08 Februari 2009

Wajah Ende di Pasar Wolowona

Oleh Frans Anggal

Masalah serius pada wajah Kota Ende adalah pasarnya. Ibarat paras seorang gadis, kota ini dinodai bercak hitam. Salah satu bercak menjengkelkan itu adalah Pasar Wolowona.

Pasar ini teletak di tepi ruas jalan negara Ende-Maumere. Begitu terbukanya dan tidak bisa disembunyikan. Bagi yang baru saja menikmati cantiknya Ende, kenangannya bisa segera sirna kala menuju arah timur melewati pasar ini. Sedangkan bagi yang datang dari arah timur, bayangannya akan keindahan Ende bisa lenyap begitu melintas di ruas jalan depan pasar ini.

Seperti dilansir Flores Pos, Sabtu 29 Juli 2006, pasar di sebelah timur Kota Ende ini kotor dan semrawut. Sampah dibuang sembarangan. Tong sampah yang disediakan tidak difungsikan. Para penjual meletakkan jajaan di luar lokasi pasar. Mereka berderet di bahu jalan, yang membuat jalan jadi sempit, padahal lokasi dalam pasar masih leluasa. Kotor dan semrawutnya paling terasa saat hari pasar Kamis petang hingga Jumat siang.

Terkesan kuat, upaya penertiban di Pasar Wolowona sangat lemah. Petugas setempat berdalih, mereka tidak berdaya karena tidak ada perintah untuk bertindak tegas. Atasan mereka di Dispenda bilang penertiban dilakukan rutin, namun para pedagang tidak sadar-sadar juga. Sedangkan pedagang yang berjualan di bahu jalan mengaku punya cara membebaskan diri dari penertiban, yakni dengan memberi ‘honor’ kepada petugas. Dengan menyogok petugas, hingga kini mereka tetap bebas berjualan di bahu jalan tanpa merasa khawatir akan ditertibkan.

Dari kisah singkat ini, satu poin penting segera bisa kita garisbawahi bahwa kunci utama kebersihan dan ketertiban Pasar Wolowona bukan terletak pada diri para pedagang, tetapi pada laku para petugas lapangan dan instasi yang membawahkannya. Rendahnya kesadaran masyarakat kita akan kebersihan dan ketertiban sudah merupakan ‘penyakit turunan’. Penyakit ini harus disembuhkan, bukan hanya dikeluhkan dan lantas selalu dijadikan alasan utama tetap kotor dan semrwutnya kondisi pasar. Di hadapan masyarakat yang sudah ketularan ‘penyakit keturunan’ seperti ini, budaya bersih dan tertib tidak bisa tumbuh dan mekar hanya lewat harapan. Kita sudah memiliki aturan. Namun itu saja tidak cukup. Aturan harus ditegakkan. Pelaksanaannya di lapangan harus tegas dan konsisten. Pengawasan dari instansi terkait harus ketat dan berkesinambungan. Inilah yang justru lemah dalam pelaksanaannya selama ini.

Dari pengakuan pedagang bandel di Pasar Wolowona bahwa untuk meniadakan penertiban mereka menyogok petugas, jelas diketahui bahwa para pedagang sudah maklum tentang kewajiban yang harus mereka penuhi dan larangan yang harus mereka hindari. Justru karena tahu tentangnya maka mereka mencari cara paling jitu melalaikan kewajiban dan menerobos larangan. Cara itu mereka temukan pada kelemahan para petugas yang mudah disogok. Kepada atasannya, petugas tentu tidak akan berterus terang bahwa ia tidak bisa menetibkan pedagang karena telah menerima suap. Berterus terang adalah jalan bunuh diri. Yang pasti ia sampaikan tiada lain daripada mentalitas para pedagang yang sulit diubah. Ia akan mengatakan, ia telah terus-menerus melakukan penertiban namun para pedagang tetap saja tidak patuh. Dengan kata lain, kesadaran para pedagang rendah. Laporan menyelamatan diri seperti inilah yang diterima atasan. Dan bisa jadi tanpa pengecekan cermat di lapangan, sang atasan akan mengatakan bahwa sumber utama kotor dan semrawutnya Pasar Wolowona adalah kesadaran para pedagang yang masih rendah.

Dari hasil liputan Flores Pos ini, kita berani mengatakan, rendahnya kesadaran pedagang bukan sumber utama kotor dan semrawutnya Pasar Wolowona. Sumber utamanya adalah penegakan aturan di lapangan yang lemah, mentalitas petugas pasar yang gampang disogok, dan kurangnya pengawasan instansi terkait dalam hal ini Dispenda untuk pasar dan Dishub untuk tertib lalu lintas.

Kita yakin, kalau unsur-unsur ini melaksanakan tugasnya dengan baik maka Pasar Wolowona tidak akan lagi menjadi bercak hitam yang menodai paras cantik Kota Ende. Ingat, letak Pasar Wolowona begitu terbuka dan tak bisa disembunyikan. Wajah Ende bahkan ada di sana.

“Bentara” FLORES POS, Senin 31 Juli 2006

Tidak ada komentar: