Oleh Frans Anggal
Empat kandidat bupati dan wakil bupati Ende angkat bicara pada pertemuan para mosalaki dan pemilik ulayat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT). Mereka berbicara simpatik menanggapi konflik masyarakat dengan pemerintah dalam pengelolaan Taman Nasional Kelimutu. Kata mereka, aset wisata itu perlu dipelihara, tapi tidak boleh mengorbankan masyarakat.
“Saya tidak setuju kalau rakyat yang hendak memetik kopi yang ditanam oleh nenek moyang sebelum pematokan tapal batas, dilarang oleh pemerintah. Tindakan ini sudah tidak menusiawi lagi,“ kata Sipri Reda Lio. “Tidak boleh ada larangan bagi ana kalo fai walu untuk menggarap tanah di sekitar, sepanjang tidak mengganggu kelestarian lingkungan,” tandas Stefanus Temu.
Konflik masyarakat dengan pemerintah atau pengelola taman nasional terjadi hampir di mana-mana. Umumnya konflik menajam ketika kawasan taman nasional diperluas secara sepihak oleh pemerintah. Masyarakat di dalam atau sekitar kawasan umumnya tidak mengetahui rencana perluasan, apalagi diajak bicara atau dilibatkan. Mereka baru mulai sadar ketika muncul larangan ini dan itu di atas tanah ulayat mereka sendiri.
Rencana perubahan status kawasan taman nasional disusun oleh balai taman nasional. Dalam pengelolaannya, yang diutamakan adalah penyelamatan dan pelestarian alam atau kehidupan liar di alam. Sekian banyak jiwa manusia yang (sangat) bergantung pada sumber daya alam dalam kawasan itu dianggap tidak penting. Pandangan masyarakat yang sudah terbentuk beratus tahun diabaikan. Sejarah masyarakat dipenggal, dan yang dilihat hanya kondisi terkini, lalu masyarakat digolongkan sebagai ancaman paling berat terhadap kelangsungan ekosistem. Masyarakat selalu menjadi pihak yang tersingkir.
Yang dilupakan, antara masyarakat dan tanah persekutuan terdapat hubungan yang erat, hubungan religio-magis. Hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah, memamfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan, juga berburu binatang-binatang yang hidup di atas tanah. Hak persekutuan atas tanah inilah yang disebut hak ulayat atau hak pertuanan.
Pemerintah sebagai pihak di luar persekutuan semestinya menghormati hak ulayat. Hukum tanah nasional Indonesia sendiri mengakui adanya hak ulayat dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada, sebagaimana dimaksudkan dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960.
Sudah saatnya pola represi dalam konservasi diganti dengan pola partisipasi dan kolaborasi. Jangan berhenti pada slogan. Masyarakat pemilik hak ulayat harus didengarkan, dihargai, dan dilibatkan.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 12 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar