita catatkan di sini. Pertama, merahasiakan waktu pelaksanaan eksekusi mati Tibo cs sudah merupakan pelanggaran atas hak masyarakat untuk tahu (right to know) terutama keluarga para terpidana. Kalau benar demikian yang dilakukan pemerintah maka ini merupakan sebuah pelanggaran HAM baru di atas pelanggaran HAM yang sudah lama diniatkan yakni mencabut hak hidup seseorang melalui eksekusi.

Kedua, melihat publikasi sebagai biang kerok besar dan kuatnya gelombang protes masyarakat terhadap eskekusi mati merupakan suatu kesesatan berpikir. Hakihat penolakan masyarakat terhadap eksekusi mati Tibo cs tidak terletak pada ada tidaknya publikasi, tetapi pada adanya pelanggaran HAM yang dilakukan negara terhadap warganya sendiri. Hukuman mati melanggar konsistusi UUD 1945 yang sudah dimandemen. Negara kita telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil.

Pada amandeman kedua tahun 2000, dalam UUD kita ditambah satu bab, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 28 A menegaskan, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupan. Pasal 28 I menyatakan, hak untuk hidup adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Dari sisi hierarki perundang-undangan, konstitusi berkedudukan paling tinggi. Karena itu, semua UU di bawahnya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengannya, termasuk KUHP warisan kolonial yang masih memberlakukan hukuman mati. Dengan masih memberlakukan hukuman mati berdasarkan KUHP yang jelas-jelas bertentangan dengan amanat UUD 1945 maka Negara, dalam hal ini aparat, telah melakukan baik pelanggaran konstitusional maupun pelanggaran HAM yang termuat dalam konstitusi itu.

Di sisi lain, spirit UUD 1945 yang pembukaannya tetap memuat Pancasila sangat selaras dengan pandangan iman kristiani yang memandang hidup sebagai anugerah terbesar Tuhan kepada manusia yang tidak boleh dicabut oleh siapa pun, kapan pun, di mana pun, dan dengan alasan apa pun. Khusus dalam kasus Tibo cs, penolakan semakin kuat karena dari segi alasan, Tibo cs bukanlah orang yang paling bertanggung jawab atas kerusuhan Posos III hingga harus menanggung hukuman tidak berperikemanusiaan itu. Dari segi proses, ketiga petani perantau asal Flores ini sengaja dijadikan tumbal melalui peradilan yang tertutup dan penuh rekayasa.

Mozaik kebenaran, pemikiran, dan keyakinan seperti itulah yang menyebabkan besar dan kuatnya gelombang protes masyarakat terhadap keputusan ekskusi mati Tibo cs. Jadi bukan karena adanya publikasi sebagaimana disebutkan Wapres Jusuf Kalla. Lagi pula, di era teknolgi informasi sekarang ini yang menempatkan transparansi sebagai anutan global, dapatkah RI luput dari publikasi? Omong kosong! Indonesia tengah berada dalam sebuah rumah kaca yang tembus pandang.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 Agustus 2006

Tidak ada komentar: