25 Maret 2009

DPRD Pemalas

Oleh Frans Anggal

Beberapa anggota DPRD Lembata mendapat sanksi dari pimpinan dewan karena malas menghadiri sidang. Mereka yang malas itu menolak dicap pemalas. Mereka juga menolak sanksi. Selain mempersoalkan wewenang pimpinan, mereka menuding balik bahwa ada pimpinan dewan yang juga sering tidak ikut sidang.

Kini para anggota DPRD bermasalah itu mulai mendebatkusirkan cap pemalas, juga soal wewenang pimpinan menjatuhkan sanksi. Boleh jadi mereka bukan pemalas, katakanlah begitu. Tapi, apakah mereka punya bukti? Kalau pimpinan dinilai tidak berwenang memberikan sanksi, apa pula dasarnya? Patut diingat, pimpinan memberikan sanksi bukan hanya karena memiliki wewenang, tapi juga dan terutama karena memegang bukti berupa laporan hasil penelitian badan kehormatan DPRD.

Yang kini dilakukan para anggota DPRD itu tak lebih daripada mekanisme bela diri. Yang mereka lupakan, seindah apa pun retorika bela diri, mereka tidak bisa menguburkan fakta dan data absensi yang dipegang badan kehormatan dan pimpinan dewan.

Tampaknya, mekanisme bela diri itu lahir dari rasa malu luar biasa. Rasa malu ini janggal pula. Dulu, ketika sering tidak hadiri sidang, mereka tidak malu. Sekarang, saat diberi sanksi dan diberitakan media massa, rasa malu mendadak muncul. Malu yang terlambat.

Kita khawatir jika cuma rasa malu itu yang mereka miliki. Semestinya mereka memiliki rasa bersalah. Dengan demikian maka sikap yang semestinya mereka bangun adalah mawas diri, bukan bela diri. Wakil Ketua DPRD Frans Making benar: ”Seharusnya ini merupakan momen refleksi dan benah diri bahwa kita digaji untuk bersidang.”

Menarik benar kata-kata itu. Digaji untuk bersidang, tapi malas ikut sidang. Malas ikut sidang, tapi rajin terima gaji. Ada yang tidak beres dalam diri wakil rakyat kita. Nuraninya.

Stephen Covey, mahaguru sukses interasional, mengatakan prestasi-keunggulan-keagungan berawal dari kepekaan menjawab panggilan Suara Agung di dalam hati. Dengan kata lain, fondasi segala prestasi-keunggulan-keagungan adalah spiritualitas.

Jauh sebelumnya, sosiolog Max Weber seabad lalu sudah mengingatkan dalam bahasa yang lain. Kata Weber, apabila orang bekerja berdasarkan panggilan jiwanya maka ia akan unggul melampaui yang lain. Begitulah awal kemajuan negara Eropa Utara dan selanjutnya AS hingga mencapai keunggulan global saat ini.

Indonesia? Hmmmm. Lembata? Lihat saja tingkah anggota DPRD-nya. Para wakil rakyat sepertinya sudah kehilangan kepekaan akan Suara Agung di dalam hati. Mereka seakan tak miliki lagi panggilan jiwa. Mereka kehilangan modal spiritual (spiritual capital). Padahal ini adalah rohnya keunggulan (spirit of excellence). Tanpa spiritualitas, keunggulan cuma jadi mimpi di siang bolong.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 13 September 2008

Tidak ada komentar: