Oleh Frans Anggal
Ketika 7 kandidat bupati dan wakil bupati Ende mulai sibuk berkampanye, 66 warga dari 7 desa di Pulau Ende terserang diare. Mereka anak-anak 1-15 tahun. Kata petugas dinkes, kasus ini muncul karena warga minum air mentah atau belum matang serta makan mangga mentah dan buah mete yang tidak dicuci terlebih dahulu. Kasus diare di Pulau Ende selalu meningkat saat kemarau.
Dari keterangan petugas dinkes ini terlihat dua masalah mendasar. Pertama, pola hidup tidak sehat. Kedua, krisis air bersih. Pola hidup yang tidak memperhatikan sanitasi menyebabkan usus rentan terhadap serangan virus diare. Sebenarnya mencegah diare sangat mudah. Caranya: menjaga kebersihan tubuh, makanan, dan minuman. Namun bagi penduduk yang kesulitan air bersih, cara mudah ini menjadi tidak mudah. Mau bersih, bersihkan pakai apa?
Sebagai orang pemerintah, petugas dinkes cenderung melihat pola hidup masyarakat sebagai biang kerok. Dengan demikian, masyarakat cenderung dipersalahkan. Minum air mentah, makan mangga mentah dan buah mete yang tidak dicuci terlebih dahulu jelas tidak higienis. Diare mudah menyerang. Benar. Tapi, jangan lupa, kebiasaan seperti itu tidak hanya di Pulau Ende. Anak-anak desa di Flores juga begitu. Tapi mengapa desa mereka tidak menjadi langganan diare seperti desa-desa di Pulau Ende?
Kalau penyebab utamanya adalah pola hidup tidak sehat, semestinya diare melanda semua desa di Ende, bahkan seantero Flores. Nyatanya tidak. Daerah endemis diare di Ende terbatas di Pulau Ende, Wewaria, Maurole, Watuneso, Maukaro, Wolowaru. Mengapa? Daerah-daerah itu sama dalam satu hal: krisis air bersih! Kalau dicek lebih jauh, daerah-daerah itu juga sama dalam hal lain yang menjadi biang kerok krisis air bersih, yaitu rendahnya perhatian pemerintah.
Krisis air bersih di Pulau Ende bukan cerita baru. Bupati berganti bupati, pulau ini belum benar-benar terbebaskan. Dulu malah lebih baik, pada masa Bupati Johanis Pake Pani dan Bupati Frans Gedowolo. Air bersih dari daratan Flores diangkut dengan sebuah kapal tanki tua. Pada masa Bupati Paulinus Domi, kapal tua itu rusak. Warga terpaksa mengadalkan sumur meski airnya asin. Pernah dibangun proyek sumur bor dengan dana miliaran rupiah, tapi ujung-ujungnya tidak ada hasil. Uang rakyat terbuang, warga Pulau Ende tetap ketiadaan air bersih sampai saat ini. Kalau diare menjadi langganan tahunan Pulau Ende, itu tidak mengejutkan. Yang mengejutkan, petaka tahunan ini tidak membuka mata pemerintah.
Menarik, kasus diare pada 7 desa di Pulau Ende terjadi ketika 7 kandidat bupati dan wakil bupati Ende mulai berkampanye. Mudah-mudahan diare masuk diary (buku harian) mereka. Masyarakat, khususnya di daerah endemik diare, sangat membutuhkan air bersih. Bulatkan tekad untuk Pulau Ende: stop jadi pulau diare!
"Bentara" FLORES POS, Senin 29 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar