Oleh Frans Anggal
Masyarakat Kuru dan Nangapanda di Kabupaten Ende menolak menyerahkan tanah komunalnya untuk pembangunan markas korem. Elemen mahasiswa di Ende dan Kupang berdemo menolak korem. Dan seterusnya, dan seterusnya.
Itulah sikap masyarakat Flores-Lembata dalam sebulan terakhir. Sejak rencana pembentukan korem 1999 silam, sikap ini tidak berubah. Di seberang yang lain, alasan para petinggi TNI juga tidak berubah: demi kepentingan pertahanan negara. Padahal, sampai kini Flores tetap Flores, tidak bergeser ke timur menjadi daerah perbatasan dengan negara tetangga. Flores juga tidak sedang menyemaikan benih apalagi melakukan gerakan separatisme. Kalau begitu, untuk apa korem masuk Flores?
Yang nyata dan kasat mata, Flores sedang bergulat dengan kemiskinan. Masyarakatnya membutuhkan tanah garapan, pangan yang cukup, pendidikan yang bermutu, dan kesehatan yang terjamin. Semua itu jelas bukan tugas tentara. Lalu, mengapa dan untuk apa personel militer dalam jumlah besar dipaksa-paksakan masuk Flores?
Sangat kentara, alasan demi kepentingan negara yang dilontarkan para petinggi TNI tidak memiliki pijakan yang nyata, sahih, dan mendesak. Karena itu maka pemaksaan kehendak atas nama negara tidak dapat dibenarkan. Tidak pantas pula diterima begitu saja. Harus dikritisi. Dan sesungguhnya itulah yang dilakukan civil society di Flores selama ini, sejak 1999.
Civil society adalah berbagai paguyuban warga, yang bebas dari campur tangan negara dan para pelaku bisnis raksasa. Bisa berupa kumpulan orang-orang satu profesi, kumpulan orang-orang satu agama, kumpulan orang-orang satu hobi, dan berbagai organisasi lain yang relatif bebas dari campur tangan negara. Civil society juga adalah sebuah kesadaran warga untuk memperkuat diri, sebagai imbangan terhadap dominasi negara, dalam mengembangkan sebuah masyarakat yang demokratis, bebas, adil, dan sejahtera.
Di negara-negara totaliter komunis, di mana dominasi negara begitu kuat dan merasuk ke semua sendi kehidupan masyarakat, civil society cepat atau lambat harus dikuasai dan ditaklukkan demi tercapainya cita-cita komunisme. Di Indonesia, selama 32 tahun, rezim Orde Baru berhasil merusak dan membungkam kesadaran civil society. Nyaris tidak ada organisasi kemasyarakatan yang bebas dari kooptasi negara. Pilar yang digunakan adalah militerisme. Komando teritorial (kodam, korem, kodim, koramil, babinsa) merupakan pilar militerisme yang paling represif ketimbang pilar-pilar lain. Dari sisi pembungkaman civil society, prestasi rezim Orde Baru ini jauh melebihi prestasi rezim totaliter komunis.
Nah, dengan dipaksa masuknya korem ke Flores, kita patut bertanya-tanya: negara ini mau dibawa ke mana? Kembali ke Orde Baru?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 16 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar