20 Maret 2009

Spiritualitas Guru

Oleh Frans Anggal

Pada tatap muka dengan Kelompok Kerja Guru Agama Katolik Tingkat SD se-Kecamatan Ndona, Kepala Kantor Depag Ende Agustinus T Gempa mengatakan, guru mesti punya spiritualitas. “Spritualitas itu dorongan dari dalam diri. Hal itu sangat menentukan semangat kerja.”

Spiritualitas, mengapa diperlukan? Para pedagang, para pekerja industri, dan para petani mengolah materi yang nantinya berakhir pada barang dan uang. Sedangkan para guru mengolah jiwa, membentuknya, dan memahatnya sehingga terwujudlah karya-karya termasyur yang pada suatu waktu menghiasi bumi dengan citra manusiawi. Begitu kata seorang penulis, Melege.

Mengolah, membentuk, dan memahat jiwa anak didik tidak mungkin berhasil jika guru melaksanakan tugasnya hanya karena rasa takut (fear motivation). Tidak mungkin berhasil jika hanya karena digaji atau dibayar (reward motivation). Juga tidak mungkin berhasil jika hanya karena terdorong kebutuhan untuk diakui (internal motivation). Ia hanya bisa berhasil kalau menjalankan tugasnya karena kasih kepada anak didik (love motivation). Kasih yang didasarkan pada kasih Tuhan sendiri.

Kasih harus menjadi “dorongan dari dalam diri”. Tak cukup bagi seorang guru bila hanya mengandalkan pengalaman berdasarkan lamanya hidup atau panjangnya masa kerja. Tak cukup pula bila hanya membanggakan inteligensia yang tinggi. Tanpa kasih kepada anak didik, semua pengalaman dan keterampilan itu tak dapat menggairahkan semangat kerja. Kasih “sangat menentukan semangat kerja”. Kasih dalam artian sikap hidup.

Kasih sebagai sikap hidup tidak lahir sekali jadi. Ia terbentuk melalui pendidikan dan budaya selama bertahun-tahun. Buahnya terlihat pada beberapa keutamaan. Tukiman Taruna menyebutkan sembilan nilai atau keutamaan hidup seorang guru. Yaitu, etika dan etos, jujur dan integritas, tanggung jawab, hormat dan patuh terhadap hukum dan peraturan, hormat terhadap hak orang lain, gemar belajar dan bekerja, gemar menabung dan berinvestasi, ingin berbuat yang terbaik, serta disiplin dan tepat waktu.

Buah itu tampak pula pada beberapa kebijakan etis. Yaitu sikap religius, jujur, sederhana, dan bijak. Guru yang religius peka terhadap bisikan hati nuraninya. Guru yang jujur tidak mudah terjerumus dalam prosedur yang ilegal. Guru yang sederhana selalu memandang profesinya sebagai bentuk pengabdian tanpa pamrih. Guru yang bijak selalu membuka ruang dialog dalam proses belajar mengajar. Ia tidak akan menganut sistem penjara yang mematikan daya nalar, daya kritis, dan daya mandiri anak didiknya.

Sulit dinafikan, membentuk anak didik menjadi karya termashyur di muka bumi tidak mungkin tanpa spiritualitas seorang guru.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 6 Juni 2008

Tidak ada komentar: