18 Maret 2009

Hanya di Atas Kertas

Oleh Frans Anggal

Gubernur NTT sudah menetapkan tarif angkutan penumpang, menyusul kenaikan harga BBM. Penetapan ini ditengarai bakal menjadi macan ompong. Tidak dihiraukan para penyedia jasa angkutan. Sebab, seperti yang sudah-sudah, penetapan tarif sering tidak disertai pengawasan ketat dan sanksi tegas.

Ambil contoh, tarif angkutan penumpang Ende-Ruteng. Dalam penetapan terbaru, tarif batas atasnya Rp50.700. Artinya, tidak boleh lebih daripada itu. Kenyataan di lapangan lain sama sekali. Tarif riil Ende-Ruteng selama ini Rp75.000. Tarif lama ini sudah jauh melampaui batas atas yang ditetapan pemerintah. Itu sebelum harga BBM naik. Sekarang, apalagi. Penetapan pemerintah tidak dihiraukan. Betul-betul hanya menjadi “keputusan di atas kertas”, tidak pernah menjadi “keputusan di atas kendaraan”.

Boleh dibilang, kewenangan dan kemampuan pemerintah hanya sebatas mengeluarkan keputusan. Ditaati atau dikangkangi, tidak dipersoalkan lagi. Kewenangan dan kemampuannya hanya selebar dan setebal surat keputusan. Di lapangan, dalam pelaksanaannya, kewenangan dan kemampuan itu kosong melompong. Yang menguasai lapangan tetap saja pelaku ekonomi, para pemilik kendaraan. Mereka memakai tarifnya sendiri yang selalu jauh melampaui batas atas yang ditetapkan pemerintah.

Ketika penumpang mempersoalkan kesewenang-wenangan ini, pelaku usaha selalu punya alasan. Ketika harga BBM naik, harga suku cadang kendaraan ikut naik, maka tarif pun terpaksa ikut naik. Kalau tidak ikut naik, mereka rugi bahkan bisa bangkrut. Bisnis mana yang mau cari rugi?

Ketika penumpang mempersoalkan lagi, bukankah ada penetapan gubernur yang harus ditaati, jawaban pelaku ekonomi enteng-enteng saja setengah menyindir. Kalau mau yang tarifnya seperti itu, silakan cari kendaraan lain. Cari kendaraannya gubernur. Kalau pakai angkutan kami, tarifnya ikut kami. Berhadapan dengan sikap seperti ini, calon pengguna jasa akhirnya mengalah. Pengguna jasa angkutan selalu tidak berdaya.

Di hadapan kesewenang-wenangan pasar seperti ini, kita hanya menjadi warga pasar, bukan lagi warga negara. Negara telah lalai melindungi masyarakat konsumen dengan tidak mengawasi pelaksanaan dari apa yang diputuskannya. Penetapan tarif angkutan penumpang menjadi macan ompong. Keputusan yang dikeluarkan sekadar keputusan di atas kertas, tanpa pengawasan ketat dalam pelaksanan dan tanpa sanksi tegas bagi para pelanggar.

Kita berharap pemerintah menjadi lebih bertanggung jawab. Pelaksanaan keputusan mesti diawasi. Para pelanggar mesti ditegur. Kalau masih melanggar, mereka mesti ditindak, bila perlu izin trayeknya dicabut. Apa sulitnya?

"Bentara" FLORES POS, Kamis 29 Mei 2008

Tidak ada komentar: