11 Maret 2009

Seharusnya Kita Bangga

Oleh Frans Anggal

“Camat Maurole, Gregorius Gadi, mencap para pastor sebagai provokatur karena menghasut rakyat untuk melawan pemerintah.” Begitu laporan warga kepada para pastor dari tim YBBH Veritas dan JPIC SVD Ende yang mendampingi 11 pemilik tanah yang dikorbankan dalam kasus ganti rugi tanah bakal lokasi PLTU di Ropa, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende.

Tanggapan para pastor? Gereja mesti selalu berada dan berjuang bersama rakyat. Ini misi kehadiran gereja yang tidak bisa ditawar. “Ancaman, teror, dan cap provokatur hanya mengekpresikan kegelisahan kekuasaan yang tengah dibuka kebusukannya yang sekian lama dibungkus dalam represi.”

Tanggapan cerdas! Dasarnya kuat, yaitu keberpihakan Yesus sendiri dalam memperjuangkan nasib orang-orang kecil. Yesus solider dengan mereka yang tak berdaya, yang diperlakukan tidak adil. Yesus perjuangkan nasib mereka hingga rela menderita demi mengangkat harkat dan martabat mereka. Ia wartakan tahun rahmat Tuhan telah datang. Mereka diberi harapan agar bertahan berjuang memelihara kehidupan sebagai anugerah Allah.

Kalau dasarnya keterlibatan dan keberpihakan Yesus maka sebenarnya apa yang sedang diperjuangkan para pastor merupakan tanggung jawab semua warga Gereja. Dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia 2005 disebutkan, keprihatinan bangsa merupakan keprihatinan gereja. Kepada umat Katolik diserukan agar bangkit dan bergerak memperbaiki berbagai masalah yang dihadapi bangsa.

Sudah seharusnya gereja tidak tinggal diam, bersikap netral, dan sibuk mengurus diri sendiri. Gereja harus berani mengambil sikap memihak mereka yang diperlakukan tidak adil, memberikan prioritas pada kaum miskin, tersisih, dan tertindas. Gerakan solidaritas harus merupakan aktualisasi nyata dari gereja kaum miskin, gereja yang selalu hadir, berdialog, dan terlibat sepenuh hati dalam setiap persoalan mereka. Inilah spiritualitas sosial baru: senantiasa sadar dan berusaha agar ibadat, pewartaan, pelayanan, dan persekutuan terbuka bagi kaum miskin dan berada dalam keprihatinan akan kemiskinan mereka.

Apa yang dilakukan para pastor dalam kasus Ropa justru menampakkan wajah gereja yang seharusnya. Gereja yang punya kebebasan hati. Gereja yang rela mengubah wajahnya yang selama ini mungkin cenderung institusional, legalistik, dan klerikal. Para pastor dalam kasus Ropa justru meneladani Yesus yang hadir ke dunia untuk memperjuangkan keluhuran harkat dan martabat manusia, terutama mereka yang diperlakukan secara tidak adil dalam sistem politik, hukum, ekonomi, dan sosial.

Seharusnya kita bangga dengan gereja seperti ini. Seharusnya pula kita bangga dengan para pastor yang memihak kaum tertindas.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 19 Februari 2008

Tidak ada komentar: