Oleh Frans Anggal
Gubernur NTT Frans Lebu Raya dan Wagub Esthon Foenay (FREN) bertekad menjadikan NTT “provinsi jagung”. Dana awal sudah disiapkan Rp1 miliar. Ada optimisme, program ini bakal sukses. Selain alam NTT cocok, jagung merupakan komoditas masa depan yang prospektif. Provinsi Gorontalo saja sukses, mengapa NTT yang wilayahnya jauh lebih luas tidak bisa? Apalagi banyak pengusaha di Jakarta sudah menyatakan minatnya. Kira-kira begitulah optimisme program “menjagungkan NTT”.
Optimisme seperti ini pernah lahir puluhan tahun lalu. Pada masa Gubener El Tari, jagung diandalkan sebagai salah satu komoditas unggulan dalam program Tanam, Tanam, dan Sekali Lagi Tanam. Pada masa Gubernur Ben Mboi, jagung tetap jadi salah satu unggulan dalam program Nusa Makmur dan Nusa Hijau. Demikian pula pada masa Gubernur Hendrikus Fernandez, Herman Musa Kabe, dan Piet A Talo. Hasilnya?
Hingga saat ini NTT belum juga menjadi “provinsi jagung”. Ketika Ben Mboi memimpin, “mimpi jagung” hampir menjadi kenyataan. Demi menggenjot produktivitas, sang gubernur giat melakukan turba, memberikan penjelasan dan motivasi kepada masyarakat, juga mengontrol kerja para bupati, camat, dan kepala desa. Varietas baru pun didatangkan. Jagung Arjuna dan Jagung Harapan. Pada tahun pertama, hasilnya luar biasa. Panen melimpah di mana-mana. Sayang, hasil banyak, pasarnya tidak tersedia. Disimpan lama, varietas baru ini tidak tahan. Petani belum mengenal teknologi penyimpanan. Alhasil, jagung itu rusak tidak terjual. Petani gigit jari. Tahun berikutnya “mimpi jagung” perlahan memudar. Dan terus memudar sampai saat ini. NTT belum juga terkenal karena jagung, kecuali karena kemiskinan dan korupsi.
Kini FREN ingin membangkitkan kembali mimpi lama itu, “mimpi jagung”. Gagasannya sudah dilontarkan sejak kampanye pilgub. Kita menyambut baik program ini, asalkan dipersiapkan secara matang dan menyeluruh. Tentu perlu belajar dari kegagalan NTT masa lalu, juga dari keberhasilan provinsi lain seperti Gorontalo.
Ada beberapa permasalahan mendasar yang harus dicarikan solusinya. Pertama, lemahnya sarana permodalan serta kurangnya jiwa bisnis pada diri petani. Kedua, kurangnya pengetahuan akan teknologi budidaya dan pascapanen. Ketiga, pemasaran hasil, ini sudah sering menjadi alasan utama keragu-raguan petani. Keempat, belum terjalinnya sistem kemitraan yang berkelanjutan antara pelaku bisnis, petani, industri benih, industri pakan ternak, dll. Kelima, tidak tersedianya alat pengering (dryer) di lokasi sentra produksi sehingga rantai pemasaran menjadi panjang. Semua itu harus beres.
Mudah-mudahan FREN tidak mengulang kegagalan pendahulunya, yang cuma menghasilkan “jagung provinsi”, bukan “provinsi jagung”.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 27 September 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar