Oleh Frans Anggal
Banyak hal menarik dalam dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Ende tentang kasus ganti rugi tanah lokasi PLTU Ropa. Meski, sayangnya, panitia pengadaan tanah (pemerintah) tidak hadir. Di hadapan komisi A dan PLN yang empunya proyek, Romo Domi Nong Pr menyampaikan satu hal yang tak terduga-duga. Yaitu, pesan Uskup Agung Ende Mgr Vincentius Sensi Potokota Pr.
Uskup menyatakan sikap: Gereja berpihak pada orang-orang yang dirugikan, yakni sebelas pemilik tanah yang hak atas ganti rugi tanahnya belum dibayar lunas. Uskup juga mendukung para pastor yang berjuang bersama orang-orang yang dirugikan ini.
Sedangkan terhadap pastor yang tidak memihak para korban, uskup menyatakan kekecewaannya. Pasor dimaksud disebutkan namanya terang-terang: Romo Frans Tena Pr. Romo Frans terlibat dalam urusan tanah PLTU Ropa, tapi bukan pada posisi membela kesebelas korban ketidakadilan. Ia bergandengan tangan dengan panitia pengadaan tanah. Ia mendapat hadiah sebuah mobil.
“Seharusnya Romo Frans tahu apa misi Gereja dan mesti memperjuangkan hak mereka-mereka yang dirugikan ini,” kata Romo Domi mengutip sikap uskup.
Sikap uskup sangat tegas. Tegas memihak korban ketidakadilan. Tegas mendukung para pastor yang membela para korban. Sikap uskup juga sangat terbuka. Ia mengungkapkan kekecewaannya tentang posisi salah yang telah diambil pastornya. “Yang menjadi pokok keprihatinan kami, mengapa Romo Frans tidak melihat penderitaan kesebelas saudara ini.”
Di Flores, sorotan menjadi tajam ketika pastor berselingkuh dengan penguasa. Sementara, “power tends to corrupt”. Setiap kekuasaan selalu cenderung melakukan penyelewengan dan kejahatan. Kenyataan selalu membuktikan, kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga berkali-kali lebih besar daripada kemampuannya mengkritik dan mengawasi dirinya sendiri.
Lihat saja kasus Ropa. Panitia pengadaan tanah memperbesar kuasanya. Semestinya hanya jadi saksi, mereka ikut urus uang. Uang ganti rugi itu diberikan kepada orang yang tidak berhak pula, sementara hak sebelas warga yang semestinya menerima ganti rugi tidak dipenuhi. Panitia juga membenarkan diri lalu melemparkan tanggung jawab ke PLN dan menuding para pastor sebagai biang kerok kemelut.
Amat disayangkan memang kalau pastor terperangkap dan menjadi bagian dari kekuasaan seperti ini. Sangat beralasan kalau uskup kecewa. Pastor itu gembala. Gembala harus selalu bersama domba. Jangan tinggalkan domba. Jangan pula berpesta di sarang serigala.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 12 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar