Oleh Frans Anggal
Hama tikus menyerang ratusan hektare padi dan jagung di Nangahale, Kabupaten Sikka. Jenis tikus yang menyerang adalah tikus kelapa. Sulit dibasmi karena usai menyerang, tikus kembali ke atas pohon. Para petani terancam gagal panen. Hama tikus juga menyerang persawahan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat. Meski serangan masih kecil-kecilan, para petani khawatir panen gagal bila pemerintah tak segera membantu, karena biasanya serangan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan padi.
Hama adalah kisah berulang di NTT. Pekan sebelumnya, belalang menyerang padi dan jagung di Sikka. Belalang dibasmi, tikus datang. Tikus diberantas, entah apa lagi yang mengintai, mungkin hama lain, bisa pula anomali iklim, badai dahsyat, hujan lebat, atau kemarau panjang yang menyimpang dari kalender kerja petani. Hama atau anomali iklim selalu membawa akibat sama. Rawan pangan, gizi buruk, kelaparan. Kisah ini selalu berulang.
Dulu---dan masih demikian pada sebagian masyarakat NTT---dikenal pola ketahanan pangan bersangga tiga. Penyangga pertama adalah usaha tani ladang (jagung, ketela pohon, dan kacang-kacangan). Penyangga kedua adalah ternak besar (sapi, kerbau, dan kuda). Penyangga ketiga adalah tanaman pangan yang tersedia di hutan. Pola seperti ini secara turun-menurun terbukti adaptif terhadap ekologi NTT yang tergolong semi-arid (lahan kering). Bila penyangga pertama runtuh, masyarakat masih memiliki penyangga kedua. Bila penyangga kedua ambruk, barulah mereka lari ke hutan, ke penyangga ketiga, mengkonsumsi ubi hutan.
Itu dulu. Kini banyak yang telah berubah. Khusus di Sikka, pada beberapa kasus, ketika padi dan jagung habis, tidak sedikit petani langsung lari ke hutan. Ubi hutan yang dulu cuma menjadi penyangga ketiga atau terakhir, kini menjadi penyangga kedua karena banyak petani sudah tidak memiliki ternak besar. Kenyataan seperti ini sangat mengkhawatirkan. Ketahanan pangan (food security) masyarakat kita semakin tipis. Dulu berlapis tiga, kini hanya berlapis dua. Bayangkan kalau suatu saat ubi hutan tidak ada, apa yang bisa dimakan?
Yang pertama-tama perlu disadari para pengambil kebijakan adalah bahwa masyarakat kita memiliki pola nafkah bersangga tiga yang secara turun-temurun terbukti adaptif terhadap ekologi lahan kering. Tiga penyangga itu perlu kembali dimiliki. Konkretnya, pemerintah jangan hanya perhatikan budi daya pertanian. Berikan perhatian yang serius juga pada budi daya peternakan, khususnya ternak besar. Bila perlu, gencarkan lagi apa yang dulu diprogramkan Gubernur Ben Mboi: industri kerajinan rakyat sebagai penyangga keempat. Sebab, semakin banyak penyangga, semakin kuat pula ketahanan pangan masyarakat.
"Bentara" FLORES POS, Senin 18 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar