20 Maret 2009

Korban Inses Perlu Dibantu

Oleh Frans Anggal

Di Lembata, seorang ayah mencabuli anak kandungnya sejak korban berusia 12 tahun. Sang ibu baru mengetahuinya ketika polisi datang menangkap sang suami di kediaman mereka. Polisi bertindak setelah mendapat laporan dari majikan korban. Kepada majikannya, korban menuturkan apa yang dialaminya selama empat tahun sejak November 2004.

Ini adalah inses. Yaitu, hubungan seksual yang dilakukan ayah kandung, ayah tiri, kakek, paman, saudara laki-laki, atau laki-laki lain di dalam keluarga yang tidak memiliki hubungan darah namun telah diterima dan dipercaya sepenuhnya oleh keluarga. Ini kasus ketiga dalam satu dua bulan terakhir sejauh diberitakan media ini. Dua kasus terdahulu terjadi di Ende.

Kasus inses seperti gunung es. Yang terungkap hanyalah puncak yang kelihatan di atas permukaan laut. Yang lebih banyak justru tersembunyi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pelaku mengancam korban bila mengadukan kejadian itu kepada siapa pun. Pada kasus lain, karena budaya malu. Korban tidak mau kalau orang lain sampai tahu, aib, sama dengan menelanjangi diri sendiri. Akibat dari dua faktor ini, inses terjadi berulang-berulang.

Karena terjadi secara berulang dan berlangsung dalam waktu lama maka dalam rentang kasus kekerasan seksual, inses menempati urutan tertinggi dalam hal dampak yang ditimbulkan pada korban. Korban mengalami trauma fisik dan psikologis. Akibat lain yang sering meresahkan korban adalah stigma sosial.

Kita mendesak, tindakan hukum yang tegas dan adil tidak boleh ditawar-tawar. Pelaku telah melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Ia diancam dengan pidana maksimal 15 tahun penjara. Perbuatannya juga melanggar KUHP serta Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Selain perlunya sanksi hukum yang tegas dan adil terhadap pelaku, pendampingan terhadap korban pun tidak boleh disepelekan. Tidak jarang terjadi, proses hukum memperparah trauma anak. Aparat penegak hukum mesti memastikan metode pengambilan keterangan yang paling tepat bagi seorang anak sesuai dengan sifat kasus, gradasi trauma, dan karakterstik anak itu sendiri. Umumnya, penyidik dan hakim wanita lebih cocok untuk kasus-kasus seperti ini.

Yang juga tidak kalah penting adalah bimbingan psikologis dan rohani bagi korban. Anak korban inses pasti mengalami trauma psikologis. Kalau tidak tampak sekarang, itu berarti traumanya sangat berat. Anak yang merasa terlalu sakit atau tekanan emosinya sangat kuat akan berusaha mengingkari perasaan sakit itu (denial). Mudah-mudahan di Lembata ada pihak yang bisa dan rela memberikan bantuan konseling. Anak adalah korban yang tak berdaya. Ia tidak bisa membantu dirinya sendiri. Ia perlu dibantu.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 7 Juni 2008

Tidak ada komentar: