08 Februari 2009

Senandung Duka HUT Kemerdekaan

Oleh Frans Anggal

Kita pantas berduka. Segala upaya untuk membebaskan Tibo cs dari hukuman yang tidak adil seakan berlalu tanpa hasil. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Kiritik dan saran boleh datang bertubi-tubi, eksekusi tetap dilaksanakan. Grasi yang diajukan dengan dasar-dasar yang semestinya layak dipertimbangkan, ditolak oleh presiden. Bukti-bukti baru atau novum yang diajukan kepada penegak hukum, yang secara sangat meyakinkan menunjukkan Tibo cs bukan dalang Kerusuhan Poso III, tidak ditindaklanjuti dengan serius. Nama para pelaku yang disodorkan Tibo cs, yang sesungguhnya lebih pantas duduk di kursi pesakitan, hanya menjadi daftar di atas kertas.

Demikian pula rencana pemberian amnesti umum bagi semua pihak yang terlibat termasuk bagi Tibo cs yang sedang dibahas di Poso tidak dihiraukan oleh penguasa politik dan hukum di Jakarta. Padahal amnesti umum merupakan salah satu jalan yang pantas dipertimbangkan. Dasarnya pun sangat kuat jika diwawas dari sisi tilik etika. Orang-orang hukum mengenal adagium klasik ini: lebih baik membebaskan orang yang bersalah daripada menghukum orang yang tidak bersalah. Inilah moralitas di balik gagasan amnesti umum bagi semua pihak yang terlibat dalam kerusuhan Poso. Sayang sekali, para penguasa kita justru berada di seberang moralitas yang lain. Seakan-akan mereka sedang bersikap: lebih baik mengorbankan orang kecil daripada menghukum orang besar. Yang menjadi takaran kepantasan dihukum bukan lagi perbuatan seseorang, tetapi siapa seseorang itu. Kalau dia teri, pantas dihukum. Kalau dia kakap, layak diselamatkan. Diselamatkan demi menyelamatkan kakap-kakap yang lebih besar.

Kini kita semakin sulit mengelakkan kesan bahwa Tibo cs memang sudah diseting untuk menjadi tumbal dalam Kerusuhan Poso II. Mereka ditumbalkan, demi menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka ditumbalkan, demi menyelamatkan siapa yang sesungguhnya dalang kerusuhan berdarah itu. Tibo cs paling mudah dan paling murah ongkosnya untuk urusan seperti ini. Sebab, mereka bertiga berasal dari kalangan minoritas. Inilah pola umum yang bukan rahasia lagi dalam hampir semua kerusuhan di Indonesia.

Fabianus Tibo, Marianus Riwu, dan Dominggus da Silva akan menjalani dieksekusi pada tanggal 12 Agustus 2006 pukul 00:15 Wita. Kepastian ekesusi ini merupakan berita duka bagi kita. Berita yang mengawali secara sangat buruk peringatan HUT Ke-61 RI. Di mata kita, makna hakiki HUT kemerdekaan tahun ini sudah terluka. Terluka oleh interese politik para penguasa yang mengorbankan kebenaran dan keadilan hukum. Terluka oleh kepicikan para penguasa yang mendewakan huruf hukum ketimbang jiwa hukum. Terluka oleh proses formal peradilan yang ditempatkan sedemikian tingginya hingga menjauhi penegakan kebenaran dan pencarian keadilan yang justru merupakan tujuan akhir dari hukum itu sendiri.

Dalam konteks perayaan HUT kemerdekaan, ketersesatan ini semakin mengukuhkan keyakinan kita bahwa sesungguhnya kita belum merdeka. Formalitas hukum yang semestinya menjadi sarana pemerdekaan justru telah disalahgunakan oleh penguasa menjadi alat penindasan. Oleh karena itu, bagi kita, lagu yang cocok dikumandangkan pada perayaan HUT kemerdekaan tahun ini bukanlah mars sukacita patriotik, tetapi senandung dukacita, rekuiem.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Agustus 2006

Tidak ada komentar: