Oleh Frans Anggal
Saat acara adat joka nitu di lokasi PLTU Ropa, Bupati Ende meminta warga setempat tidak mudah terkontaminasi oleh berbagai hal. “Kalau tidak, nanti orang juluki Ende bodoh, Lio ngongo.”
Tidak disebutkan hal apa saja yang mengotori atau mencemari warga. Namun dalam konteks pembangunan listrik bertenaga batu bara ini, yang dimaksudkan cukup jelas, yaitu segala hal yang mengganggu, merintangi, atau menghambat proyek.
Acara itu sendiri berlangsung dalam suasana bermasalah. Sebelas dari 12 pemilik tanah belum mau menandatangani berita acara pelepasan tanah. Alasan mereka, uang ganti rugi tidak diberikan penuh oleh panitia pengadaan tanah (pemerintah), padahal PLN selaku pemilik proyek sudah menyerahkan semua ganti rugi Rp6 miliar, melalui panitia. Aliran dana dari panitia ke para pemilik tanah ini yang bermasalah. Panitia ternyata tidak menyetor uang itu langsung kepada masing-masing pemilik tanah. Uang diserahkan kepada seseorang selaku ‘perantara’ bagi 11 pemilik lainnya. Dari ‘perantara’ inilah ke-11 pemilik tanah menerima uang dalam jumlah tidak utuh. Mereka menolak menandatangani berita acara. Mereka menuntut pelunasan dari panitia.
Apa yang salah? Panitia bekerja tak sesuai dengan aturan, yakni Perpes tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam perpres disebutkan salah satu tugas panitia adalah menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi. Itu berarti, yang memberi dan menerima ganti rugi adalah PLN di satu pihak dan para pemilik tanah di pihak lain, sedangkan panitia hanya bertindak sebagai saksi. Yang salah dalam kasus Ropa, panitia ikut mengurus uang. Karena itulah, ke-11 pemilik tanah menuntut pelunasan dari panitia, bukan lagi dari PLN.
Perpres juga jelas menyebutkan, ganti rugi diserahkan langsung kepada pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam kasus Ropa, hal itu berarti uang ganti rugi diberikan PLN langsung kepada para pemilik tanah. Yang terjadi, dari PLN uang itu diserahkan ke panitia, dari panitia ke ‘perantara’, dari ‘perantara’ barulah ke 11 pemilik tanah.
Kalau kemudian ke-11 pemilik tanah menuntut pelunasan dari panitia, itu sangat masuk akal. Panitia bekerja menyalahi aturan. Bekerja melampaui tugas pokok dan fungsinya yang sudah jelas dan tegas diatur dalam perpres. Demikian juga, kalau kemudian para pastor membela dan memperjuangkan hak ke-11 pemilik tanah, itu tidak salah. Mereka dipanggil untuk merasa senasib dengan siapa pun yang menjadi korban berbagai praktik ketidakadilan.
Apakah para imam ini sedang mengkontaminasi masyarakat? Apakah mereka sedang membikin Ende bodoh, Lio ngongo? Siapa sebenarnya yang sedang bikin bodoh dan bikin ngongo masyarakat?
"Bentara" FLORES POS, Jumat 4 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar