14 Maret 2009

Untuk Kadis P dan K Ende

Oleh Frans Anggal

Menanggapi kasus seorang murid kelas 6 SD yang dihamili ayah tirinya, Kadis P dan K Ende Agustinus Amby memiliki sikap lain daripada yang diambil sekolah. Sekolah ingin tetap mempertahankan anak ini dan membiayainya hingga tamat. Ia masih bisa ikut UAS, dengan perkiraan partus pada Agustus.

Apa sikap kadis? Tetap tegakkan aturan. “Dari sisi aturan, kita tidak bisa tawar-menawar meski ada niat baik dari sekolah. Dengan kondisi seperti itu, jelas anak tersebut tidak bisa mengikuti UAS. Kalaupun pertimbangan kemanusiaan, si anak ikut program paket A.”
Aturan apa ini? Kalau benar ada, pantaskah aturan tersebut diterapkan pada diri anak dalam kasus seperti ini?

Perlu diingat, korban dalam kasus ini adalah anak di bawah umur (di bawah 18 tahun). Menurut Konvensi PBB mengenai Hak-Hak Anak (yang telah diratifikasi Pemerintah RI tahun 1990 dan disusul UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak), orang di bawah umur dianggap tidak mampu memberi penilaian dan memahami akibat dari pilihan dan persetujuannya sendiri, terutama mengenai tindakan-tindakan seksual.

Dalam kasus hubungan seksual dengan ayah tiri, sang anak merupakan korban yang tidak berdaya. Ia memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi pada ayah tiri yang memelihara dan menyekolahkannya. Ia tidak punya kemampuan untuk melindungi diri sendiri. Ia juga tidak dalam posisi mengambil keputusan untuk dirinya sendiri. Oleh sedikitnya pengalaman hidup sebagai seorang anak, ia mudah dieksploitasi, ditipu, dan dipaksa. Sebagaimana umumnya anak-anak, ia tidak mengerti secara keseluruhan sifat dasar seksual dari tindakan tertentu, dan karena itu pula ia tidak mampu memberikan persetujuan sendiri.

Meski demikian, kini ia harus menanggung semua akibatnya. Secara fisik-biologis ia hamil. Secara psikologis, deritanya jauh lebih berat. Ia mengalami trauma psikologis, stigma sosial, dan penolakan.

Berbagai studi memperlihatkan, hingga dewasa, anak-anak korban kekerasan seksual biasanya akan memiliki rasa harga diri (self-esteem) rendah, depresi, memendam perasaan bersalah, sulit mempercayai orang lain, kesepian, sulit menjaga dan membangun hubungan dengan orang lain, dan tidak memiliki minat terhadap seks.

Yang kita prihatinkan saat ini, sudah jatuh, ia ditimpa tangga pula. Dan tangga itu justru ditimpakan oleh Dinas P dan K Kabupaten Ende dengan aturan yang sangat merugikan anak. “... anak tersebut tidak bisa mengikuti UAS ...” begitu kata Kadis Agustinus Amby.

Oh ... rupanya karena anak itu hamil. Coba kalau tidak hamil, dia boleh ikut UAS. Ini diskriminatif! Melanggar hak anak atas pendidikan! Kita berharap Dinas P dan K memiliki dan menerapkan kebijakan yang melindungi anak korban kekerasan seksual.

"Bentara" FLORES POS, Kamis 3 April 2008

Tidak ada komentar: