Oleh Frans Anggal
Senin 14 April 2008. Kalau tak ada hambatan, akan terjadi dua peristiwa penting di Kabupaten Ende. Pertama, Dirut PT PLN (Persero) tiba di Ende untuk meresmikan pembangunan PLTU Ropa keesokan harinya, yang ditandai dengan peletakan batu pertama. Kedua, dengar pendapat di DPRD yang dihadiri para pemilik tanah bakal lokasi PLTU, pihak PLN, dan panitia pengadaan tanah (pemkab Ende), dengan agenda mencari solusi penyelesaian kasus ganti rugi tanah yang belum dibayar (penuh) kepada 11 dari 12 pemilik tanah. Pertemuan ini merupakan lanjutan dari pertemuan pekan sebelumnya yang tidak dihadiri seorang pun dari unsur panitia.
Kedatangan dirut PLN untuk peletakan batu pertama, dan dengar pendapat di dewan untuk selesaikan kasus ganti rugi tanah, sesungguhnya dua peristiwa yang saling terkait. Yang satu mengandaikan atau mempersyaratkan yang lain. Kedatangan dirut untuk peletakan batu pertama mengandaikan urusan ganti rugi tanah sudah beres. Ini kali kedua orang PLN pusat datang dengan tujuan yang sama: peletakan batu pertama atau nekatana dalam bahasa setempat. Beberapa pekan lalu mereka datang jauh-jauh dari Jakarta, eh nekatana tidak jadi dilaksanakan, karena ke-11 pemilik tanah tidak mengizinkan tanahnya digusur sebelum pelunasan ganti rugi. Acaranya pun diubah, bukan nekatana tapi joka nitu atau seremoni minta permisi roh penghuni lokasi. Kali ini dirut sendiri yang datang dengan tujuan yang sama: peletakan batu pertama. Acara apa lagi yang akan dibuat kalau ganti rugi belum beres? Apakah bikin lagi joka nitu babak kedua? Ataukah ngotot melakukan nekatana?
Kita mengharapkan PLN dan Pemkab Ende tidak gegabah. Perlu diingat, nekatana yang merupakan tanda dimulainya pengerjaan proyek PLTU mempersyaratkan urusan ganti rugi sudah beres. Syarat ini tercantum jelas dalam Peraturan Kepala BPN RI No 3 Thn 2007, yang merupakan ketentuan pelaksanaan perpres pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
Pasal 67 ayat (1) peraturan dimaksud menyatakan: “Pelaksanaan pembangunan fisik atas lokasi yang telah diperoleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah, dimulai setelah pelepasan/penyerahan hak atas tanah ....” Kata ‘setelah’ di sini mengandung makna kondisional, yaitu adanya persyaratan yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum pelaksanaan pembangunan fisik dimulai. Persyaratan itu adalah pelepasan/penyerahan hak atas tanah. Justru di sini masalahnya. Pelepasan/penyerahan hak belum terjadi. Berita acaranya belum ditandatangani 11 pemilik tanah. Karena: pembayaran ganti rugi belum beres.
Sangat jelas, akar masalahnya adalah ganti rugi. Maka, solusinya hanya satu: bayar! Lebih baik kalau dilakukan di depan dewan pada hari dengar pendapat itu, sehari sebelum “nekatana”.
"Bentara" FLORES POS, Senin 14 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar