08 Februari 2009

Kendalikan Hama secara Agronomik

Oleh Frans Anggal

Mengapa kelaparan melanda Kabupaten Sikka? Salah satu jawabannya adalah karena gagalnya kabupaten itu menerapkan sistem pertanian yang baik. Manajemen lahan pertaniannya cenderung monokultur. Budi daya dengan hanya satu jenis tanaman dinilai rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Tidak akan demikian kalau lahan dikelola secara multikultur, ditanami aneka jenis tanaman. Demikian pendapat Ir. Emilanus Pani, M.Si seperti diwartakan Flores Pos, Senin 7 Agustus 2006. Poin yang sama dalam konteks lebih luas—tidak sebatas kasus Sikka—disampaikan Pater Alex Ganggu, SVD beberapa waktu sebelumnya. Kedua pemerhati menyarankan penggalakan pola pertanian multikultur sebagai salah satu langkah mengurangi risiko serangan hama dan penyakit.

Pola tanam multikultur didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua hama memiliki inang yang sama. Ulat Pluttela dan Croci, misalnya, tidak menyukai bau tanaman tomat, jagung, dan bawang daun; sehingga bila tanaman kubis ditumpangsarikan dengan tanaman tersebut maka populasi ulat akan lebih rendah dibanding dengan kubis yang ditanam secara monokultur. Pola seperti ini tidak diterapkan di Sikka pada lahan kakao, hal yang menyebabkan tanaman perdagangan andalan yang sudah berusia 35 tahun itu habis dimangsa hama dan penyakit sehingga tidak produktif lagi dan ujung-ujungnya mendatangkan kelaparan bagi para petani.

Selain dengan pola tanam multikultur, cara pengendalian hama lainnya adalah dengan sanitasi, pengolahan tanah, pengelolaan air, rotasi tanaman, penanaman serempak, pengaturan jarak tanam, penanaman tanaman perangkap (trap crop), dan penanaman varietas unggul.

Maksud sanitasi adalah membersihkan lahan tanaman dari berbagai sisa tanaman atau limbah dan rumput liar (gulma). Demikian juga perlunya pengolahan tanah. Sebab ada serangga yang sebagian atau seluruh hidupnya berada di dalam tanah, yang amat dipengaruhi oleh tekstur dan struktur tanah, komposisi kimiawi tanah, kelembaban dan suhu tanah, serta adanya organisme tanah lainnya. Dengan pengolahan tanah yang baik, hama-hama tersebut bisa terbunuh atau terhambat perkembangannya karena terkena sengatan matahari, dimakan predator di permukaan tanah, atau terbenam jauh ke dalam tanah.

Demikian pula, pengelolaan air yang baik dan teratur bisa menekan perkembangan hama. Menggilir (rotasi) tanaman dengan jenis yang tidak memiliki hama sama dapat memutuskan siklus hidup hama karena pada musim berikutnya hama akan mati kelaparan. Sedangkan penananam serempak dalam satu hamparan yang luas akan memperpendek masa ketersediaan makanan hama karena panen dapat dilakukan bersamaan. Penanaman serempak akan memperkecil risiko serangan karena hama bisa terbagi-bagi.

Akan halnya pengaturan jarak tanam berpengaruh terhadap iklim mikro sekitar tanaman. Bila jarak tanam rapat, lingkungan sekitar tanaman menjadi lembab, sedangkan jika jarak tanam terlalu renggang maka lingkungan sekitar tanaman mudah kering terpanggang matahari.

Cara lain adalah dengan tanaman perangkap. Tanaman perangkap adalah tanaman yang amat disukai hama, dan ditanam di sekitar tanaman utama untuk mengalihkan sasaran serangan hama. Bisa pula dengan menanam varietas unggul. Di samping memiliki daya produksi tinggi dan bertumbuh cepat, varietas ini tahan terhadap beberapa organisme pengganggu.

Semua cara di atas merupakan bagian dari pengendalian hama dan penyakit secara kultur teknis atau agronomik. Intinya, hama dikendalikan dengan cara mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga kurang cocok bagi kehidupan dan perkembangbiakan hama. Usaha pengandalian ini bersifat preventif, dilakukan sebelum serangan hama terjadi.

Kita menganjurkan cara seperti ini karena pelaksanaannya mudah, murah, dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Agustus 2006

Tidak ada komentar: