Oleh Frans Anggal
Masyarakat Sikka diresahkan dengan isu pemenggalan kepala 1.200 anak oleh orang-orang tak dikenal untuk kepentingan sumur Lapindo. Cepat atau lambat, isu serupa akan muncul di kabupaten lain di Flores-Lembata.
Sebelum sampai di Flores, isu seperti ini sudah beredar di Kalimantan awal Januari. Isu menguat ketika seorang wanita, Latifah, ditemukan dalam kondisi terpenggal kepalanya di Desa Mampai, Kecamatan Kapuas Murung, Kapuas, Kalteng. Polisi telah menangkap pelakunya. Motifnya, masalah pribadi, tidak ada kaitan dengan sumur Lapindo. Penangkapan ini sekaligus menjawab keresahan warga yang mengait-kaitkan kematian Latifah dengan isu ngayau (tumbal dengan penggal kepala) yang memang sedang merebak di masyarakat.
Isu tumbal kepala anak-anak untuk sumur Lapindo jelas merupakan kebohongan besar. Isu seperti ini sengaja diciptakan dengan tujuan tertentu. Ada dua kemungkinan, sekaligus perbedaan antara dulu dan sekarang.
Dulu, isu penggal kepala dilahirkan oleh masyarakat sendiri sebagai alat pertahanan komunitas untuk mengamankan wilayahnya dari para pengganggu keseimbangan hidup dan kearifan lokal yang sudah berlangsung dan terpelihara sekian lama. Dalam konteks ini, isu itu jangan dibaca lurus tapi harus ditafsirkan maknanya. Orang Manggarai mengenal mitos empo dehong atau gorak, orang Ende dan Flores Timur mengenal merenggele, dst.
Sekarang ini, isu penggal kepala sengaja ditebarkan untuk menciptakan saling curiga dan pada gilirannya melahirkan konflik horizontal dalam masyarakat. Pihak yang memainkan isu akan mengail di air keruh, memetik manfaat dari daerah konflik. Dalam hal ini, konflik dijadikan proyek untuk mendatangkan keuntungan baik bagi personel maupun institusi tertentu.
Belajarlah dari kasus pembunuhan dengan isu dukun santet di Banyuwangi 1998 silam. Tim Pencari Fakta DPR mencatat, sejak Januari hingga Oktober 1998 telah tewas 85 orang. Pelaku pembunuhan adalah aktor intelektual peserorangan dan terorganisir, penyandang dana, provokatur, dan eksekutor. Latar belakang penyandang dana adalah pertikaian pribadi, balas dendam, pertikaian keluarga, ataupun perebutan jabatan kepala desa. Motivasi eksekutor adalah hasutan, balas dendam, dan dibayar. Kasus pembunuhan terjadi di Banyuwangi (50 kasus), Jember (17 kasus), dan Pasuruan (18 kasus). Yang mati karena aksi massa 51 orang, karena diduga ninja 23 orang, oleh orang tidak dikenal 7 orang, tidak jelas 1 orang, dan bunuh diri 3 orang.
Kita tak mau seperti Banyuwangi. Karena itu, jangan percaya isu, jangan sebarkan isu, laporkan penebar isu kepada pihak berwajib.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 31 Januari 2008
24 Februari 2009
Jangan Bodohi Masyarakat
Oleh Frans Anggal
“Kami hidup damai di tanah kami turun-temurun. Setiap generasi mewariskan kedamaian, ketenangan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Tidak pernah ada cerita kekerasan, perpecahan, dan perselisihan yang besar. Kalau ada soal di antara kami, kami selesaikan dengan cara damai dalam suasana kekeluargaan. Tanah yang kami diami telah menghasilkan nafkah bagi kami. Generasi kami hidup dari tanah. Tanah adalah nyawa kami. Bau tanah adalah napas hidup. Kami tidak pernah menerima warisan untuk memperjualbelikan tanah kami. Saya minta kepada pihak-pihak luar agar berhenti mengganggu ketenteraman hidup kami. Biarkan kami hidup damai di atas kami sendiri.”
Kata-kata itu diucapkan Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo, yang bersama warga sukunya menolak menyerahkan tanah untuk batalyon TNI AD di Kecamatan Nagapanda, Kabupaten Ende.
Kata-kata itu mengungkapkan filosofi dan pengalaman hakiki masyarakat adat setempat dalam hubungan dengan tanah kepunyaannya. Tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan. Karena itu, sikap masyarakat menyerahkan tanah bukanlah sebentuk ketidakpahaman atau cerminan kebodohan sebagaimana dilihat sebagian elite politik di Ende selama ini. Sebaliknya, sikap menolak mereka adalah ekspresi kearifan lokal yang mereka pertahankan demi menjaga keberlangsungan hidupnya sendri kini dan generasi yang akan datang.
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal menghormati tanah sebagai ibu mereka dan karenanya mereka tidak akan memperjualbelikannya. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dengan janji jalan raya, air minum, dan listrik kalau batalyon atau korem masuk. Kesejahteraan jangka panjang dengan mengandalkan hidup di atas tanah garapan adalah pilihan mereka. Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam kepada mereka.
Lagi pula, mengapa masuknya batalyon atau korem menjadi prasyarat hadirnya jalan raya, air minum, dan listrik? Bukankah pembangunan itu tugas pemerintah daerah? Jalan raya, listrik, air minum, dan sebagainya harus ada karena dibutuhan masyarakat. Pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan itu. Jadi, tentara tak perlu menyibukkan diri dengan mengurus pembangunan bagi rakyat. Pembangunan itu tugas pemerintah daerah. Maka, beralasan kalau Rm Sipri Sadipun Pr menyatakan, “Omong kosong kalau kehadiran tentara akan berdampak pada peningkatan pembangunan.”
Sudah saatnya kita tidak terus-terusan membodohi masyarakat dengan dalih-dalih basi yang tidak bernilai lagi. Kita harus mendidik rakyat agar berpikir terbuka dan kritis dalam membaca setiap kenyataan sosial yang terus berkembang.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 30 Januari 2008
“Kami hidup damai di tanah kami turun-temurun. Setiap generasi mewariskan kedamaian, ketenangan, persaudaraan, dan kekeluargaan. Tidak pernah ada cerita kekerasan, perpecahan, dan perselisihan yang besar. Kalau ada soal di antara kami, kami selesaikan dengan cara damai dalam suasana kekeluargaan. Tanah yang kami diami telah menghasilkan nafkah bagi kami. Generasi kami hidup dari tanah. Tanah adalah nyawa kami. Bau tanah adalah napas hidup. Kami tidak pernah menerima warisan untuk memperjualbelikan tanah kami. Saya minta kepada pihak-pihak luar agar berhenti mengganggu ketenteraman hidup kami. Biarkan kami hidup damai di atas kami sendiri.”
Kata-kata itu diucapkan Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo, yang bersama warga sukunya menolak menyerahkan tanah untuk batalyon TNI AD di Kecamatan Nagapanda, Kabupaten Ende.
Kata-kata itu mengungkapkan filosofi dan pengalaman hakiki masyarakat adat setempat dalam hubungan dengan tanah kepunyaannya. Tanah adalah ibu yang memberikan kehidupan. Karena itu, sikap masyarakat menyerahkan tanah bukanlah sebentuk ketidakpahaman atau cerminan kebodohan sebagaimana dilihat sebagian elite politik di Ende selama ini. Sebaliknya, sikap menolak mereka adalah ekspresi kearifan lokal yang mereka pertahankan demi menjaga keberlangsungan hidupnya sendri kini dan generasi yang akan datang.
Masyarakat adat memiliki kearifan lokal menghormati tanah sebagai ibu mereka dan karenanya mereka tidak akan memperjualbelikannya. Mereka tidak menghendaki kesejahteraan sesaat, yang hanya diukur dengan janji jalan raya, air minum, dan listrik kalau batalyon atau korem masuk. Kesejahteraan jangka panjang dengan mengandalkan hidup di atas tanah garapan adalah pilihan mereka. Karenanya, mereka sudah merasa cukup dengan apa yang diberikan alam kepada mereka.
Lagi pula, mengapa masuknya batalyon atau korem menjadi prasyarat hadirnya jalan raya, air minum, dan listrik? Bukankah pembangunan itu tugas pemerintah daerah? Jalan raya, listrik, air minum, dan sebagainya harus ada karena dibutuhan masyarakat. Pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan itu. Jadi, tentara tak perlu menyibukkan diri dengan mengurus pembangunan bagi rakyat. Pembangunan itu tugas pemerintah daerah. Maka, beralasan kalau Rm Sipri Sadipun Pr menyatakan, “Omong kosong kalau kehadiran tentara akan berdampak pada peningkatan pembangunan.”
Sudah saatnya kita tidak terus-terusan membodohi masyarakat dengan dalih-dalih basi yang tidak bernilai lagi. Kita harus mendidik rakyat agar berpikir terbuka dan kritis dalam membaca setiap kenyataan sosial yang terus berkembang.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 30 Januari 2008
Pembelajaran bagi Bangsa
Oleh Frans Anggal
Mantan presiden Soeharto telah dimakamkan di Astana Giribangun, Solo, berdampingan dengan istrinya. Presiden kedua RI yang berkuasa 32 tahun dan meninggal dalam usia 86 tahun ini telah menjadi sosok konroversial pula.
Soeharto dipuja tapi juga dihujat. Ia dianggap pahlawan tapi juga penjahat HAM berat. Dia digelari Bapak Pembangunan tapi juga salah satu koruptor terbesar di dunia. Dia dianggap sukses hingga meraih penghargaan internasional Medali Emas FAO (21 Juli 1986) dan Penghargaan Kependudukan PBB (8 Juni 1989), tapi juga diuding gagal dalam membangun sistem yang tahan krisis.
Penilain positif umumnya datang dari kalangan akar rumput. Kalau ditanyai, kebanyakan masyarakat kecil menilai Soeharto jauh lebih baik daripada para penggantinya. Mereka umumnya bilang, tidak ada orang kecil yang susah pada saat Soeharto berkuasa. Harga tidak naik seenaknya seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Bisa dimengerti. Ketika berkuasa, Soeharto memang mampu mewujudkan sesuatu yang hilang pada masa Soekarno, sekaligus juga hilang menjelang akhir kekuasaannya, yaitu kejayaan ekonomi. Pembangunan yang meski tidak merata, swasembada pangan, pengendalian laju penduduk, stabilitas nasional, dan keutuhan NKRI merupakan keberhasilan Soeharto saat memimpin. Bagi orang-orang kecil, itu mungkin lebih penting ketimbang urusan lain yang hanya dimengerti sebagian orang.
Masyarakat sederhana mungkin tidak peduli meski tangan Soeharto bersimbah darah. Operasi militer di Timor Leste, Aceh, Papua, dan penembakan misterius adalah tanggung jawab Soeharto. Media luar negeri selalu menyoroti, Soeharto bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal yang merupakan salah satu yang terbesar pada abad 20. Hitung saja, saat dia berkuasa, 500 ribu hingga satu juta orang Indonesia dibantai tahun 1965, sebanyak 100 ribu dibunuh di Papua Barat, 100 hingga 200 ribu di Timor Timur, dan puluhan ribu di Aceh dan berbagai tempat lain. Begitu pula dengan pembungkaman media dan orang-orang kritis, serta kasus korupsinya yang hingga kini tak ada penyelesaiannya.
Itulah Soeharto, sosok penuh kontroversi. Di tengah kontroversi itu, antara yang memuja dan yang memfitnah, kita harus bisa menilainya secara objektif dan proporsional. Yang tidak bisa dimungkiri, Soeharto telah berjasa sekaligus penuh dosa. Kita tidak boleh melupakan dua hal ini sekalipun nanti kita mengampuni dia. Kita pantas selalu mengenang jasanya sambil tetap mengingat dosa-dosanya. Jasanya dikenang agar diikuti. Dosanya diingat agar dihindari. Baik jasa maupun dosanya mesti dijadikan pembelajaran bagi kita, bagi bangsa ini, terutama bagi siapa saja yang dipilih rakyat untuk menakhodai negeri ini.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 29 Januari 2008
Mantan presiden Soeharto telah dimakamkan di Astana Giribangun, Solo, berdampingan dengan istrinya. Presiden kedua RI yang berkuasa 32 tahun dan meninggal dalam usia 86 tahun ini telah menjadi sosok konroversial pula.
Soeharto dipuja tapi juga dihujat. Ia dianggap pahlawan tapi juga penjahat HAM berat. Dia digelari Bapak Pembangunan tapi juga salah satu koruptor terbesar di dunia. Dia dianggap sukses hingga meraih penghargaan internasional Medali Emas FAO (21 Juli 1986) dan Penghargaan Kependudukan PBB (8 Juni 1989), tapi juga diuding gagal dalam membangun sistem yang tahan krisis.
Penilain positif umumnya datang dari kalangan akar rumput. Kalau ditanyai, kebanyakan masyarakat kecil menilai Soeharto jauh lebih baik daripada para penggantinya. Mereka umumnya bilang, tidak ada orang kecil yang susah pada saat Soeharto berkuasa. Harga tidak naik seenaknya seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Bisa dimengerti. Ketika berkuasa, Soeharto memang mampu mewujudkan sesuatu yang hilang pada masa Soekarno, sekaligus juga hilang menjelang akhir kekuasaannya, yaitu kejayaan ekonomi. Pembangunan yang meski tidak merata, swasembada pangan, pengendalian laju penduduk, stabilitas nasional, dan keutuhan NKRI merupakan keberhasilan Soeharto saat memimpin. Bagi orang-orang kecil, itu mungkin lebih penting ketimbang urusan lain yang hanya dimengerti sebagian orang.
Masyarakat sederhana mungkin tidak peduli meski tangan Soeharto bersimbah darah. Operasi militer di Timor Leste, Aceh, Papua, dan penembakan misterius adalah tanggung jawab Soeharto. Media luar negeri selalu menyoroti, Soeharto bertanggung jawab terhadap pembunuhan massal yang merupakan salah satu yang terbesar pada abad 20. Hitung saja, saat dia berkuasa, 500 ribu hingga satu juta orang Indonesia dibantai tahun 1965, sebanyak 100 ribu dibunuh di Papua Barat, 100 hingga 200 ribu di Timor Timur, dan puluhan ribu di Aceh dan berbagai tempat lain. Begitu pula dengan pembungkaman media dan orang-orang kritis, serta kasus korupsinya yang hingga kini tak ada penyelesaiannya.
Itulah Soeharto, sosok penuh kontroversi. Di tengah kontroversi itu, antara yang memuja dan yang memfitnah, kita harus bisa menilainya secara objektif dan proporsional. Yang tidak bisa dimungkiri, Soeharto telah berjasa sekaligus penuh dosa. Kita tidak boleh melupakan dua hal ini sekalipun nanti kita mengampuni dia. Kita pantas selalu mengenang jasanya sambil tetap mengingat dosa-dosanya. Jasanya dikenang agar diikuti. Dosanya diingat agar dihindari. Baik jasa maupun dosanya mesti dijadikan pembelajaran bagi kita, bagi bangsa ini, terutama bagi siapa saja yang dipilih rakyat untuk menakhodai negeri ini.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 29 Januari 2008
Mengampuni Soeharto?
Oleh Frans Anggal
Akhirnya mantan presiden Soeharto meninggal, Minggu 27 Januari 2007, pukul 13.10 WIB. Di hari-hari sisa hidupnya, muncul perdebatan, apakah ia perlu diampuni? Pertanyaan ini sebenarnya juga pertanyaan tentang bagaimana bangsa ini seharusnya bersikap terhadap seorang mantan presiden.
Contoh menarik adalah keputusan politik Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang memberikan pengampunan (pardon) kepada pendahulunya, Presiden Richard Nixon. Nixon mengundurkan diri setelah terungkap skandal Watergate yang mengindikasikan keterlibatan langsung Nixon, seorang anggota Partai Republik, dalam sabotase politik terhadap Partai Demokrat. Nixon satu-satunya presiden AS yang mengundurkan diri ketika sedang menjabat.Pengganti Nixon, Gerald Ford, mengambil keputusan tidak populer dengan memberi pengampunan kepada Nixon. Ford mendasarkan keputusannya atas pertimbangan bahwa skandal Watergate telah memecah-belah opini Amerika, dan keluarga Nixon telah cukup menderita dengan segala tuduhan yang berkembang di masyarakat. Ford secara berani memutuskan untuk menutup babak pahit dalam sejarah Amerika.
Dalam pidato pengampunannya, Ford menegaskan: “Saya, Gerald R. Ford, Presiden Amerika Serikat, dengan menggunakan kuasa pengampunan yang diberikan kepada saya berdasarkan Artikel II, Bagian 2 Konstitusi Amerika, memberikan pengampunan penuh kepada Richard Nixon atas segala tindakannya terhadap Amerika Serikat, baik yang dia lakukan atau diduga dilakukan selama periode 20 Januari 1969 sampai 9 Agustus 1974.”
Keputusan pengampunan ini melukai karier politik Ford sendiri. Dia kalah dari Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1976, salah satunya akibat pengampunan yang diberikannya kepada Nixon. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa keputusan Ford tepat. Amerika menutup babak hitam skandal Watergate tanpa menghilangkan label Nixon sebagai pelanggar hukum.
Konon, ketika keputusan mengampuni Nixon diambil, Ford menyimpan di dompetnya surat vonis Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Burdick vs pemerintah AS tahun 1915. Vonis itu menyatakan hawa pengampunan mengindikasikan seseorang bersalah, dan penerimaan atas pengampunan mengindikasikan orang tersebut mengakui kesalahannya.
Tahun 2001, Gerald Ford mendapat anugerah “John F Kennedy Profile in Courage Award” atas keberaniannya “mengakhiri mimpi buruk bangsa Amerika dengan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan politik pribadinya”.
Pertanyaan kita, mampukah Presiden SBY mengambil keputusan seberani Gerald Ford dengan risiko akan kalah pada pilpres 2009?
"Bentara" FLORES POS, Senin 28 Januari 2008
Akhirnya mantan presiden Soeharto meninggal, Minggu 27 Januari 2007, pukul 13.10 WIB. Di hari-hari sisa hidupnya, muncul perdebatan, apakah ia perlu diampuni? Pertanyaan ini sebenarnya juga pertanyaan tentang bagaimana bangsa ini seharusnya bersikap terhadap seorang mantan presiden.
Contoh menarik adalah keputusan politik Presiden Amerika Serikat Gerald Ford yang memberikan pengampunan (pardon) kepada pendahulunya, Presiden Richard Nixon. Nixon mengundurkan diri setelah terungkap skandal Watergate yang mengindikasikan keterlibatan langsung Nixon, seorang anggota Partai Republik, dalam sabotase politik terhadap Partai Demokrat. Nixon satu-satunya presiden AS yang mengundurkan diri ketika sedang menjabat.Pengganti Nixon, Gerald Ford, mengambil keputusan tidak populer dengan memberi pengampunan kepada Nixon. Ford mendasarkan keputusannya atas pertimbangan bahwa skandal Watergate telah memecah-belah opini Amerika, dan keluarga Nixon telah cukup menderita dengan segala tuduhan yang berkembang di masyarakat. Ford secara berani memutuskan untuk menutup babak pahit dalam sejarah Amerika.
Dalam pidato pengampunannya, Ford menegaskan: “Saya, Gerald R. Ford, Presiden Amerika Serikat, dengan menggunakan kuasa pengampunan yang diberikan kepada saya berdasarkan Artikel II, Bagian 2 Konstitusi Amerika, memberikan pengampunan penuh kepada Richard Nixon atas segala tindakannya terhadap Amerika Serikat, baik yang dia lakukan atau diduga dilakukan selama periode 20 Januari 1969 sampai 9 Agustus 1974.”
Keputusan pengampunan ini melukai karier politik Ford sendiri. Dia kalah dari Jimmy Carter dalam pemilu presiden 1976, salah satunya akibat pengampunan yang diberikannya kepada Nixon. Tetapi, sejarah membuktikan bahwa keputusan Ford tepat. Amerika menutup babak hitam skandal Watergate tanpa menghilangkan label Nixon sebagai pelanggar hukum.
Konon, ketika keputusan mengampuni Nixon diambil, Ford menyimpan di dompetnya surat vonis Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus Burdick vs pemerintah AS tahun 1915. Vonis itu menyatakan hawa pengampunan mengindikasikan seseorang bersalah, dan penerimaan atas pengampunan mengindikasikan orang tersebut mengakui kesalahannya.
Tahun 2001, Gerald Ford mendapat anugerah “John F Kennedy Profile in Courage Award” atas keberaniannya “mengakhiri mimpi buruk bangsa Amerika dengan menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan politik pribadinya”.
Pertanyaan kita, mampukah Presiden SBY mengambil keputusan seberani Gerald Ford dengan risiko akan kalah pada pilpres 2009?
"Bentara" FLORES POS, Senin 28 Januari 2008
Kenapa Jembrana Bisa
Oleh Frans Anggal
DPRD Nagekeo akhirnya menetapkan perda organisasi perangkat daerah (OPD) kabupaten baru itu terdiri dari 9 dinas, 5 badan, 3 kantor, 2 asisten, 8 bagian, 1 satuan polisi pamongpraja, dan 1 RSUD tipe C. Penjabat Bupati Elias Djo tampak agak pesimistis dengan struktur cukup ramping ini. Ia mewanti-wanti pelayanan publik akan sulit karena sebagain besar OPD memikul kelebihan fungsi. Sebaliknya Ketua DPRD Paulinus Nuwa Veto optimistis. “Saya yakin bisa ditangani dengan baik. Kenapa Jembrana bisa, sementara kita tidak bisa.”
Kita patut mengucapkan profisiat kepada pemerintah dan DPRD Nagekeo atas langkah merampingkan OPD. Struktur lama berdasarkan persetujuan Mendagri terdiri atas 10 dinas, 3 badan, 4 kantor, 2 asisten, dan 6 bagian. Rancangan struktur baru menghendaki 12 dinas, 7 badan, 3 kantor, 3 asisten, dan 9 bagian. Tapi akhirnya yang disetujui DPRD dan ditetapkan dalam perda adalah 9 dinas, 5 badan, 3 kantor, 2 asisten, 8 bagian, 1 satuan polisi pamongpraja, dan 1 RSUD tipe C.
Sebagai daerah otonom baru mekaran dari Ngada, Kabupaten Nagekeo telah memancangkan tonggak penting. Ia melakukan reformasi birokrasi dengan langkah awal perampingan kelembagaan. Kabupaten ini mengimplementasikan PP 41/2007 yang diharapkan menghasilkan “birokrasi kaya fungsi miskin struktur”.
DPRD Nagekeo menilai perampingan sebagai pilihan tepat. Memangkas struktur gemuk dapat menghemat anggaran. Dengan demikian, anggaran belanja publik bisa dinaikkan, yang selama ini persentasenya selalu jauh di bawah pos belanja aparatur. Sejalan dengan ini, rasio anggaran dalam APBD akan mereka balikkan, 60 persen untuk belanja publik, 40 persen untuk belanja aparatur.
Harus diakui, salah satu agenda reformasi 1998 yang terpinggirkan adalah reformasi birokrasi. Ini penyakit menjalar dari pusat hingga daerah. Bukan rahasia lagi, birokrasi di negeri ini identik dengan kelembagaan gemuk, tidak akuntabel, sarat KKN, pegawai negeri sipilnya tidak profesional, etos kerja aparaturnya rendah. Akibatnya, kualitas layanan publik sangat buruk.
Dengan reformasi birokrasi, diharapkan segera lahir pemerintah yang bersih dan bebas KKN (clean government) serta tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance). Nagekeo telah mengawalinya dengan perampingan kelembagaan. Tak ada alasan untuk pesimistis karena negeri ini telah memiliki beberapa contoh keberhasilan (best practices). Tengok dan belajarlah dari Kabupaten Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Solok, Kota Balikpapan, dan beberapa kabupaten/kota lain.
Karena itu, kita mendukung optimisme Ketua DPRD Ngada: “Kenapa Jembrana bisa, sementara kita tidak bisa.”
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 26 Januari 2008
DPRD Nagekeo akhirnya menetapkan perda organisasi perangkat daerah (OPD) kabupaten baru itu terdiri dari 9 dinas, 5 badan, 3 kantor, 2 asisten, 8 bagian, 1 satuan polisi pamongpraja, dan 1 RSUD tipe C. Penjabat Bupati Elias Djo tampak agak pesimistis dengan struktur cukup ramping ini. Ia mewanti-wanti pelayanan publik akan sulit karena sebagain besar OPD memikul kelebihan fungsi. Sebaliknya Ketua DPRD Paulinus Nuwa Veto optimistis. “Saya yakin bisa ditangani dengan baik. Kenapa Jembrana bisa, sementara kita tidak bisa.”
Kita patut mengucapkan profisiat kepada pemerintah dan DPRD Nagekeo atas langkah merampingkan OPD. Struktur lama berdasarkan persetujuan Mendagri terdiri atas 10 dinas, 3 badan, 4 kantor, 2 asisten, dan 6 bagian. Rancangan struktur baru menghendaki 12 dinas, 7 badan, 3 kantor, 3 asisten, dan 9 bagian. Tapi akhirnya yang disetujui DPRD dan ditetapkan dalam perda adalah 9 dinas, 5 badan, 3 kantor, 2 asisten, 8 bagian, 1 satuan polisi pamongpraja, dan 1 RSUD tipe C.
Sebagai daerah otonom baru mekaran dari Ngada, Kabupaten Nagekeo telah memancangkan tonggak penting. Ia melakukan reformasi birokrasi dengan langkah awal perampingan kelembagaan. Kabupaten ini mengimplementasikan PP 41/2007 yang diharapkan menghasilkan “birokrasi kaya fungsi miskin struktur”.
DPRD Nagekeo menilai perampingan sebagai pilihan tepat. Memangkas struktur gemuk dapat menghemat anggaran. Dengan demikian, anggaran belanja publik bisa dinaikkan, yang selama ini persentasenya selalu jauh di bawah pos belanja aparatur. Sejalan dengan ini, rasio anggaran dalam APBD akan mereka balikkan, 60 persen untuk belanja publik, 40 persen untuk belanja aparatur.
Harus diakui, salah satu agenda reformasi 1998 yang terpinggirkan adalah reformasi birokrasi. Ini penyakit menjalar dari pusat hingga daerah. Bukan rahasia lagi, birokrasi di negeri ini identik dengan kelembagaan gemuk, tidak akuntabel, sarat KKN, pegawai negeri sipilnya tidak profesional, etos kerja aparaturnya rendah. Akibatnya, kualitas layanan publik sangat buruk.
Dengan reformasi birokrasi, diharapkan segera lahir pemerintah yang bersih dan bebas KKN (clean government) serta tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance). Nagekeo telah mengawalinya dengan perampingan kelembagaan. Tak ada alasan untuk pesimistis karena negeri ini telah memiliki beberapa contoh keberhasilan (best practices). Tengok dan belajarlah dari Kabupaten Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Solok, Kota Balikpapan, dan beberapa kabupaten/kota lain.
Karena itu, kita mendukung optimisme Ketua DPRD Ngada: “Kenapa Jembrana bisa, sementara kita tidak bisa.”
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 26 Januari 2008
Kita Tidak Serius
Oleh Frans Anggal
Enam balita di Kabupaten Sikka menderita busung lapar dan marasmus. Kasus ini ditemukan saat petugas kesehatan menimbang bayi pada Januari. Dari 25.565 yang ditimbang, 64 menderita busung lapar, 2 marasmus, 417 gizi buruk, 8.289 gizi kurang, dan 16.816 gizi baik. Terhadap yang busung lapar dan marasmus, dinas kesehatan tengah melakukan program pemberian makanan tambahan (PMT) dan makanan pendamping sir susu ibu (MP-ASI). PMT berupa makanan lokal seperti kacang hijau, ikan, dll. Sedangkan MP-ASI berupa paket makanan siap santap yang didrop dari pusat.
Kasus Sikka ini seakan mengembalikan kita pada mimpi buruk NTT tahun 2005. Kala itu, sepanjang Januari-Desember, jumlah kasus gizi buruk mencapai 13.969 dari total balita 477.829. Dari kasus ini, 58 balita meninggal.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk. Faktor-fakor itu saling berkait. Secara langsung, pertama, anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama. Kedua, anak menderita penyakit infeksi. Pada anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh karena gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi.
Secara tidak langsung, penyebab terjadinya gizi buruk adalah tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik, dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas.
Akar masalahnya berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan kemiskinan keluarga. Khusus di NTT, ada kaitannya juga dengan faktor sosial budaya dan ketidaktahuan, rendahnya daya beli, tingginya penyakit infeksi, serta kekeringan yang berkepanjangan.
Mengatasinya tidak mudah. Apa yang dilakukan dinas kesehatan di Sikka saat ini merupakan langkah jangka pendek untuk tanggap darurat. Itu saja tentu tidaklah cukup kalau inginkan kasus yang sama tidak berulang. Diperlukan aksi jangka menengah dan panjang. Aksi jangka menengah meliputi revitalisasi posyandu, revitalisasi puskesmas, dan revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sedangkan aksi jangka panjang meliputi pengintegrasikan program perbaikan gizi dan ketahanan pangan ke dalam program penanggulangan kemiskinan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan pendidikan terutama pendidikan wanita, dan pemberdayaan keluarga akan perilaku sadar gizi.
Langkah-langkah ini sudah dikenal dan biasanya menghangat setiap kali kasus gizi buruk muncul. Sayangnya, begitu kasus mereda, berangsur-angsur pula komitmen, kesungguhan bekerja, dan kontrol menjadi kendur. Jadi, ini salah satu penyebabnya: kita tidak serius.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 25 Januari 2008
Enam balita di Kabupaten Sikka menderita busung lapar dan marasmus. Kasus ini ditemukan saat petugas kesehatan menimbang bayi pada Januari. Dari 25.565 yang ditimbang, 64 menderita busung lapar, 2 marasmus, 417 gizi buruk, 8.289 gizi kurang, dan 16.816 gizi baik. Terhadap yang busung lapar dan marasmus, dinas kesehatan tengah melakukan program pemberian makanan tambahan (PMT) dan makanan pendamping sir susu ibu (MP-ASI). PMT berupa makanan lokal seperti kacang hijau, ikan, dll. Sedangkan MP-ASI berupa paket makanan siap santap yang didrop dari pusat.
Kasus Sikka ini seakan mengembalikan kita pada mimpi buruk NTT tahun 2005. Kala itu, sepanjang Januari-Desember, jumlah kasus gizi buruk mencapai 13.969 dari total balita 477.829. Dari kasus ini, 58 balita meninggal.
Banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gizi buruk. Faktor-fakor itu saling berkait. Secara langsung, pertama, anak kurang mendapat asupan gizi seimbang dalam waktu cukup lama. Kedua, anak menderita penyakit infeksi. Pada anak yang sakit, asupan zat gizi tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh tubuh karena gangguan penyerapan akibat penyakit infeksi.
Secara tidak langsung, penyebab terjadinya gizi buruk adalah tidak cukupnya persediaan pangan di rumah tangga, pola asuh kurang memadai, sanitasi/kesehatan lingkungan yang kurang baik, dan akses pelayanan kesehatan yang terbatas.
Akar masalahnya berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan kemiskinan keluarga. Khusus di NTT, ada kaitannya juga dengan faktor sosial budaya dan ketidaktahuan, rendahnya daya beli, tingginya penyakit infeksi, serta kekeringan yang berkepanjangan.
Mengatasinya tidak mudah. Apa yang dilakukan dinas kesehatan di Sikka saat ini merupakan langkah jangka pendek untuk tanggap darurat. Itu saja tentu tidaklah cukup kalau inginkan kasus yang sama tidak berulang. Diperlukan aksi jangka menengah dan panjang. Aksi jangka menengah meliputi revitalisasi posyandu, revitalisasi puskesmas, dan revitalisasi sistem kewaspadaan pangan dan gizi. Sedangkan aksi jangka panjang meliputi pengintegrasikan program perbaikan gizi dan ketahanan pangan ke dalam program penanggulangan kemiskinan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan pendidikan terutama pendidikan wanita, dan pemberdayaan keluarga akan perilaku sadar gizi.
Langkah-langkah ini sudah dikenal dan biasanya menghangat setiap kali kasus gizi buruk muncul. Sayangnya, begitu kasus mereda, berangsur-angsur pula komitmen, kesungguhan bekerja, dan kontrol menjadi kendur. Jadi, ini salah satu penyebabnya: kita tidak serius.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 25 Januari 2008
Mogok di RSUD Lewoleba
Oleh Frans Anggal
Personel paramedis dan nonmedis RSUD Lewoleba mogok kerja selama empat jam. Mereka menuntut dana jasa pelayanan sembilan bulan segera dibayar. Aksi ini menyebabkan pasien diterlantarkan. “Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien”, kata seorang keluarga pasien. Direktur RSUD, Maryono, menyesalkan cara yang ditempuh stafnya. “Lain kali jangan begini lagi. Utus saja beberapa orang datang untuk sampaikan. Jangan semua. Kasihan pasien harus menunggu.”
Sikap menuntut hak itu benar. Namun cara yang ditempuh salah. Pasien diterlantarkan. Cara seperti ini menunjukkan tak adanya tanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada pasien. Penelantaran bisa menimbulkan hal-hal yang berakibat buruk terhadap keselamatan dan kesehatan pasien. Terlebih pada pasien dengan keadaan yang kurang baik, yang membutuhkan pemantauan dan perawatan intensif.
Yang kurang disadari, pasien adalah konsumen kesehatan yang memiliki hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan. Hak ini menuntut petugas kesehatan sebagai pemberi jasa layanan memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan bertanggung jawab.
Hal inilah yang telah disepelekan oleh personel paramedis dan nonmedis RSUD Lewoleba. Cara yang mereka tempuh telah mengabaikan kewajiban rumah sakit terhadap pasien. Padahal, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi) menegaskan, rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen memiliki hak yang harus dihormati oleh pemberi jasa layanan kesehatan. Masyarakat konsumen kesehatan berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan demikian, masyarakat konsumen kesehatan dilindungi dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran.
Jauh sebelum UU Perlindungan Konsumen, telah berlaku UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang mengatur mengenai hak-hak pasien. Pasal 14 UU tersebut mengamanatkan, setiap orang berhak mendapatkan kesehatan optimal. Bagaimana mungkin kesehatan optimal bakal diperoleh masyarakat konsumen kalau mereka diterlantarkan gara-gara personel rumah sakit mogok kerja?
Mogok kerja di RSUD Lewoleba patut disesalkan. Aksi menuntut hak sampai menelantarkan pasien merupakan contoh terbaik tentang pelayanan terburuk sebuah rumah sakit. Cara seperti ini tidak dapat dibenarkan, dan karena itu sangat tidak pantas untuk ditiru.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 24 Januari 2008
Personel paramedis dan nonmedis RSUD Lewoleba mogok kerja selama empat jam. Mereka menuntut dana jasa pelayanan sembilan bulan segera dibayar. Aksi ini menyebabkan pasien diterlantarkan. “Pasien menunggu terlalu lama. Kalau mau urus kewajiban, atur yang baik, jangan begini caranya, menelantarkan pasien”, kata seorang keluarga pasien. Direktur RSUD, Maryono, menyesalkan cara yang ditempuh stafnya. “Lain kali jangan begini lagi. Utus saja beberapa orang datang untuk sampaikan. Jangan semua. Kasihan pasien harus menunggu.”
Sikap menuntut hak itu benar. Namun cara yang ditempuh salah. Pasien diterlantarkan. Cara seperti ini menunjukkan tak adanya tanggung jawab memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada pasien. Penelantaran bisa menimbulkan hal-hal yang berakibat buruk terhadap keselamatan dan kesehatan pasien. Terlebih pada pasien dengan keadaan yang kurang baik, yang membutuhkan pemantauan dan perawatan intensif.
Yang kurang disadari, pasien adalah konsumen kesehatan yang memiliki hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan dalam pelayanan kesehatan. Hak ini menuntut petugas kesehatan sebagai pemberi jasa layanan memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan bertanggung jawab.
Hal inilah yang telah disepelekan oleh personel paramedis dan nonmedis RSUD Lewoleba. Cara yang mereka tempuh telah mengabaikan kewajiban rumah sakit terhadap pasien. Padahal, Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (Koderasi) menegaskan, rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen memiliki hak yang harus dihormati oleh pemberi jasa layanan kesehatan. Masyarakat konsumen kesehatan berhak atas keselamatan, keamanan, dan kenyamanan dalam pelayanan jasa kesehatan yang diterima. Dengan demikian, masyarakat konsumen kesehatan dilindungi dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggung jawab seperti penelantaran.
Jauh sebelum UU Perlindungan Konsumen, telah berlaku UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang mengatur mengenai hak-hak pasien. Pasal 14 UU tersebut mengamanatkan, setiap orang berhak mendapatkan kesehatan optimal. Bagaimana mungkin kesehatan optimal bakal diperoleh masyarakat konsumen kalau mereka diterlantarkan gara-gara personel rumah sakit mogok kerja?
Mogok kerja di RSUD Lewoleba patut disesalkan. Aksi menuntut hak sampai menelantarkan pasien merupakan contoh terbaik tentang pelayanan terburuk sebuah rumah sakit. Cara seperti ini tidak dapat dibenarkan, dan karena itu sangat tidak pantas untuk ditiru.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 24 Januari 2008
Seperti Bangsa Keledai
Oleh Frans Anggal
Dua minggu stok minyak tanah habis pada beberapa tempat penjualan di kota Ende. Kata penjual, mereka tidak mendapat pasokan dari agen. Kata agen, jatah yang diberikan Pertamina terbatas sehingga sulit memenuhi semua permintaan pengecer. Namun kata Pertamina, stok melimpah dan cukup untuk kebutuhan 35 hari. Karena tak ada keluhan dari agen, Pertamina beranggapan pasokan sudah memadai sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kata agen, kalau mereka tahu Pertamina mengizinkan penambahan jatah, tentu mereka akan minta tambah. Yang mereka tahu, secara nasional ada kebijakan pengurangan kuota minyak tanah dalam rangka konversi ke penggunaan bahan bakar gas (elpiji). Ini yang menyebabkan mereka tidak meminta panambahan jatah.
Tampak, yang terjadi di Ende bukan berkurangnya stok, tapi miskomunikasi antara Pertamina dan agen yang mengakibatkan minyak tanah menjadi langka. Di tingkat konsumen pun terjadi apa yang dinamakan “panic buying” atau ‘kepanikan memborong’ ketika mengetahui adanya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Jadi, kelangkaan terjadi bukan karena pasokan berkurang, tapi karena pembelian meningkat akibat “panic buying” itu.
Ende dan NTT umumnya adalah wilayah nonkonversi. Wilayah ini belum dimasukkan dalam kawasan konversi minyak tanah ke elpiji. Karena itu, jatah minyak tanahnya tidak berkurang. Lalu, adakah sebab lain sampai terjadi kelangkaan? Bisa saja ini akibat ulah para spekulan sebagaimana terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia. Para spekulan membeli minyak tanah di wilayah nonkonversi, lantas menjualnya ke kawasan konversi.
Untuk mengatasi dampak buruk yang selalu merugikan konsumen ini, semestinya pemerintah memperketat pengawasan, terutama ketika kebijakan baru konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji mulai diterapkan. Ini yang selalu kurang di negeri ini. Aturan banyak, tapi pengawasan lemah, karena tidak adanya perencanaan yang bersifat komprehensif.
Pemerintah sendiri berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kiloliter minyak tanah ke penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kiloliter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tidak menurun. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi ke elpiji ini terkesan mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Diperparah oleh kurangnya pengawasan, masalah dalam pelaksanaan pun muncul seakan tiada henti. Kesalahan yang sama selalu saja kita ulang. Kita seperti bangsa keledai: selalu terantuk pada batu yang sama.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 23 Januari 2008
Dua minggu stok minyak tanah habis pada beberapa tempat penjualan di kota Ende. Kata penjual, mereka tidak mendapat pasokan dari agen. Kata agen, jatah yang diberikan Pertamina terbatas sehingga sulit memenuhi semua permintaan pengecer. Namun kata Pertamina, stok melimpah dan cukup untuk kebutuhan 35 hari. Karena tak ada keluhan dari agen, Pertamina beranggapan pasokan sudah memadai sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kata agen, kalau mereka tahu Pertamina mengizinkan penambahan jatah, tentu mereka akan minta tambah. Yang mereka tahu, secara nasional ada kebijakan pengurangan kuota minyak tanah dalam rangka konversi ke penggunaan bahan bakar gas (elpiji). Ini yang menyebabkan mereka tidak meminta panambahan jatah.
Tampak, yang terjadi di Ende bukan berkurangnya stok, tapi miskomunikasi antara Pertamina dan agen yang mengakibatkan minyak tanah menjadi langka. Di tingkat konsumen pun terjadi apa yang dinamakan “panic buying” atau ‘kepanikan memborong’ ketika mengetahui adanya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji. Jadi, kelangkaan terjadi bukan karena pasokan berkurang, tapi karena pembelian meningkat akibat “panic buying” itu.
Ende dan NTT umumnya adalah wilayah nonkonversi. Wilayah ini belum dimasukkan dalam kawasan konversi minyak tanah ke elpiji. Karena itu, jatah minyak tanahnya tidak berkurang. Lalu, adakah sebab lain sampai terjadi kelangkaan? Bisa saja ini akibat ulah para spekulan sebagaimana terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia. Para spekulan membeli minyak tanah di wilayah nonkonversi, lantas menjualnya ke kawasan konversi.
Untuk mengatasi dampak buruk yang selalu merugikan konsumen ini, semestinya pemerintah memperketat pengawasan, terutama ketika kebijakan baru konversi penggunaan minyak tanah ke elpiji mulai diterapkan. Ini yang selalu kurang di negeri ini. Aturan banyak, tapi pengawasan lemah, karena tidak adanya perencanaan yang bersifat komprehensif.
Pemerintah sendiri berencana mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kiloliter minyak tanah ke penggunaan 3,5 juta ton elpiji hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kiloliter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tidak menurun. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi ke elpiji ini terkesan mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Diperparah oleh kurangnya pengawasan, masalah dalam pelaksanaan pun muncul seakan tiada henti. Kesalahan yang sama selalu saja kita ulang. Kita seperti bangsa keledai: selalu terantuk pada batu yang sama.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 23 Januari 2008
Dukung DPRD Nagekeo
Oleh Frans Anggal
DPRD Nagekeo menghendaki struktur birokrasi di kabupaten itu ramping. Anjuran ini berkenaan dengan rancangan struktur satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Nagekeo yang baru yang dinilai lebih gemuk dibandingkan dengan struktur lama. Struktur lama berdasarkan persetujuan Mendagri terdiri atas 10 dinas, 3 badan, 4 kantor, 2 asisten, dan 6 bagian. Sementara rancangan strutur baru menghendaki 12 dinas, 7 badan, 3 kantor, 3 asisten, dan 9 bagian.
Menurut DPRD, memangkas struktur gemuk dapat menghemat anggaran. Dengan penghematan itu, anggaran belanja publik bisa dinaikkan, yang selama ini persentasenya selalu jauh di bawah pos belanja aparatur. Sejalan dengan ini, rasio anggaran dalam APBD juga perlu dibalik, 60 persen untuk belanja publik, 40 persen untuk belanja aparatur.
Anjuran DPRD Nagekeo sangat rasional. Dasarnya adalah filosofi “hemat struktur, kaya fungsi” yang sudah menjadi jargon di republik ini namun belum mewujud nyata dalam reformasi birokrasi. Jangankan di daerah, di tingkat pemerintah pusat pun perubahan belum kelihatan. Ini yang menyebabkan potret birokrasi kita sungguh tidak indah. Birokrasi tampak seperti dinosaurus, yang meraksasa, banyak makan, memangsa, tidak cerdik, lamban, dan sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan habitat karena zaman sudah berubah.
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir saja, organisasi pemerintah pusat berkembang menjadi raksasa. Hampir semua departemen, kementerian, dan lembaga pemerintah menjadi besar seperti di Departemen Dalam Negeri, Luar Negeri, dan Keuangan. Ada juga departemen yang melahirkan lembaga baru. Yang dulu satu direktorat jenderal, satu unit kerja eselon I, misalnya Agraria di Departemen Dalam Negeri, telah menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki banyak deputi/unit kerja eselon I.
Tidak hanya itu. Jumlah direktur/unit kerja eselon II pun bertambah. Dari hanya beberapa menjadi berpuluh. Begitu juga yang mengurus BUMN, yang semula hanya satu direktorat di Departemen Keuangan menjadi kementerian. Contoh lain, perumahan yang semula diurus satu direktorat di Departemen Pekerjaan Umum, sekarang diurus satu kementerian, dan masih banyak contoh lain. Bagaimana kinerjanya, apakah juga meningkat? Apakah organisasi besar tidak memakan anggaran besar sehingga mengurangi jatah belanja publik yang semestinya mendapat porsi lebih besar?
Jawaban atas pertanyaan itu sudah jelas dan sudah diperlihatkan DPRD Nagekeo dalam konteks birokrasi daerah. Karena itu, kita mendukung langkah mereka. Sudah saatnya reformasi birokrasi dimulai, bermula dari struktur yang ramping, untuk kemudian masuk ke reformasi peraturan formal tertulis, serta norma, budaya, dan etika yang merupakan ketentuan tak tertulis namun dipraktikkan.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 22 Januari 2008
DPRD Nagekeo menghendaki struktur birokrasi di kabupaten itu ramping. Anjuran ini berkenaan dengan rancangan struktur satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Nagekeo yang baru yang dinilai lebih gemuk dibandingkan dengan struktur lama. Struktur lama berdasarkan persetujuan Mendagri terdiri atas 10 dinas, 3 badan, 4 kantor, 2 asisten, dan 6 bagian. Sementara rancangan strutur baru menghendaki 12 dinas, 7 badan, 3 kantor, 3 asisten, dan 9 bagian.
Menurut DPRD, memangkas struktur gemuk dapat menghemat anggaran. Dengan penghematan itu, anggaran belanja publik bisa dinaikkan, yang selama ini persentasenya selalu jauh di bawah pos belanja aparatur. Sejalan dengan ini, rasio anggaran dalam APBD juga perlu dibalik, 60 persen untuk belanja publik, 40 persen untuk belanja aparatur.
Anjuran DPRD Nagekeo sangat rasional. Dasarnya adalah filosofi “hemat struktur, kaya fungsi” yang sudah menjadi jargon di republik ini namun belum mewujud nyata dalam reformasi birokrasi. Jangankan di daerah, di tingkat pemerintah pusat pun perubahan belum kelihatan. Ini yang menyebabkan potret birokrasi kita sungguh tidak indah. Birokrasi tampak seperti dinosaurus, yang meraksasa, banyak makan, memangsa, tidak cerdik, lamban, dan sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan habitat karena zaman sudah berubah.
Dalam kurun waktu 25 tahun terakhir saja, organisasi pemerintah pusat berkembang menjadi raksasa. Hampir semua departemen, kementerian, dan lembaga pemerintah menjadi besar seperti di Departemen Dalam Negeri, Luar Negeri, dan Keuangan. Ada juga departemen yang melahirkan lembaga baru. Yang dulu satu direktorat jenderal, satu unit kerja eselon I, misalnya Agraria di Departemen Dalam Negeri, telah menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memiliki banyak deputi/unit kerja eselon I.
Tidak hanya itu. Jumlah direktur/unit kerja eselon II pun bertambah. Dari hanya beberapa menjadi berpuluh. Begitu juga yang mengurus BUMN, yang semula hanya satu direktorat di Departemen Keuangan menjadi kementerian. Contoh lain, perumahan yang semula diurus satu direktorat di Departemen Pekerjaan Umum, sekarang diurus satu kementerian, dan masih banyak contoh lain. Bagaimana kinerjanya, apakah juga meningkat? Apakah organisasi besar tidak memakan anggaran besar sehingga mengurangi jatah belanja publik yang semestinya mendapat porsi lebih besar?
Jawaban atas pertanyaan itu sudah jelas dan sudah diperlihatkan DPRD Nagekeo dalam konteks birokrasi daerah. Karena itu, kita mendukung langkah mereka. Sudah saatnya reformasi birokrasi dimulai, bermula dari struktur yang ramping, untuk kemudian masuk ke reformasi peraturan formal tertulis, serta norma, budaya, dan etika yang merupakan ketentuan tak tertulis namun dipraktikkan.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 22 Januari 2008
Bukan Karena Bodoh
Oleh Frans Anggal
Mahasiswa kota Ende yang tergabung dalam Barisan Gerakan Demokrasi (Brigade) berunjuk rasa menolak rencana militer membangun korem/batalyon di Flores, Lembata, dan Sumba. Menurut mereka, masyarakat lebih membutuhkan pendidikan, kesehatan, dan kesejahtaraan, bukan korem atau batalyon. “Pendidikan dan kesehatan gratis serta ketahanan pangan adalah benteng kokoh kedauatan rakyat,” tulis mereka pada spanduk.
Apa yang disuarakan para mahasiswa sesungguhnya sudah lama menjadi kesadaran masyarakat Flores-Lembata, sejak mereka menolak pemindahan Korem dari Dili ke Flores pasca-jajak pendapat 1999. Masyarakat pulau ini sudah semakin cerdas dan berani menyuarakan apa yang mereka butuhkan. Mereka tak membutuhkan tentara. Mereka membutuhkan pendidikan dan kesehatan serta ketahanan pangan yang kukuh. Untuk memenuhinya, tak perlu pakai tentara. Sementara itu, dari banyak pengalaman pada banyak tempat di negeri ini, kehadiran tentara dalam jumlah yang besar justru membuat kehidupan masyarakat tidak aman. Aceh dan Papua telah bercerita banyak.
Kita harus jujur mengakui kenyataan ini. Dalam cakupan lebih luas, sejarah dunia membuktikan pula bahwa bangsa yang mampu adalah bangsa yang tradisi sipilnya kuat. Amerika Serikat beruntung punya seorang pemimpin militer pertama yang menjadi presiden, George Washington, yang kemudian dengan sukarela menolak dicalonkan kembali demi memulai tradisi kepemimpinan sipil. Bandingkan dengan Mexico yang lama sekali didominasi oleh militer. Dalam waktu singkat, Mexico yang awalnya lebih maju daripada Amerika Serikat, akhirnya mundur menjadi salah satu negara dunia ketiga, gara-gara dipimpin para jenderal.
Indonesia awalnya bagus, didirikan dengan kekuatan diplomatik, bukan kekuatan bersenjata. Kekuatan bersenjata hanyalah simbol, sedangkan letak kekuatan sebenarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi opini dunia, sehingga dengan cepat Indonesia mendapat pengakuan. Kita harus jujur mengakui, yang mengusir Belanda dari Indoesnia bukan bedil tapi mulut Soekarno, juga kerja keras diplomasi Syahrir, Hatta, dan para politisi lainnya. Atau, yang mengusir Indonesia dari Timtim bukan senjata tapi keunggulan diplomasi Ramos Horta dkk. Kemampuan setara dimiliki Ali Alatas menlu RI kala itu yang cemerlang berbicara di forum internasional. Tapi? Semua perjuangan diplomasi tingkat tinggi dan gigih itu hancur berantakan karena pelanggaran HAM yang dilakukan militer.
Orang Flores tahu apa yang sangat mereka butuhkan dan apa pula yang pantas mereka cemaskan. Jadi, kalau mereka menyatakan menolak korem atau batalyon, itu bukan karena mereka bodoh. Mereka hanya inginkan hidup sejahtera, aman, dan damai.
"Bentara" FLORES POS, Senin 21 Januari 2008
Mahasiswa kota Ende yang tergabung dalam Barisan Gerakan Demokrasi (Brigade) berunjuk rasa menolak rencana militer membangun korem/batalyon di Flores, Lembata, dan Sumba. Menurut mereka, masyarakat lebih membutuhkan pendidikan, kesehatan, dan kesejahtaraan, bukan korem atau batalyon. “Pendidikan dan kesehatan gratis serta ketahanan pangan adalah benteng kokoh kedauatan rakyat,” tulis mereka pada spanduk.
Apa yang disuarakan para mahasiswa sesungguhnya sudah lama menjadi kesadaran masyarakat Flores-Lembata, sejak mereka menolak pemindahan Korem dari Dili ke Flores pasca-jajak pendapat 1999. Masyarakat pulau ini sudah semakin cerdas dan berani menyuarakan apa yang mereka butuhkan. Mereka tak membutuhkan tentara. Mereka membutuhkan pendidikan dan kesehatan serta ketahanan pangan yang kukuh. Untuk memenuhinya, tak perlu pakai tentara. Sementara itu, dari banyak pengalaman pada banyak tempat di negeri ini, kehadiran tentara dalam jumlah yang besar justru membuat kehidupan masyarakat tidak aman. Aceh dan Papua telah bercerita banyak.
Kita harus jujur mengakui kenyataan ini. Dalam cakupan lebih luas, sejarah dunia membuktikan pula bahwa bangsa yang mampu adalah bangsa yang tradisi sipilnya kuat. Amerika Serikat beruntung punya seorang pemimpin militer pertama yang menjadi presiden, George Washington, yang kemudian dengan sukarela menolak dicalonkan kembali demi memulai tradisi kepemimpinan sipil. Bandingkan dengan Mexico yang lama sekali didominasi oleh militer. Dalam waktu singkat, Mexico yang awalnya lebih maju daripada Amerika Serikat, akhirnya mundur menjadi salah satu negara dunia ketiga, gara-gara dipimpin para jenderal.
Indonesia awalnya bagus, didirikan dengan kekuatan diplomatik, bukan kekuatan bersenjata. Kekuatan bersenjata hanyalah simbol, sedangkan letak kekuatan sebenarnya adalah kemampuan untuk mempengaruhi opini dunia, sehingga dengan cepat Indonesia mendapat pengakuan. Kita harus jujur mengakui, yang mengusir Belanda dari Indoesnia bukan bedil tapi mulut Soekarno, juga kerja keras diplomasi Syahrir, Hatta, dan para politisi lainnya. Atau, yang mengusir Indonesia dari Timtim bukan senjata tapi keunggulan diplomasi Ramos Horta dkk. Kemampuan setara dimiliki Ali Alatas menlu RI kala itu yang cemerlang berbicara di forum internasional. Tapi? Semua perjuangan diplomasi tingkat tinggi dan gigih itu hancur berantakan karena pelanggaran HAM yang dilakukan militer.
Orang Flores tahu apa yang sangat mereka butuhkan dan apa pula yang pantas mereka cemaskan. Jadi, kalau mereka menyatakan menolak korem atau batalyon, itu bukan karena mereka bodoh. Mereka hanya inginkan hidup sejahtera, aman, dan damai.
"Bentara" FLORES POS, Senin 21 Januari 2008
Trestel Dermaga Lewoleba
Oleh Frans Anggal
Trestel dermaga Lewoleba rusak berat. Lubangnya menganga 1 x 4 meter, hampir putus. Kegiatan bongkar muat di dermaga lama ini pernah direncanakan dialihkan sementara ke pelabuhan baru. Rencana ini dibatalkan karena hanya akan memacetkan lalu lintas penumpang dan kegiatan bongkar muat barang. Akhirnya, dermaga lama dan rusak ini tetap digunakan, penuh waswas. Agar kendaraan bisa lewat, di atas lubang dibantang balok. Sampai kapan canda dengan maut ini berakhir, entahlah. Bupati menjanjikan anggaran pengembangan pelabuhan dalam Perubahan APBD 2008. Itu berarti, tunggu dulu, tidak ada tindakan emergensi.
Cerita tentang trestel dermaga Lewoleba yang jebol adalah juga cerita tentang pilihan kebijakan seorang kepala daerah. Banyak kepala daerah gagal menentukan skala prioritas. Gagal, karena skala prioritas tidak mereka letakkan dalam bingkai kepentingan umum yang mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang, khsusunya para jelata.
Dermaga adalah sarana vital pelabuhan laut, tempat orang kebanyakan datang dan pergi, tempat komoditas masyarakat dibongkar dan dimuat. Angkutan laut adalah jasa yang paling banyak digunakan masyarakat biasa setelah angkutan darat. Karena itu, demi penyejahteraan masyarakat, semestinya infratsruktur jalan darat dan pelabuhan laut diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya bila sudah dalam keadaan sangat menggangu kepentingan umum.
Trestel dermaga Lewoleba yang berlubang 1 x 4 meter tidak hanya mengganggu kepentingan umum, tapi juga mengancam keselamatan penumpang dan kegiatan bongkar muat. Kerusakan ini membutuhkan penanganan emergensi. Ini yang tidak dilakukan pemangku kebijakan di Lembata. Mengapa? Mungkin karena keadaan ini tidak mengganggu kepentingan pribadi sang petinggi. Ke luar pulau, mereka naik pesawat, bukan naik kapal laut. Dermaga mau lubang atau runtuh, perjalanan mereka tetap tidak terganggu. Karena itu, buat apa buru-buru perbaiki trestel yang rusak parah?
Banyak kepala daerah kita masih menganggap dan memperlakukan jabatan dan kuasa sebagai milik yang melekat pada diri. Karena itu, ukuran penggunaannya adalah diri dan kepentingan diri. Mereka tidak melihat dan menggunakan jabatan dan kuasa sebagai sarana untuk mengabdi rakyat seperti yang telah mereka ucapkan dalam sumpah dengan menggunakan Kitab Suci dalam acara kenegaraan penuh khidmat.
Kita berharap, cerita trestel dermaga Lewoleba yang berlubang akan segera berakhir. Mudah-mudahan ia juga bisa menjadi sentilan yang menyadarkan para kepala daerah, untuk apa dan untuk siapa sebenarnya mereka dilantik dan diambil sumpah.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 19 Januari 2008
Trestel dermaga Lewoleba rusak berat. Lubangnya menganga 1 x 4 meter, hampir putus. Kegiatan bongkar muat di dermaga lama ini pernah direncanakan dialihkan sementara ke pelabuhan baru. Rencana ini dibatalkan karena hanya akan memacetkan lalu lintas penumpang dan kegiatan bongkar muat barang. Akhirnya, dermaga lama dan rusak ini tetap digunakan, penuh waswas. Agar kendaraan bisa lewat, di atas lubang dibantang balok. Sampai kapan canda dengan maut ini berakhir, entahlah. Bupati menjanjikan anggaran pengembangan pelabuhan dalam Perubahan APBD 2008. Itu berarti, tunggu dulu, tidak ada tindakan emergensi.
Cerita tentang trestel dermaga Lewoleba yang jebol adalah juga cerita tentang pilihan kebijakan seorang kepala daerah. Banyak kepala daerah gagal menentukan skala prioritas. Gagal, karena skala prioritas tidak mereka letakkan dalam bingkai kepentingan umum yang mendatangkan kemaslahatan bagi banyak orang, khsusunya para jelata.
Dermaga adalah sarana vital pelabuhan laut, tempat orang kebanyakan datang dan pergi, tempat komoditas masyarakat dibongkar dan dimuat. Angkutan laut adalah jasa yang paling banyak digunakan masyarakat biasa setelah angkutan darat. Karena itu, demi penyejahteraan masyarakat, semestinya infratsruktur jalan darat dan pelabuhan laut diperhatikan dan diprioritaskan penanganannya bila sudah dalam keadaan sangat menggangu kepentingan umum.
Trestel dermaga Lewoleba yang berlubang 1 x 4 meter tidak hanya mengganggu kepentingan umum, tapi juga mengancam keselamatan penumpang dan kegiatan bongkar muat. Kerusakan ini membutuhkan penanganan emergensi. Ini yang tidak dilakukan pemangku kebijakan di Lembata. Mengapa? Mungkin karena keadaan ini tidak mengganggu kepentingan pribadi sang petinggi. Ke luar pulau, mereka naik pesawat, bukan naik kapal laut. Dermaga mau lubang atau runtuh, perjalanan mereka tetap tidak terganggu. Karena itu, buat apa buru-buru perbaiki trestel yang rusak parah?
Banyak kepala daerah kita masih menganggap dan memperlakukan jabatan dan kuasa sebagai milik yang melekat pada diri. Karena itu, ukuran penggunaannya adalah diri dan kepentingan diri. Mereka tidak melihat dan menggunakan jabatan dan kuasa sebagai sarana untuk mengabdi rakyat seperti yang telah mereka ucapkan dalam sumpah dengan menggunakan Kitab Suci dalam acara kenegaraan penuh khidmat.
Kita berharap, cerita trestel dermaga Lewoleba yang berlubang akan segera berakhir. Mudah-mudahan ia juga bisa menjadi sentilan yang menyadarkan para kepala daerah, untuk apa dan untuk siapa sebenarnya mereka dilantik dan diambil sumpah.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 19 Januari 2008
Sikka yang Membanggakan
Oleh Frans Anggal
Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, Dinas Kesehatan, RSUD Dr TC Hillers Maumere, dan Persatuan Bidan Indonesia (PBI) Kabupaten Sikka menandatangani nota kesepahaman pencatatan kelahiran, difasilitasi Unicef NTT. Dengan ini maka setiap kejadian kelahiran dapat langsung dicatat di rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, bahkan di desa-desa melalui bidan desa dan dukun bersalin. Formulirnya sudah disiapkan, tinggal diisi saja. Para pihak yang turut membantu proses pencatatan, termasuk pemuka agama dan pastor paroki, diberi honor, tahun lalu Rp250/tahun, tahun ini naik menjadi Rp300 ribu.
Ini langkah luar biasa. Masuk akal bila tahun ini Sikka ditetapkan menjadi proyek percontohan pencatatan kelahiran bagi kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia. Sikka sukses menunjukkan keberhasilan menajemen pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran gratis bagi anak-anak berusia 0-18 tahun.
Yang patut dicontohi dari Sikka adalah, selain gratis, pengurusan akta kelahiran menjadi begitu mudah dan cepat. Ini karena prosedurnya disederhanakan. Dulu---sebagaimana yang kini masih berlaku di banyak daerah---syarat permohonan akta kelahiran begitu rumit dan mahal. Orangtua wajib mengisi formulir permohonan, melampirkan fotokopi surat keterangan lahir dari bidan/dokter/rumah sakit, surat keterangan lahir dari kepala desa/lurah, fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) orangtua dan dua saksi, fotokopi kartu keluarga, fotokopi akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah). Untuk orang yang tinggal di kampung terpencil, persyaratan serumit itu sulit dipenuhi. Bagaimana mungkin mereka memfotokopi surat-surat penting yang mereka sendiri tidak punya, dan juga fotokopinya bisa jadi di ibu kota kabupaten.
Sejak 2004, Sikka membuat terobosan. Persyaratan rumit itu disederhanakan. Yang tidak miliki KTP bisa meminta surat keterangan kepala desa/lurah. Bagi yang memiliki KTP hanya perlu menunjukkan KTP-nya kepada bidan yang membantu mengurus kelahiran anak mereka, akta perkawinan juga cukup ditunjukkan kepada bidan. Bagi yang belum menikah resmi dan hanya menikah adat bisa mengisi surat keterangan tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan cukup melibatkan bidan desa sebagai saksi.
Dengan prosedur sederhana ini, yang melibatkan banyak pihak hingga ke tingkat desa, dan tanpa memungut biaya serupiah pun maka tidak ada lagi alasan anak-anak tidak mempunyai akta kelahiran. Hasilnya lumayan. Kini sebanyak 100 ribu dari 290 ribu penduduk Sikka telah memiliki akta kelahiran.
Sikka membanggakan kita. Dari sebuah daerah di Flores yang masih tertinggal, bisa lahir sebuah kebijakan yang kemudian dijadikan contoh di tingkat nasional. Profisiat!
"Bentara" FLORE$S POS, Jumat 18 Januari 2008
Badan Kependudukan Catatan Sipil dan Keluarga Berencana, Dinas Kesehatan, RSUD Dr TC Hillers Maumere, dan Persatuan Bidan Indonesia (PBI) Kabupaten Sikka menandatangani nota kesepahaman pencatatan kelahiran, difasilitasi Unicef NTT. Dengan ini maka setiap kejadian kelahiran dapat langsung dicatat di rumah sakit, puskesmas, puskesmas pembantu, bahkan di desa-desa melalui bidan desa dan dukun bersalin. Formulirnya sudah disiapkan, tinggal diisi saja. Para pihak yang turut membantu proses pencatatan, termasuk pemuka agama dan pastor paroki, diberi honor, tahun lalu Rp250/tahun, tahun ini naik menjadi Rp300 ribu.
Ini langkah luar biasa. Masuk akal bila tahun ini Sikka ditetapkan menjadi proyek percontohan pencatatan kelahiran bagi kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia. Sikka sukses menunjukkan keberhasilan menajemen pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran gratis bagi anak-anak berusia 0-18 tahun.
Yang patut dicontohi dari Sikka adalah, selain gratis, pengurusan akta kelahiran menjadi begitu mudah dan cepat. Ini karena prosedurnya disederhanakan. Dulu---sebagaimana yang kini masih berlaku di banyak daerah---syarat permohonan akta kelahiran begitu rumit dan mahal. Orangtua wajib mengisi formulir permohonan, melampirkan fotokopi surat keterangan lahir dari bidan/dokter/rumah sakit, surat keterangan lahir dari kepala desa/lurah, fotokopi kartu tanda penduduk (KTP) orangtua dan dua saksi, fotokopi kartu keluarga, fotokopi akta perkawinan/buku nikah (bagi yang sudah kawin sah). Untuk orang yang tinggal di kampung terpencil, persyaratan serumit itu sulit dipenuhi. Bagaimana mungkin mereka memfotokopi surat-surat penting yang mereka sendiri tidak punya, dan juga fotokopinya bisa jadi di ibu kota kabupaten.
Sejak 2004, Sikka membuat terobosan. Persyaratan rumit itu disederhanakan. Yang tidak miliki KTP bisa meminta surat keterangan kepala desa/lurah. Bagi yang memiliki KTP hanya perlu menunjukkan KTP-nya kepada bidan yang membantu mengurus kelahiran anak mereka, akta perkawinan juga cukup ditunjukkan kepada bidan. Bagi yang belum menikah resmi dan hanya menikah adat bisa mengisi surat keterangan tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan cukup melibatkan bidan desa sebagai saksi.
Dengan prosedur sederhana ini, yang melibatkan banyak pihak hingga ke tingkat desa, dan tanpa memungut biaya serupiah pun maka tidak ada lagi alasan anak-anak tidak mempunyai akta kelahiran. Hasilnya lumayan. Kini sebanyak 100 ribu dari 290 ribu penduduk Sikka telah memiliki akta kelahiran.
Sikka membanggakan kita. Dari sebuah daerah di Flores yang masih tertinggal, bisa lahir sebuah kebijakan yang kemudian dijadikan contoh di tingkat nasional. Profisiat!
"Bentara" FLORE$S POS, Jumat 18 Januari 2008
Belajar dari Sikka
Oleh Frans Anggal
Tahun ini Kabupaten Sikka ditetapkan menjadi proyek percontohan pencatatan kelahiran bagi kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia karena keberhasilan menajemen pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran gratis bagi anak-anak berusia 0-18 tahun.
Ini prestasi yang patut dihargai. Di tengah penerapan sesat otonomi daerah di banyak wilayah, Sikka menjadi perkecualian. Di banyak daerah lain, dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi bagi pemohon akta kelahiran. Ini pelanggaran serius terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 27 UU ini menegaskan, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Lebih jauh pasal 28 menyatakan, pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.
Kalau daerah lain masih ramai-ramai melanggar hukum dan HAM demi menggemukkan pundi-pundi daerah, Sikka sejak 2004 telah berpijak kukuh di atas hak asasi manusia, hak setiap anak atas identitas diri. Banyak pemangku kebijakan daerah tidak paham bahwa pencatatan kelahiran berfungsi menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara. Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini. Ini berarti, dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subjek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya. Pengakuan sebagai subjek hukum merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apa pun, sekalipun negara dalam kondisi darurat.
Ini yang kurang disadari oleh sebagain besar pemangku kebijakan daerah. Tidak mengherankan kalau di dunia, dalam hal pencatatan anak di bawah 5 tahun, Indonesia termasuk yang paling buruk, cuma 40%. Artinya, enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak dan warga negaranya. Yang dilupakan, anak-anak yang tidak memiliki identitas amat rentan terhadap eksploitasi. Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagaimana sering terjadi pada kasus perdagangan anak. Dengan demikian, pemberian akta kelahiran gratis amat penting untuk melindungi anak-anak.
Sayang, banyak pemerintah daerah kurang menyadari hal ini. Mereka suka cari gampang saja sampai-sampai merasa tak bersalah melanggar hak anak. Mereka perlu disadarkan dan berubah. Kita mengajak mereka menoleh ke Sikka, belajar dari Sikka.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 17 Januari 2008
Tahun ini Kabupaten Sikka ditetapkan menjadi proyek percontohan pencatatan kelahiran bagi kabupaten yang sedang berkembang di Indonesia karena keberhasilan menajemen pencatatan kelahiran dan pengurusan akta kelahiran gratis bagi anak-anak berusia 0-18 tahun.
Ini prestasi yang patut dihargai. Di tengah penerapan sesat otonomi daerah di banyak wilayah, Sikka menjadi perkecualian. Di banyak daerah lain, dengan dalih otonomi daerah, akta kelahiran dijadikan salah satu sumber PAD melalui penarikan retribusi bagi pemohon akta kelahiran. Ini pelanggaran serius terhadap UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 27 UU ini menegaskan, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran. Lebih jauh pasal 28 menyatakan, pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah dan tidak dikenai biaya.
Kalau daerah lain masih ramai-ramai melanggar hukum dan HAM demi menggemukkan pundi-pundi daerah, Sikka sejak 2004 telah berpijak kukuh di atas hak asasi manusia, hak setiap anak atas identitas diri. Banyak pemangku kebijakan daerah tidak paham bahwa pencatatan kelahiran berfungsi menentukan dan menetapkan status keperdataan (sipil) seseorang dalam wilayah hukum suatu negara. Pencatatan ini merupakan bagian dari hak sipil yang melekat begitu seseorang lahir. Karenanya negara berkewajiban menghormati, memenuhi, dan melindungi hak ini. Ini berarti, dengan mencatatkan seorang anak, negara telah resmi mengakuinya sebagai subjek hukum dan berkewajiban melindungi hak-hak sipilnya. Pengakuan sebagai subjek hukum merupakan hak asasi manusia yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara dalam kondisi apa pun, sekalipun negara dalam kondisi darurat.
Ini yang kurang disadari oleh sebagain besar pemangku kebijakan daerah. Tidak mengherankan kalau di dunia, dalam hal pencatatan anak di bawah 5 tahun, Indonesia termasuk yang paling buruk, cuma 40%. Artinya, enam dari sepuluh anak Indonesia tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah. Dengan kata lain, pemerintah telah berlaku diskriminatif terhadap sebagian besar anak dan warga negaranya. Yang dilupakan, anak-anak yang tidak memiliki identitas amat rentan terhadap eksploitasi. Umumnya anak-anak yang menjadi korban eksploitasi tidak memiliki catatan sehingga pemalsuan jati diri anak seringkali dijadikan modus operandi sebagaimana sering terjadi pada kasus perdagangan anak. Dengan demikian, pemberian akta kelahiran gratis amat penting untuk melindungi anak-anak.
Sayang, banyak pemerintah daerah kurang menyadari hal ini. Mereka suka cari gampang saja sampai-sampai merasa tak bersalah melanggar hak anak. Mereka perlu disadarkan dan berubah. Kita mengajak mereka menoleh ke Sikka, belajar dari Sikka.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 17 Januari 2008
Profisiat, Keuskupan Ruteng
Oleh Frans Anggal
Umat Paroki Borong, Keuskupan Ruteng, menanam 5 ribu anakan mahoni dan jati di atas lahan paroki 4,6 ha. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut hasil sinode serta apresiasi program tahunan Keuskupan Ruteng yang menetapkan 2008 sebagai tahun menanam dan lingkungan hidup. Kegiatan ini juga merupakan gerakan bersama mendukung program pemerintah daerah.
Sudah lama Keuskupan Ruteng menaruh keprihatinan terhadap lingkungan hidup khususnya hutan yang mengalami deforestasi (penghilangan) dan degradasi (perusakan) luar biasa di wilayah Manggarai. Secara personal, banyak orang di Manggarai masuk hutan dan menebang pohon secara ilegal untuk dijadikan papan dan balok---mereka menyebutnya poro banggang dan coco balok.
Secara komunal, pada beberapa kasus, masyarakat adat mengklaim hutan lindung sebagai milik dan merambahnya untuk dijadikan kebun. Demikian tinggi dan luasnya deforestasi dan degradasi, sampai muncul komentar bahwa masyarakat Manggarai gemar ‘makan hutan’ (mboros puar). Istilah yang tidak berlebihan karena semakin banyaknya hutan lindung yang dirusak dan digunduli.
Masyarakat Manggarai mulai sedikit sadar ketika di mana-mana debit air semakin menurun. Semakin banyak mata air yang mengering. Kesadaran kian menguat ketika bencana tanah longsor melanda Gapong dan Golo Gega tahun 2006. Puluhan orang kehilangan nyawa. Ratusan lainnya ketiadaan tempat tinggal. Uskup Ruteng Mgr Eduardus Sangsun SVD menyebut bencana ini sebagai akibat dosa kolektif. Khusus mengenang bencana ini, sebuah lagu diciptakan komponis setempat, direkam dalam keping VCD, dan terjual laris manis. Lirik lagu menyebutkan bencana ini akibat hujan badai (usang warat) seraya mohon ampun pada Tuhan jika semuanya ini akibat dosa masyarakat (sala ka’eng tana, ndekok ka’eng beo).
Di tengah kesadaran masyarakat Manggarai yang perlahan muncul akibat terpaan bencana tanah longsor 2006, juga di tengah menguatnya kesadaran masyarakat dunia akan perubahan iklim yang dipicu pemansan global, langkah Keuskupan Ruteng menetapkan 2008 sebagai tahun menanam dan lingkungan hidup sangatlah tepat dan patut didukung. Profisiat untuk Keuskupan Ruteng.
Tindak lanjut pencanangan ini sudah mulai tampak sebagaimana yang terjadi di Paroki Borong. Kita berharap gerakan ini tidak hanya sampai di tingkat dekenat dan paroki, tapi juga meresap masuk dan mendarah daging di tingkat umat basis. Tentu semuanya harus didahului proses penyadaran dengan pola pendekatan pastoral yang mesti berubah pula dari pola yang berpusat pada paroki ke pola yang berpusat pada komunitas basis. Dengan demikian, sikap mental umat akan berubah dari eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 16 Januari 2008
Umat Paroki Borong, Keuskupan Ruteng, menanam 5 ribu anakan mahoni dan jati di atas lahan paroki 4,6 ha. Kegiatan ini merupakan tindak lanjut hasil sinode serta apresiasi program tahunan Keuskupan Ruteng yang menetapkan 2008 sebagai tahun menanam dan lingkungan hidup. Kegiatan ini juga merupakan gerakan bersama mendukung program pemerintah daerah.
Sudah lama Keuskupan Ruteng menaruh keprihatinan terhadap lingkungan hidup khususnya hutan yang mengalami deforestasi (penghilangan) dan degradasi (perusakan) luar biasa di wilayah Manggarai. Secara personal, banyak orang di Manggarai masuk hutan dan menebang pohon secara ilegal untuk dijadikan papan dan balok---mereka menyebutnya poro banggang dan coco balok.
Secara komunal, pada beberapa kasus, masyarakat adat mengklaim hutan lindung sebagai milik dan merambahnya untuk dijadikan kebun. Demikian tinggi dan luasnya deforestasi dan degradasi, sampai muncul komentar bahwa masyarakat Manggarai gemar ‘makan hutan’ (mboros puar). Istilah yang tidak berlebihan karena semakin banyaknya hutan lindung yang dirusak dan digunduli.
Masyarakat Manggarai mulai sedikit sadar ketika di mana-mana debit air semakin menurun. Semakin banyak mata air yang mengering. Kesadaran kian menguat ketika bencana tanah longsor melanda Gapong dan Golo Gega tahun 2006. Puluhan orang kehilangan nyawa. Ratusan lainnya ketiadaan tempat tinggal. Uskup Ruteng Mgr Eduardus Sangsun SVD menyebut bencana ini sebagai akibat dosa kolektif. Khusus mengenang bencana ini, sebuah lagu diciptakan komponis setempat, direkam dalam keping VCD, dan terjual laris manis. Lirik lagu menyebutkan bencana ini akibat hujan badai (usang warat) seraya mohon ampun pada Tuhan jika semuanya ini akibat dosa masyarakat (sala ka’eng tana, ndekok ka’eng beo).
Di tengah kesadaran masyarakat Manggarai yang perlahan muncul akibat terpaan bencana tanah longsor 2006, juga di tengah menguatnya kesadaran masyarakat dunia akan perubahan iklim yang dipicu pemansan global, langkah Keuskupan Ruteng menetapkan 2008 sebagai tahun menanam dan lingkungan hidup sangatlah tepat dan patut didukung. Profisiat untuk Keuskupan Ruteng.
Tindak lanjut pencanangan ini sudah mulai tampak sebagaimana yang terjadi di Paroki Borong. Kita berharap gerakan ini tidak hanya sampai di tingkat dekenat dan paroki, tapi juga meresap masuk dan mendarah daging di tingkat umat basis. Tentu semuanya harus didahului proses penyadaran dengan pola pendekatan pastoral yang mesti berubah pula dari pola yang berpusat pada paroki ke pola yang berpusat pada komunitas basis. Dengan demikian, sikap mental umat akan berubah dari eksploitasi ke pelestarian lingkungan hidup.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 16 Januari 2008
Polisi, Kenapa Ragu?
Oleh Frans Anggal
Polisi membubarkan judi bola guling di tempat duka di salah satu ruas jalan di kota Ende. Penggerebekan dilakukan atas dasar informasi yang diberikan lurah. Polisi hanya berhasil menyita barang bukti, sedangkan para pelaku gagal ditangkap.
Judi saat ‘mete’ di rumah duka sudah kebiasaan di Flores. Di Ende pun begitu. Ditengarai, polisi tahu tetapi tidak bertindak. Adanya pembiaran membuat judi dipandang wajar, malah dalam banyak kasus dinilai berguna karena para penjudi mampu berjaga sampai pagi di rumah duka dan sekian persen hasil judi disetor ke keluarga berduka. Padahal, dari segi hukum dan moral, apa pun hasilnya, perjudian tidak bisa dibenarkan.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa polisi begitu tegas bertindak, padahal sebelumnya terkesan membiarkan banyak perjudian saat kematian? Rupanya karena ada laporan dari lurah. Kalau lurah tidak melapor, bagaimana? Apa saja kerja intel polisi sampai tidak tidak melaporkan pelanggaran hukum yang begitu telanjang?
Belum hilang dari ingatan kita, pada awal kepemimpinannya, Kapolri Soetanto langsung menginstruksikan pemberantasan perjudian. Tidak tanggung-tanggung, ia memberi waktu satu minggu untuk membersihkan perjudian di Indonesia. Siapa yang paling merasakan dampak instruksi kapolri ini? Kita tahu jawabannya: polisi sendiri.Bukan rahasia lagi, sejak Soetanto menduduki jabatan kapolri, sebagian polisi kehilangan senyum cerah. Sebab, perang terhadap judi berarti pula perang terhadap uang haram yang masuk kantong polisi. Sudah menjadi rahasia umum, perjudian langgeng dan subur justru karena dibekingi aparat kepolisian.
Instruksi kapolri bagus, tapi mubazir bila tidak dihargai oleh anak buahnya sendiri di tingkat polres. Kenyataan, judi masih marak. Ini menunjukkan, instruksi kapolri hanya diterjemahkan menjadi gebrakan penggerebekan yang diakukan senin-kamis, itu pun kalau ada laporan dari masyarakat. Terkesan, banyak polres kita belum bisa menuangkan instruksi itu ke dalam program yang berkelanjutan, program jangka panjang membongkar dan mengikis habis perjudian. Karena itu, kita dukung langkah Polres Ende membubarkan judi bola guling. Namun itu saja tidak cukup. Perlu ada program berkelanjutan dan berjangka panjang sampai semua bentuk perjudian dikikis habis.
Tak ada alasan untuk ragu bertindak. Kepolisian adalah instansi yang menjalankan hak monopoli negara dalam menggunakan kekerasan. Tentu saja hak itu diberikan semata-mata untuk kemaslahatan orang banyak dan eksekusinya diawasi dengan ketat, dalam koridor hukum yang jelas. Sebagai penegak hukum, polisi diberi wewenang memeriksa, menangkap, dan menahan warga yang diduga melanggar hukum, tapi sekaligus dibatasi wewenangnya agar martabat dan hak asasi setiap orang tetap dihormati. Jadi, kenapa ragu?
"Bentara" FLORES POS, Senin 14 Januari 2008
Polisi membubarkan judi bola guling di tempat duka di salah satu ruas jalan di kota Ende. Penggerebekan dilakukan atas dasar informasi yang diberikan lurah. Polisi hanya berhasil menyita barang bukti, sedangkan para pelaku gagal ditangkap.
Judi saat ‘mete’ di rumah duka sudah kebiasaan di Flores. Di Ende pun begitu. Ditengarai, polisi tahu tetapi tidak bertindak. Adanya pembiaran membuat judi dipandang wajar, malah dalam banyak kasus dinilai berguna karena para penjudi mampu berjaga sampai pagi di rumah duka dan sekian persen hasil judi disetor ke keluarga berduka. Padahal, dari segi hukum dan moral, apa pun hasilnya, perjudian tidak bisa dibenarkan.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa polisi begitu tegas bertindak, padahal sebelumnya terkesan membiarkan banyak perjudian saat kematian? Rupanya karena ada laporan dari lurah. Kalau lurah tidak melapor, bagaimana? Apa saja kerja intel polisi sampai tidak tidak melaporkan pelanggaran hukum yang begitu telanjang?
Belum hilang dari ingatan kita, pada awal kepemimpinannya, Kapolri Soetanto langsung menginstruksikan pemberantasan perjudian. Tidak tanggung-tanggung, ia memberi waktu satu minggu untuk membersihkan perjudian di Indonesia. Siapa yang paling merasakan dampak instruksi kapolri ini? Kita tahu jawabannya: polisi sendiri.Bukan rahasia lagi, sejak Soetanto menduduki jabatan kapolri, sebagian polisi kehilangan senyum cerah. Sebab, perang terhadap judi berarti pula perang terhadap uang haram yang masuk kantong polisi. Sudah menjadi rahasia umum, perjudian langgeng dan subur justru karena dibekingi aparat kepolisian.
Instruksi kapolri bagus, tapi mubazir bila tidak dihargai oleh anak buahnya sendiri di tingkat polres. Kenyataan, judi masih marak. Ini menunjukkan, instruksi kapolri hanya diterjemahkan menjadi gebrakan penggerebekan yang diakukan senin-kamis, itu pun kalau ada laporan dari masyarakat. Terkesan, banyak polres kita belum bisa menuangkan instruksi itu ke dalam program yang berkelanjutan, program jangka panjang membongkar dan mengikis habis perjudian. Karena itu, kita dukung langkah Polres Ende membubarkan judi bola guling. Namun itu saja tidak cukup. Perlu ada program berkelanjutan dan berjangka panjang sampai semua bentuk perjudian dikikis habis.
Tak ada alasan untuk ragu bertindak. Kepolisian adalah instansi yang menjalankan hak monopoli negara dalam menggunakan kekerasan. Tentu saja hak itu diberikan semata-mata untuk kemaslahatan orang banyak dan eksekusinya diawasi dengan ketat, dalam koridor hukum yang jelas. Sebagai penegak hukum, polisi diberi wewenang memeriksa, menangkap, dan menahan warga yang diduga melanggar hukum, tapi sekaligus dibatasi wewenangnya agar martabat dan hak asasi setiap orang tetap dihormati. Jadi, kenapa ragu?
"Bentara" FLORES POS, Senin 14 Januari 2008
Menampung Air Hujan
Oleh Frans Anggal
Warga Pulau Papagarang di Kabupaten Manggarai Barat terpaksa mengonsumsi air hujan karena pengangkutan air dari Labuan Bajo terhenti. Biasanya setiap hari dua kapal motor mengangkut air dari Labuan Bajo. Kegiatan terhenti karena gelombang pasang. Warga pun terpaksa minum air hujan.
Pulau Papagarang adalah pulau tanpa air bersih. Sejak dulu mereka harus mengangkut air dari Labuan Bajo manggunakan perahu. Biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Namun karena sudah terbiasa sejak dulu, cara seperti ini mereka anggap biasa. Saat pasokan air dari Labuan Bajo terhenti, mereka merasa menderita karena harus mengonsumsi air hujan. Mereka tidak biasa minum air hujan karena tidak membiasakan diri. Padahal menampung dan mengkonsumsi air hujan jauh lebih cocok dan lebih murah.
Sekadar pembanding, Alor tergolong pulau kurang air, meski sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Papagarang. Sejak UNICEF bekerja di Alor, terjadi perubahan besar. Warga tidak perlu lagi berjalan berkilo-kilo meter mengambil air. UNICEF membantu para keluarga dengan program Penampungan Air Hujan. Pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Pertama-tama, masyarakat diberi pengetahuan tentang cara pembuatan bak yang menampung air hujan dari atap rumah mereka sendiri. Kemudian mereka membagikan pengetahuan itu kepada masyarakat sekitarnya dan warga desa lain dengan membantu membuat bak penampungan. Pembuatan satu bak untuk satu rumah tangga membutuhkan waktu dua hari. Sistem ini memberikan cukup air bersih untuk minum dan masak selama hampir satu tahun. Kini setiap rumah punya bak penampung air hujan. Masyarakat Alor mengatakan bak-bak tersebut telah mengubah hidup mereka.
Hal yang sama bisa dilakukan di Papagarang. Tak perlu menunggu UNICEF atau kebaikan hati pemerintah. Sebab, pemerintah kita pasif dalam menghadapi krisis air bersih. Pemerintah enggan melakukan investasi langsung untuk membangun infrastruktur penyediaan dan pengolahan air bersih, sebaliknya lebih menitikberatkan mekanisme kerjasama dengan swasta dengan alasan keterbatasan anggaran. Bersamaan dengan itu, pemerintah mendorong komersialisasi air bersih dengan memberikan izin leluasa bagi penguasaan sumber air oleh perusahaan swasta dan perusahaan air minum dalam kemasan.
Warga Papagarang sendiri harus mampu mengubah kebiasaannya. Mengangkut air dari Labuan Bajo bisa diganti dengan membuat bak penampung air hujan secara gotong royong. Jangan menunggu UNICEF. Jangan pula menunggu kebaikan hati pemerintah. Mulailah dengan apa yang ada dan apa yang dimiliki, karena solusi mengatasi krisis air selalu terpulang kepada masyarakat sebagai konsumen.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 12 Januari 2008
Warga Pulau Papagarang di Kabupaten Manggarai Barat terpaksa mengonsumsi air hujan karena pengangkutan air dari Labuan Bajo terhenti. Biasanya setiap hari dua kapal motor mengangkut air dari Labuan Bajo. Kegiatan terhenti karena gelombang pasang. Warga pun terpaksa minum air hujan.
Pulau Papagarang adalah pulau tanpa air bersih. Sejak dulu mereka harus mengangkut air dari Labuan Bajo manggunakan perahu. Biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit. Namun karena sudah terbiasa sejak dulu, cara seperti ini mereka anggap biasa. Saat pasokan air dari Labuan Bajo terhenti, mereka merasa menderita karena harus mengonsumsi air hujan. Mereka tidak biasa minum air hujan karena tidak membiasakan diri. Padahal menampung dan mengkonsumsi air hujan jauh lebih cocok dan lebih murah.
Sekadar pembanding, Alor tergolong pulau kurang air, meski sedikit lebih baik jika dibandingkan dengan Papagarang. Sejak UNICEF bekerja di Alor, terjadi perubahan besar. Warga tidak perlu lagi berjalan berkilo-kilo meter mengambil air. UNICEF membantu para keluarga dengan program Penampungan Air Hujan. Pengerjaannya dilakukan secara gotong royong. Pertama-tama, masyarakat diberi pengetahuan tentang cara pembuatan bak yang menampung air hujan dari atap rumah mereka sendiri. Kemudian mereka membagikan pengetahuan itu kepada masyarakat sekitarnya dan warga desa lain dengan membantu membuat bak penampungan. Pembuatan satu bak untuk satu rumah tangga membutuhkan waktu dua hari. Sistem ini memberikan cukup air bersih untuk minum dan masak selama hampir satu tahun. Kini setiap rumah punya bak penampung air hujan. Masyarakat Alor mengatakan bak-bak tersebut telah mengubah hidup mereka.
Hal yang sama bisa dilakukan di Papagarang. Tak perlu menunggu UNICEF atau kebaikan hati pemerintah. Sebab, pemerintah kita pasif dalam menghadapi krisis air bersih. Pemerintah enggan melakukan investasi langsung untuk membangun infrastruktur penyediaan dan pengolahan air bersih, sebaliknya lebih menitikberatkan mekanisme kerjasama dengan swasta dengan alasan keterbatasan anggaran. Bersamaan dengan itu, pemerintah mendorong komersialisasi air bersih dengan memberikan izin leluasa bagi penguasaan sumber air oleh perusahaan swasta dan perusahaan air minum dalam kemasan.
Warga Papagarang sendiri harus mampu mengubah kebiasaannya. Mengangkut air dari Labuan Bajo bisa diganti dengan membuat bak penampung air hujan secara gotong royong. Jangan menunggu UNICEF. Jangan pula menunggu kebaikan hati pemerintah. Mulailah dengan apa yang ada dan apa yang dimiliki, karena solusi mengatasi krisis air selalu terpulang kepada masyarakat sebagai konsumen.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 12 Januari 2008
Perlu Anggaran Air Bersih
Oleh Frans Anggal
Warga Lewoleba, Kabupaten Lembata, menderita krisi air bersih. Setiap hari mereka berjam-jam menunggu air satu jeriken. Satu-satunya tempat mengamil air adalah bak penampung milik SVD Dekenat Lembata. DPRD menilai pemerintah masa bodoh. Desakan agar PDAM direstrukturisasi tidak ditanggapi. Menurut bupati, kini pemerintah sedang mengerjakan proyek air bersih.
Keluhan akan krisis air bersih melanda banyak tempat di Flores, dari Labuan Bajo hingga Larantuka. Di pulau ini, sebagian besar PDAM belum berkinerja bagus. PDAM tetap berada dalam kondisi tidak sehat akibat korupsi serta beban utang dan tingkat pendapatan yang lebih rendah daripada biaya produksi. Juga akibat semakin langkanya dan rendahnya kualitas air baku dari sumber air permukaan. Ini menyebabkan kemampuan PDAM menyediakan air bersih yang layak dengan harga terjangkau menjadi melorot drastis.
Kita sadari, tidak ada solusi yang sederhana untuk mengatssi krisis air. Walau demikian, solusi yang jitu dan lengkap hanya mungkin jika negara, dalam hal ini pemerintah, tidak bermasa bodoh sebagaimana yang terjadi di Lembata. Pemerintah sudah seharusnya berperan aktif dalam mengatur, mengelola, mengawasi, dan memiliki sumber-sumber dan infrastruktur penyediaan air bersih.
Perlu dsadari, air bersih merupakan kebutuhan mendasar, karena itulah pemenuhannya dikategorikan sebagai pemenuhan hak asasi manusia. Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya merupakan kegagalan dalam melindungi hak asasi manusia seutuhnya. Oleh karenanya, menjadi tugas negara menjamin tersedia air bersih secara berkelanjutan dan merata dengan biaya yang terjangkau bagi seluruh lapisan rakyat.
Yang patut disesalkan, di tingkat nasional sekalipun, pemerintah belum memiliki political will dalam pengelolaan sumber air. Ini terihat dari belum kuatnya komitmen untuk mengalokasikan anggaran dari APBN guna menyediakan dan memeliharan infrastruktur sumber air.
Banyak pihak mengkritik pendekatan APBN kita "pelit bagi rakyat miskin, royal untuk birokrasi, boros untuk bayar utang". Kita akhirnya mengerti mengapa masih terdapat 45 juta warga di negeri ini yang belum terpenuhi kebutuhannya akan air bersih. Ini angka resmi, dan seperti biasanya merupakan angka permukaan yang menutupi angka sebenarnya yang lebih besar. Meski demikian, angka ini sudah cukup menunjukkan perjuangan sebagian warga Indonesia untuk memperoleh air bersih dan hidup layak masih sangat berat.
Sudah saatnya pemerintah melakukan pengarusutamaan anggaran untuk program kemiskinan, termasuk di dalamnya mengalokasikan anggaran yang cukup bagi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur sumber air secara berkelanjutan dan merata dengan biaya yang terjangkau bagi seluruh lapisan rakyat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 11 Januari 2008
Warga Lewoleba, Kabupaten Lembata, menderita krisi air bersih. Setiap hari mereka berjam-jam menunggu air satu jeriken. Satu-satunya tempat mengamil air adalah bak penampung milik SVD Dekenat Lembata. DPRD menilai pemerintah masa bodoh. Desakan agar PDAM direstrukturisasi tidak ditanggapi. Menurut bupati, kini pemerintah sedang mengerjakan proyek air bersih.
Keluhan akan krisis air bersih melanda banyak tempat di Flores, dari Labuan Bajo hingga Larantuka. Di pulau ini, sebagian besar PDAM belum berkinerja bagus. PDAM tetap berada dalam kondisi tidak sehat akibat korupsi serta beban utang dan tingkat pendapatan yang lebih rendah daripada biaya produksi. Juga akibat semakin langkanya dan rendahnya kualitas air baku dari sumber air permukaan. Ini menyebabkan kemampuan PDAM menyediakan air bersih yang layak dengan harga terjangkau menjadi melorot drastis.
Kita sadari, tidak ada solusi yang sederhana untuk mengatssi krisis air. Walau demikian, solusi yang jitu dan lengkap hanya mungkin jika negara, dalam hal ini pemerintah, tidak bermasa bodoh sebagaimana yang terjadi di Lembata. Pemerintah sudah seharusnya berperan aktif dalam mengatur, mengelola, mengawasi, dan memiliki sumber-sumber dan infrastruktur penyediaan air bersih.
Perlu dsadari, air bersih merupakan kebutuhan mendasar, karena itulah pemenuhannya dikategorikan sebagai pemenuhan hak asasi manusia. Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan air bersih bagi rakyatnya merupakan kegagalan dalam melindungi hak asasi manusia seutuhnya. Oleh karenanya, menjadi tugas negara menjamin tersedia air bersih secara berkelanjutan dan merata dengan biaya yang terjangkau bagi seluruh lapisan rakyat.
Yang patut disesalkan, di tingkat nasional sekalipun, pemerintah belum memiliki political will dalam pengelolaan sumber air. Ini terihat dari belum kuatnya komitmen untuk mengalokasikan anggaran dari APBN guna menyediakan dan memeliharan infrastruktur sumber air.
Banyak pihak mengkritik pendekatan APBN kita "pelit bagi rakyat miskin, royal untuk birokrasi, boros untuk bayar utang". Kita akhirnya mengerti mengapa masih terdapat 45 juta warga di negeri ini yang belum terpenuhi kebutuhannya akan air bersih. Ini angka resmi, dan seperti biasanya merupakan angka permukaan yang menutupi angka sebenarnya yang lebih besar. Meski demikian, angka ini sudah cukup menunjukkan perjuangan sebagian warga Indonesia untuk memperoleh air bersih dan hidup layak masih sangat berat.
Sudah saatnya pemerintah melakukan pengarusutamaan anggaran untuk program kemiskinan, termasuk di dalamnya mengalokasikan anggaran yang cukup bagi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur sumber air secara berkelanjutan dan merata dengan biaya yang terjangkau bagi seluruh lapisan rakyat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 11 Januari 2008
23 Februari 2009
Perlu Kebijakan Fundamental
Oleh Frans Anggal
Angin puting beliung dan hujan deras merusakkan rumah warga Desa Dulir, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Sedangkan di Desa Lamalera A, banjir besar mengancam talud pengaman dan rumah warga sekitar. Dalam dua bulan terakhir sudah 22 rumah warga yang rusak. Itu di Lembata. Berita serupa akan lebih panjang bila semua bencana pada 8 kabupaten di Flores disebutkan satu per satu dalam dua bulan terakhir. Apalagi di seluruh Indoenesia.
Bencana yang beruntun membuat kita tidak bisa lagi bangga menjuluki negeri kita jamrud khatulistiwa. Kenyataannya, Indonesia sudah menjadi negeri sejuta bencana. Banjir dan longsor di musim hujan, kebakaran hutan dan kekeringan di musim kemarau. Begitulah yang kita alami beberapa tahun terakhir.
Kalau dicermati, sebagian besar bencana tidak serta merta datang, tapi didahului perusakan lingkungan, kebijakan yang tidak memenuhi aspirasi masyarakat, serta tidak beresnya manajemen bencana dari pemerintah. Karena itu, tidak salah bila dikatakan bencana paling serius di negeri ini adalah bencana lingkungan alias bencana yang ‘direncakan’, bukan bencana alam.
Dari rentetan bencana lingkungan yang semakin meluas dan meningkat, semestinya para penentu kebijakan belajar dan segera mengambil langkah kebijakan fundamental, holistik, dan berjangka jauh ke depan. Hanya dengan demikian, bencana tidak menjadi siklus tahunan yang tetap berulang.
Kebijakan fundamental yang diharapkan adalah kebijakan fundamental menghindari bencana lingkungan dan bukan sekadar memfasilitasinya. Yang mendesak adalah penghentian konversi penggunaan lahan hutan alam, penggunaan teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Mudah atau sulitnya kebijakan ini sangat bergantung dari komitmen moral dan politik pemerintah untuk menyelamatkan kehidupan. Kalau komitmen sudah ada, kebijakan teknis operasional bisa disiasati. Selanjutnya diperlukan kepiawaian mencari alternatif kebijakan yang ramah lingkungan. Bila komitmen moral telah dimiliki, kebijakan teknis operasional yang sulit berupa alternatif kebijakan yang ramah lingkungan tentu bisa dicarikan jalan keluarnya kendati tidak gampang dan membutuhkan pengorbanan jangka pendek namun memberi harapan akan keselamatan jangka panjang.
Dengan berakhirnya pertemuan PBB di Bali sebulan lalu tentang perubahan iklim, diharapkan para penentu kebijakan negeri ini segera merancang dan menerapkan kebijakan fundamental dimaksud. Pengalaman pahit dari tahun ke tahun kiranya cukup menyadarkan kita perlunya mengambil langkah kebijakan fundamental, holistik, dan berjangka jauh ke depan.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 9 Januari 2008
Angin puting beliung dan hujan deras merusakkan rumah warga Desa Dulir, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Sedangkan di Desa Lamalera A, banjir besar mengancam talud pengaman dan rumah warga sekitar. Dalam dua bulan terakhir sudah 22 rumah warga yang rusak. Itu di Lembata. Berita serupa akan lebih panjang bila semua bencana pada 8 kabupaten di Flores disebutkan satu per satu dalam dua bulan terakhir. Apalagi di seluruh Indoenesia.
Bencana yang beruntun membuat kita tidak bisa lagi bangga menjuluki negeri kita jamrud khatulistiwa. Kenyataannya, Indonesia sudah menjadi negeri sejuta bencana. Banjir dan longsor di musim hujan, kebakaran hutan dan kekeringan di musim kemarau. Begitulah yang kita alami beberapa tahun terakhir.
Kalau dicermati, sebagian besar bencana tidak serta merta datang, tapi didahului perusakan lingkungan, kebijakan yang tidak memenuhi aspirasi masyarakat, serta tidak beresnya manajemen bencana dari pemerintah. Karena itu, tidak salah bila dikatakan bencana paling serius di negeri ini adalah bencana lingkungan alias bencana yang ‘direncakan’, bukan bencana alam.
Dari rentetan bencana lingkungan yang semakin meluas dan meningkat, semestinya para penentu kebijakan belajar dan segera mengambil langkah kebijakan fundamental, holistik, dan berjangka jauh ke depan. Hanya dengan demikian, bencana tidak menjadi siklus tahunan yang tetap berulang.
Kebijakan fundamental yang diharapkan adalah kebijakan fundamental menghindari bencana lingkungan dan bukan sekadar memfasilitasinya. Yang mendesak adalah penghentian konversi penggunaan lahan hutan alam, penggunaan teknologi ramah lingkungan, penggunaan energi ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.
Mudah atau sulitnya kebijakan ini sangat bergantung dari komitmen moral dan politik pemerintah untuk menyelamatkan kehidupan. Kalau komitmen sudah ada, kebijakan teknis operasional bisa disiasati. Selanjutnya diperlukan kepiawaian mencari alternatif kebijakan yang ramah lingkungan. Bila komitmen moral telah dimiliki, kebijakan teknis operasional yang sulit berupa alternatif kebijakan yang ramah lingkungan tentu bisa dicarikan jalan keluarnya kendati tidak gampang dan membutuhkan pengorbanan jangka pendek namun memberi harapan akan keselamatan jangka panjang.
Dengan berakhirnya pertemuan PBB di Bali sebulan lalu tentang perubahan iklim, diharapkan para penentu kebijakan negeri ini segera merancang dan menerapkan kebijakan fundamental dimaksud. Pengalaman pahit dari tahun ke tahun kiranya cukup menyadarkan kita perlunya mengambil langkah kebijakan fundamental, holistik, dan berjangka jauh ke depan.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 9 Januari 2008
Batalyon Perlu Dikritisi
Oleh Frans Anggal
Warga suku Paumere yang menghuni Desa Ndeturea dan Sangaroro, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, menolak rencana pembangunan batalyon TNI AD. Mereka tidak akan menyerahkan sejengkal pun tanah.
Ini ketiga kalinya di Ende TNI berhadapan dengan warga dalam urusan tanah bagi kepentingan pengembangan institusinya. Tahun 1999, warga Flores menolak pemindahan korem dari Dili ke Ende. Tahun 2006, petani Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, menolak pembangunan markas korem atau batalyon di atas lahan garapan mereka. Kini kasus serupa berulang, di desa lain.
Cara memperoleh tanah selalu sama. Dengan alasan tak ada dana, TNI ingin mendapat tanah secara cuma-cuma. Yang terjadi, sebagian orang---biasanya yang mengklaim diri sebagai ‘mosalaki’ pemilik tanah---merelakan penghibahan tanah. Namun saat TNI turun ke lapangan untuk survei, muncul penolakan dari sebagian besar atau seluruh ‘mosalaki asli’ serta masyarakat penggarap. Citra yang terbentuk, TNI selalu salah masuk. Dampaknya, meresahkan warga. Kalau pada awal saja sudah meresahkan, bagaimana masyarakat bisa percaya TNI membawa ‘berkat’ dan bukan ‘kutukan’?
Dalam tiga kali percobaan korem/batalyon masuk Flores, pemahaman masyarakat semakin luas dan mendalam, menukik ke persoalan esensial mendesak atau tidakkah korem/batalyon masuk Flores, tidak lagi sekadar persoalan prosedural bisa atau tidakkah mereka memperoleh tanah. Dari sisi urgensi dan dampaknya, masyarakat pulau ini tidak menemukan alasan yang kuat perlunya korem/batalyon masuk Flores.
Alasan yang dikemukakan Dandim Ende M Shokil saat ini sama dengan yang dikemukakan pendahulunya Henu Basworo ketika menghadapi penolakan petani Desa Kuru tahun lalu. Yaitu strategi pertahanan negara dan peningkatan ekonomi masyarakat. Banyak ulasan di media ini yang menunjukkan alasan itu berlebihan.
Demkian juga dengan pernyataan bahwa kehadiran sebuah institusi resmi pertahanan negara di daerah mana pun harus diterima. Bicara soal pertahanan, tidak ada kompromi dengan masyarakat, katanya. Pertanyaan kita, apakah yang resmi itu selalu identik dengan kebenaran dan kebaikan? Bukankah banyak kesalahan bahkan kejahatan dan lebih daripada itu kejahatan sistemik justru dilakukan secara resmi? Terlalu banyak apa yang disebut dengan kejahatan negara terhadap warga.
Kita menginginkan rencana korem/batalyon masuk Flores perlu diujui secara kritis dan terbuka. Main mutlak-mutlakan tidak masanya lagi di era reformasi yang salah satu spiritnya adalah memberdayakan ‘masyarakat warga’ di hadapan kecongkakan ‘negara’. Tak boleh ada yang ditelan begitu saja, atas nama negara sekalipun.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 8 Januari 2008
Warga suku Paumere yang menghuni Desa Ndeturea dan Sangaroro, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, menolak rencana pembangunan batalyon TNI AD. Mereka tidak akan menyerahkan sejengkal pun tanah.
Ini ketiga kalinya di Ende TNI berhadapan dengan warga dalam urusan tanah bagi kepentingan pengembangan institusinya. Tahun 1999, warga Flores menolak pemindahan korem dari Dili ke Ende. Tahun 2006, petani Desa Kuru, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, menolak pembangunan markas korem atau batalyon di atas lahan garapan mereka. Kini kasus serupa berulang, di desa lain.
Cara memperoleh tanah selalu sama. Dengan alasan tak ada dana, TNI ingin mendapat tanah secara cuma-cuma. Yang terjadi, sebagian orang---biasanya yang mengklaim diri sebagai ‘mosalaki’ pemilik tanah---merelakan penghibahan tanah. Namun saat TNI turun ke lapangan untuk survei, muncul penolakan dari sebagian besar atau seluruh ‘mosalaki asli’ serta masyarakat penggarap. Citra yang terbentuk, TNI selalu salah masuk. Dampaknya, meresahkan warga. Kalau pada awal saja sudah meresahkan, bagaimana masyarakat bisa percaya TNI membawa ‘berkat’ dan bukan ‘kutukan’?
Dalam tiga kali percobaan korem/batalyon masuk Flores, pemahaman masyarakat semakin luas dan mendalam, menukik ke persoalan esensial mendesak atau tidakkah korem/batalyon masuk Flores, tidak lagi sekadar persoalan prosedural bisa atau tidakkah mereka memperoleh tanah. Dari sisi urgensi dan dampaknya, masyarakat pulau ini tidak menemukan alasan yang kuat perlunya korem/batalyon masuk Flores.
Alasan yang dikemukakan Dandim Ende M Shokil saat ini sama dengan yang dikemukakan pendahulunya Henu Basworo ketika menghadapi penolakan petani Desa Kuru tahun lalu. Yaitu strategi pertahanan negara dan peningkatan ekonomi masyarakat. Banyak ulasan di media ini yang menunjukkan alasan itu berlebihan.
Demkian juga dengan pernyataan bahwa kehadiran sebuah institusi resmi pertahanan negara di daerah mana pun harus diterima. Bicara soal pertahanan, tidak ada kompromi dengan masyarakat, katanya. Pertanyaan kita, apakah yang resmi itu selalu identik dengan kebenaran dan kebaikan? Bukankah banyak kesalahan bahkan kejahatan dan lebih daripada itu kejahatan sistemik justru dilakukan secara resmi? Terlalu banyak apa yang disebut dengan kejahatan negara terhadap warga.
Kita menginginkan rencana korem/batalyon masuk Flores perlu diujui secara kritis dan terbuka. Main mutlak-mutlakan tidak masanya lagi di era reformasi yang salah satu spiritnya adalah memberdayakan ‘masyarakat warga’ di hadapan kecongkakan ‘negara’. Tak boleh ada yang ditelan begitu saja, atas nama negara sekalipun.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 8 Januari 2008
Hentikan ‘Taktik Kepepet’
Oleh Frans Anggal
Daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk NTT 2008 naik 20,88 persen dari Rp6,205 triliun tahun lalu menjadi Rp10,704 triliun pada tahun ini. Kenaikan ini diharapkan memperlancar dan mempercepat gelinding roda pembangunan dalam menyejahterakan masyarakat.
Umumnya, tidak lancarnya pembangunan sering didalihkan pada terbatasnya anggaran. Hal ini bisa dibenarkan sejauh penggunaan anggaran sudah tepat prosedur, tepat waktu, dan tepat sasaran. Yang sering terjadi, sebaliknya. Anggaran dikeluhkan kurang, namun tidak dimanfaatkan optimal sesuai dengan target. Contoh, per 31 Oktober 2007 atau 10 bulan sejak DIPA dibagikan kepada pengguna anggaran, realisasi belanja negara yang terserap baru 67,3 persen dari pagu APBN Perubahan 2007.
Presiden SBY sendiri mengakui, dalam tiga tahun terakhir, daya serap anggaran masih belum optimal, baik dari segi waktu yang cenderung ditunda hingga mendekati penutupan tahun anggaran, maupun dari segi total penggunaan pagu anggaran. Hal tersebut disebabkan banyaknya dokumen penyelenggaraan anggaran yang tidak lengkap dan tidak tepat, bahkan sebelum dilaksanakan ada yang sudah direvisi. "Ini membuat tertundanya pelaksanaan anggaran dan mengurangi kualitas pelaksanaannya. Termasuk pemaksaan kegiatan secara terburu-buru pada akhir tahun."
Selain itu, ada potensi penyimpangan penggunaan anggaran akibat pencairan yang tiba-tiba dilakukan akhir tahun. Potensi itu terutama pada proyek-proyek pembangunan fisik seperti pembangunan gedung pemerintah.
Pencairan anggaran dalam jumlah besar pada akhir tahun juga akan mendorong laju inflasi karena tingginya jumlah uang beredar. Dari sisi pelaksanaan proyek, akan terjadi degradasi kualitas. Jangan kaget jika ada pembangunan jalan yang setahun kemudian rusak atau jembatan yang tiba-tiba ambruk hanya dalam waktu kurang dari setahun. Pembangunan proyek dilakukan asal-asalan karena rnengejar waktu untuk menghabiskan dana sebelum tahun anggaran berakhir. Semakin mepet pencairan dananya akan semakin rendah pula kualitas pengerjaan proyeknya.
Di NTT dan Flores khususnya, sudah menjadi pemandangan umum, hampir semua satuan kerja sangat sibuk di akhir tahun. Masyarakat tahu, para abdi negara ini tengah terburu-terburu menghabiskan anggaran. Malah diduga kuat, semuanya ini sengaja dikondisikan pada akhir tahun agar melalui kegiatan dadakan, anggaran yang belum terpakai bisa digelontorkan sebagiannya masuk kantong.
Kita mendesak ‘taktik kepepat’ ini segera dihentikan. Caranya, pemerintah pusat memberikan hukuman yang jelas dan tegas bagi semua satuan kerja yang tidak disiplin menggunakan anggaran.
"Bentara" FLORES POS, Senin 7 Januari 2008
Daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk NTT 2008 naik 20,88 persen dari Rp6,205 triliun tahun lalu menjadi Rp10,704 triliun pada tahun ini. Kenaikan ini diharapkan memperlancar dan mempercepat gelinding roda pembangunan dalam menyejahterakan masyarakat.
Umumnya, tidak lancarnya pembangunan sering didalihkan pada terbatasnya anggaran. Hal ini bisa dibenarkan sejauh penggunaan anggaran sudah tepat prosedur, tepat waktu, dan tepat sasaran. Yang sering terjadi, sebaliknya. Anggaran dikeluhkan kurang, namun tidak dimanfaatkan optimal sesuai dengan target. Contoh, per 31 Oktober 2007 atau 10 bulan sejak DIPA dibagikan kepada pengguna anggaran, realisasi belanja negara yang terserap baru 67,3 persen dari pagu APBN Perubahan 2007.
Presiden SBY sendiri mengakui, dalam tiga tahun terakhir, daya serap anggaran masih belum optimal, baik dari segi waktu yang cenderung ditunda hingga mendekati penutupan tahun anggaran, maupun dari segi total penggunaan pagu anggaran. Hal tersebut disebabkan banyaknya dokumen penyelenggaraan anggaran yang tidak lengkap dan tidak tepat, bahkan sebelum dilaksanakan ada yang sudah direvisi. "Ini membuat tertundanya pelaksanaan anggaran dan mengurangi kualitas pelaksanaannya. Termasuk pemaksaan kegiatan secara terburu-buru pada akhir tahun."
Selain itu, ada potensi penyimpangan penggunaan anggaran akibat pencairan yang tiba-tiba dilakukan akhir tahun. Potensi itu terutama pada proyek-proyek pembangunan fisik seperti pembangunan gedung pemerintah.
Pencairan anggaran dalam jumlah besar pada akhir tahun juga akan mendorong laju inflasi karena tingginya jumlah uang beredar. Dari sisi pelaksanaan proyek, akan terjadi degradasi kualitas. Jangan kaget jika ada pembangunan jalan yang setahun kemudian rusak atau jembatan yang tiba-tiba ambruk hanya dalam waktu kurang dari setahun. Pembangunan proyek dilakukan asal-asalan karena rnengejar waktu untuk menghabiskan dana sebelum tahun anggaran berakhir. Semakin mepet pencairan dananya akan semakin rendah pula kualitas pengerjaan proyeknya.
Di NTT dan Flores khususnya, sudah menjadi pemandangan umum, hampir semua satuan kerja sangat sibuk di akhir tahun. Masyarakat tahu, para abdi negara ini tengah terburu-terburu menghabiskan anggaran. Malah diduga kuat, semuanya ini sengaja dikondisikan pada akhir tahun agar melalui kegiatan dadakan, anggaran yang belum terpakai bisa digelontorkan sebagiannya masuk kantong.
Kita mendesak ‘taktik kepepat’ ini segera dihentikan. Caranya, pemerintah pusat memberikan hukuman yang jelas dan tegas bagi semua satuan kerja yang tidak disiplin menggunakan anggaran.
"Bentara" FLORES POS, Senin 7 Januari 2008
Jadikan Bekicot ‘Berkat’
Oleh Frans Anggal
Sejak awal November 2007 hama bekicot menyerang tanaman pangan dan hortikultura milik petani pada 12 desa di Kecamatan Klubagolit, Kabupaten Flotim. Pembasmian telah dilakukan secara mekanis, mengumpulkan dan memusnahkannya. Cara lain, dengan pestisida. Dinas pertanian telah mengirimkan 10 liter obat snail down.
Pembasmian dengan pestisida memang cepat dan mudah, namun efekenya buruk terhadap lingkungan. Pembasmian dengan cara mekanis memang ramah lingkungan namun lama dan menguras tenaga. Sampai saat ini belum banyak diketahui tentang hama atau penyakit yang dapat mematikan bekicot, kecuali semut, bebek, dan itik. Tak mengherankan, orang sengaja beternak bebek atau itik dengan tujuan ganda, selain mendapatkan daging dan terlur berkualitas, juga mengurangi populasi bekicot. Cara ini belum diterapkan di Flores.
Selain sebagai pakan ternak, bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap. Masyarakat yang menggemari makanan dari bahan baku bekicot (sate bekicot, keripik bekicot) adalah masyarakat Kediri. Bekicot juga kerap dipakai dalam pengobatan tradisional.
Di tengah kekurangan gizi, orang Flores bisa menoleh ke bekicot sebagai sumber protein hewani yang bemutu. Bekicot bisa pula dijadikan peluang meningkatkan pendapatan dengan cara budi daya. Pemeliharaan bekicot relatif mudah sebab dapat dikembangkan dengan cepat dan tanpa biaya pemeliharaan yang besar. Juga tidak memerlukan areal yang luas. Daging bekicot sangat digemari di luar negeri dan karena itu terbuka untuk ekspor. Pasokan daging bekicot beku yang diekspor selama ini kebanyakan diperoleh dengan mencari di lapangan, bukan dari hasil pemeliharaan secara khusus.
Sebagai salah satu komoditas ekspor, bekicot merupakan sumber devisa bagi negara. Pembudidayaannya merupakan sumber pendapatan peternak, mampu menyerap tenaga kerja, serta dapat memanfaatkan lahan pekarangan dan sampah organik maupun sisa-sisa sayur-mayur dari pasar-pasar yang jumlahnya cukup banyak.
Usaha budi daya ini tentu memerlukan acuan yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha kecil, pengusaha besar, dan perbankan. Untuk itu, perlu dibuat kajian tentang pola pembiayaan dalam rangka mendukung akses usaha kecil untuk dapat digunakan pihak-pihak terkait serta bank dalam mempertimbangkan kelayakan pembiayaan dan pinjaman.
Di tengah serangan hama bekicot yang bisa jadi semakin meluas di tahun-tahun mendatang, dinas-dinas berkompeten di lingkup pemkab di Flores ditatang untuk lebih kreatif dan inovatif membantu masyarakat, mengubah bekicot dari ‘kutukan’ menjadi ‘berkat’. Tak cukup menghadapi bekicot hanya sebagai musuh. Bukankah begitu?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 5 Januari 2008
Sejak awal November 2007 hama bekicot menyerang tanaman pangan dan hortikultura milik petani pada 12 desa di Kecamatan Klubagolit, Kabupaten Flotim. Pembasmian telah dilakukan secara mekanis, mengumpulkan dan memusnahkannya. Cara lain, dengan pestisida. Dinas pertanian telah mengirimkan 10 liter obat snail down.
Pembasmian dengan pestisida memang cepat dan mudah, namun efekenya buruk terhadap lingkungan. Pembasmian dengan cara mekanis memang ramah lingkungan namun lama dan menguras tenaga. Sampai saat ini belum banyak diketahui tentang hama atau penyakit yang dapat mematikan bekicot, kecuali semut, bebek, dan itik. Tak mengherankan, orang sengaja beternak bebek atau itik dengan tujuan ganda, selain mendapatkan daging dan terlur berkualitas, juga mengurangi populasi bekicot. Cara ini belum diterapkan di Flores.
Selain sebagai pakan ternak, bekicot merupakan sumber protein hewani yang bermutu tinggi karena mengandung asam-asam amino esensial yang lengkap. Masyarakat yang menggemari makanan dari bahan baku bekicot (sate bekicot, keripik bekicot) adalah masyarakat Kediri. Bekicot juga kerap dipakai dalam pengobatan tradisional.
Di tengah kekurangan gizi, orang Flores bisa menoleh ke bekicot sebagai sumber protein hewani yang bemutu. Bekicot bisa pula dijadikan peluang meningkatkan pendapatan dengan cara budi daya. Pemeliharaan bekicot relatif mudah sebab dapat dikembangkan dengan cepat dan tanpa biaya pemeliharaan yang besar. Juga tidak memerlukan areal yang luas. Daging bekicot sangat digemari di luar negeri dan karena itu terbuka untuk ekspor. Pasokan daging bekicot beku yang diekspor selama ini kebanyakan diperoleh dengan mencari di lapangan, bukan dari hasil pemeliharaan secara khusus.
Sebagai salah satu komoditas ekspor, bekicot merupakan sumber devisa bagi negara. Pembudidayaannya merupakan sumber pendapatan peternak, mampu menyerap tenaga kerja, serta dapat memanfaatkan lahan pekarangan dan sampah organik maupun sisa-sisa sayur-mayur dari pasar-pasar yang jumlahnya cukup banyak.
Usaha budi daya ini tentu memerlukan acuan yang dapat dimanfaatkan oleh pengusaha kecil, pengusaha besar, dan perbankan. Untuk itu, perlu dibuat kajian tentang pola pembiayaan dalam rangka mendukung akses usaha kecil untuk dapat digunakan pihak-pihak terkait serta bank dalam mempertimbangkan kelayakan pembiayaan dan pinjaman.
Di tengah serangan hama bekicot yang bisa jadi semakin meluas di tahun-tahun mendatang, dinas-dinas berkompeten di lingkup pemkab di Flores ditatang untuk lebih kreatif dan inovatif membantu masyarakat, mengubah bekicot dari ‘kutukan’ menjadi ‘berkat’. Tak cukup menghadapi bekicot hanya sebagai musuh. Bukankah begitu?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 5 Januari 2008
Jakarta Harus Bertobat
Oleh Frans Anggal
Salah satu tantangan serius Indonesia tahun ini adalah disintegrasi. Belum terlupakan, peristiwa heboh tahun lalu. Bendera Republik Maluku Selatan (RMS) berkibar di depan presiden di Maluku. Begitu juga, bendera Bintang Kejora muncul dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua. Ribuan orang hadir berteriak 'Merdeka ...!'Masalah disintegrasi dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, kekejian dan ketidakadilan penguasa. Kini, mayoritas rakyat hidup dalam impitan berbagai kesulitan. Otonomi daerah hanya mengalihkan korupsi dari pusat ke daerah. Kedua, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, bertemulah mereka dengan gagasan HAM, kebebasan, otonomi daerah, dan lain-lain yang dipandang sebagai penyelamat. Ketiga, adanya campur tangan dunia internasional.
Yang paling serius saat ini adalah kasus Papua. Berawal dari UU No.11 Tahun 1967 tentang pertambangan asing. UU ini menjadi alat utama bagi perbudakan yang dilakukan sejumlah aset internasional di Papua. Betapapun penjarahan aset rakyat tampak mengerikan, negara dari kepemimpinan lima presiden tidak memihak pada penyelesaian masalah. Negara menikmati pertumbuhan dari harta dan nyawa penduduk pemilik ulayat.
Soeharto selama 32 tahun menganakemaskan Freeport dan menganaktirikan orang Papua. Reformasi 1998 tak banyak mengubahnya. Rezim takluk di bawah kedaulatan kapitalis. Megawati mengizinkan perusahaan gas British Petroleum beroperasi di Bintuni, setelah terjadi penggusuran masyarakat agar mengungsi ke tempat lain. Susilo Bambang Yudhoyono kembali memihak Freeport dengan menempakan satuan-satuan militer bagi pertahanan keamanan di Freeport, dan kembali memihak Freeport dengan menyatakan Freeport tidak tutup (Maret 2006).
Syukurlah, kasus Papua mendapat perhatian internasional. Isu yang selalu mendapat sorotan adalah masalah HAM. Utusan khusus Sekjen PBB urusan HAM, Hina Jilani, datang ke Aceh dan Papua, seraya mengatakan, "Saya tunggu reaksi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM" (15/6/2007). PBB pun mengirimkn 'pelapor khusus', Manfred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan 'penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan hukum'. Rekomendasinya dilaporkan ke Dewan HAM PBB. Sampai akhir 2007 ia telah mengeluarkan 13 ’rekomendasi’.
Pada 5 Juli 2007, saat berada di Jakarta, Ketua Subkomite Asia Pasifik Kongres AS, Eni Faleomavaega, mengatakan, "Saya memang pernah katakan, kalau pemerintah Indonesia tidak bisa perlakukan Papua secara layak, berikanlah kemerdekaan. Saya tidak mengingkarinya." Inilah sesungguhnya kunci penyelesaian masalah. Memperlakukan daerah secara layak. Jakarta harus bertobat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 4 Januari 2008
Salah satu tantangan serius Indonesia tahun ini adalah disintegrasi. Belum terlupakan, peristiwa heboh tahun lalu. Bendera Republik Maluku Selatan (RMS) berkibar di depan presiden di Maluku. Begitu juga, bendera Bintang Kejora muncul dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua. Ribuan orang hadir berteriak 'Merdeka ...!'Masalah disintegrasi dapat dilihat dari tiga sisi. Pertama, kekejian dan ketidakadilan penguasa. Kini, mayoritas rakyat hidup dalam impitan berbagai kesulitan. Otonomi daerah hanya mengalihkan korupsi dari pusat ke daerah. Kedua, ketika rakyat merasa diperlakukan tidak adil, bertemulah mereka dengan gagasan HAM, kebebasan, otonomi daerah, dan lain-lain yang dipandang sebagai penyelamat. Ketiga, adanya campur tangan dunia internasional.
Yang paling serius saat ini adalah kasus Papua. Berawal dari UU No.11 Tahun 1967 tentang pertambangan asing. UU ini menjadi alat utama bagi perbudakan yang dilakukan sejumlah aset internasional di Papua. Betapapun penjarahan aset rakyat tampak mengerikan, negara dari kepemimpinan lima presiden tidak memihak pada penyelesaian masalah. Negara menikmati pertumbuhan dari harta dan nyawa penduduk pemilik ulayat.
Soeharto selama 32 tahun menganakemaskan Freeport dan menganaktirikan orang Papua. Reformasi 1998 tak banyak mengubahnya. Rezim takluk di bawah kedaulatan kapitalis. Megawati mengizinkan perusahaan gas British Petroleum beroperasi di Bintuni, setelah terjadi penggusuran masyarakat agar mengungsi ke tempat lain. Susilo Bambang Yudhoyono kembali memihak Freeport dengan menempakan satuan-satuan militer bagi pertahanan keamanan di Freeport, dan kembali memihak Freeport dengan menyatakan Freeport tidak tutup (Maret 2006).
Syukurlah, kasus Papua mendapat perhatian internasional. Isu yang selalu mendapat sorotan adalah masalah HAM. Utusan khusus Sekjen PBB urusan HAM, Hina Jilani, datang ke Aceh dan Papua, seraya mengatakan, "Saya tunggu reaksi pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM" (15/6/2007). PBB pun mengirimkn 'pelapor khusus', Manfred Nowak, ke Indonesia untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan 'penyiksaan, kekejaman, perlakuan tidak manusiawi, merendahkan hukum'. Rekomendasinya dilaporkan ke Dewan HAM PBB. Sampai akhir 2007 ia telah mengeluarkan 13 ’rekomendasi’.
Pada 5 Juli 2007, saat berada di Jakarta, Ketua Subkomite Asia Pasifik Kongres AS, Eni Faleomavaega, mengatakan, "Saya memang pernah katakan, kalau pemerintah Indonesia tidak bisa perlakukan Papua secara layak, berikanlah kemerdekaan. Saya tidak mengingkarinya." Inilah sesungguhnya kunci penyelesaian masalah. Memperlakukan daerah secara layak. Jakarta harus bertobat.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 4 Januari 2008
Pulihkan Kepercayaan Rakyat
Oleh Frans Anggal
Hari ini hari ketiga tahun 2008. Kita memasukinya dengan endapan perpolitikan masa lalu yang kusam. Survei yang dilakukan tahun 2007 menunjukkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada seluruh lembaga kenegaraan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Wakil rakyat tidak mencerminkan kehendak rakyat. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2007 tentang representasi aspirasi menunjukkan kesenjangan cukup besar aspirasi pemilih dengan sikap dan tindakan partai politik. Sebanyak 65% publik menyatakan partai politik tidak mewakili aspirasi mereka untuk berbagai isu publik. Hanya sekitar 35% aspirasi pemilih yang dipersepsikan terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Rakyat menilai anggota legislatif lebih mementingkan diri dan partainya daripada rakyat. Tercermin, di saat rakyat harus antre mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan beras murah, dan berbagai kesulitan hidup lainnya, anggota DPR(D) malah membuang-buang uang untuk alasan studi banding, tambahan uang representasi, renovasi rumah, dan sebagainya.
Kepercayaan kepada eksekutif juga menurun. LSI menemukan kepuasan publik terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus menurun dari 80% pada November 2004 menjadi 54% pada Oktober 2007. Sentimen elektoral terhadap Presiden SBY juga turun dari 47% pada Oktober 2006 menjadi 33% pada Oktober 2007. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang semula diharapkan lebih aspiratif, ternyata tidak. Pilkada dengan calon dari partai pada kenyataannya hanya meloloskan calon yang punya uang. Dalam jajak pendapat Kompas diketahui praktik politik uang dalam proses pencalonan dalam pilkada sangat parah (53,5%), ketidakyakinan kepala daerah mampu memberantas korupsi (66,6%), calon kepala daerah tidak bebas dari politik uang (73,8%). Ini bukti, 'pesta demokrasi' hanyalah industri politik. Hakikat demokrasi kita adalah pemerintahan atas dasar uang.
Kepercayaan pada lembaga peradilan juga sama. Hasil suvei Litbang Media Group menyatakan kinerja hakim agung di MA tidak memuaskan (71%), korupsi di MA makin meningkat (54%), pemberantasan korupsi di MA tidak sungguh-sungguh (78%), peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). Laporan TII menempatkan peradilan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Empat dari sepuluh kasus di Indonesia harus menyuap demi memperoleh keadilan. Pengadilan dipersepsikan meminta suap hingga 100%, bea cukai 95%, imigrasi 90%, polisi 78%, pajak 76%.
Itulah endapan kusam perpolitikan 2007. Agenda terpenting 2008 adalah memulihkan kepercayaan rakyat yang sudah menurun itu. Para elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus menempatkan kembali kedaulatan rayat di atas kedaulatan uang.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 3 Januari 2008
Hari ini hari ketiga tahun 2008. Kita memasukinya dengan endapan perpolitikan masa lalu yang kusam. Survei yang dilakukan tahun 2007 menunjukkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada seluruh lembaga kenegaraan, baik legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Wakil rakyat tidak mencerminkan kehendak rakyat. Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun 2007 tentang representasi aspirasi menunjukkan kesenjangan cukup besar aspirasi pemilih dengan sikap dan tindakan partai politik. Sebanyak 65% publik menyatakan partai politik tidak mewakili aspirasi mereka untuk berbagai isu publik. Hanya sekitar 35% aspirasi pemilih yang dipersepsikan terwakili oleh sikap dan perilaku tujuh partai politik besar. Rakyat menilai anggota legislatif lebih mementingkan diri dan partainya daripada rakyat. Tercermin, di saat rakyat harus antre mendapatkan minyak, kesulitan mendapatkan beras murah, dan berbagai kesulitan hidup lainnya, anggota DPR(D) malah membuang-buang uang untuk alasan studi banding, tambahan uang representasi, renovasi rumah, dan sebagainya.
Kepercayaan kepada eksekutif juga menurun. LSI menemukan kepuasan publik terhadap pemerintah dalam 3 tahun terakhir terus menurun dari 80% pada November 2004 menjadi 54% pada Oktober 2007. Sentimen elektoral terhadap Presiden SBY juga turun dari 47% pada Oktober 2006 menjadi 33% pada Oktober 2007. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang semula diharapkan lebih aspiratif, ternyata tidak. Pilkada dengan calon dari partai pada kenyataannya hanya meloloskan calon yang punya uang. Dalam jajak pendapat Kompas diketahui praktik politik uang dalam proses pencalonan dalam pilkada sangat parah (53,5%), ketidakyakinan kepala daerah mampu memberantas korupsi (66,6%), calon kepala daerah tidak bebas dari politik uang (73,8%). Ini bukti, 'pesta demokrasi' hanyalah industri politik. Hakikat demokrasi kita adalah pemerintahan atas dasar uang.
Kepercayaan pada lembaga peradilan juga sama. Hasil suvei Litbang Media Group menyatakan kinerja hakim agung di MA tidak memuaskan (71%), korupsi di MA makin meningkat (54%), pemberantasan korupsi di MA tidak sungguh-sungguh (78%), peradilan di Indonesia dikuasai mafia peradilan (73%). Laporan TII menempatkan peradilan sebagai lembaga terkorup di Indonesia. Empat dari sepuluh kasus di Indonesia harus menyuap demi memperoleh keadilan. Pengadilan dipersepsikan meminta suap hingga 100%, bea cukai 95%, imigrasi 90%, polisi 78%, pajak 76%.
Itulah endapan kusam perpolitikan 2007. Agenda terpenting 2008 adalah memulihkan kepercayaan rakyat yang sudah menurun itu. Para elite legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus menempatkan kembali kedaulatan rayat di atas kedaulatan uang.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 3 Januari 2008
21 Februari 2009
Tahun Baru, Panyakit Lama?
Oleh Frans Anggal
Hari ini, Senin 31 Desember, hari terakhir 2007. Tahun lama berlalu, tahun baru pun kita masuki. Sayang kalau cuma tahunnya yang baru. Bawaan kita oleh jadi masih yang itu-itu juga: ‘penyakit lama’, ‘penyakit turunan’ yang tak kunjung sembuh. Kemiskinan dan korupsi. Penyakit kelas bawah dan penyakit kelas atas.
Selama 2007, rakyat miskin masih banyak. Bank Dunia menyatakan penduduk miskin Indonesia tetap di atas 100 juta atau 42,6%. Di bidang ketenagakerjaan, pengangguran 40-an juta telah menjadi ancaman buat ASEAN. Di bidang perumahan, masih ada 13 juta rumah tak layak huni. Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran hanya 11,85% dari mandat 20 %. Pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak miskin yang putus sekolah. Education Watch Indonesia menyatakan siswa putus sekolah mencapai 36,73%.
Upaya pemerintah kurang berhasil. Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat, belum juga sukses. Hanya satu jalan, pemerintah harus mampu menggerakkan sektor riil.
Penyakit kedua adalah korupsi. Parahnya korupsi dibuktikan oleh hasil survei 2007 yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Posisi ini menegaskan Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika dan negara tetangga Papua Nugini, yang juga sama-sama menempati urutan 130 dunia. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia meningkat dan masuk dalam negara yang dipersepsikan terkorup di dunia.
Jelas terlihat, korupsi di Indonesia bersifat endemik, sistematik, dan menyebar luas (wide spread). Perilaku korup birokrat belum berubah. Penanganannya pun belum membuahkan hasil signifikan.
Korupsi di negeri ini disuburkan oleh sistem perselingkuhan kepentingan ekonomi dan politik para birokrat, pengurus partai politik, dan pemilik modal. Juga karena integritas pribadi para pejabat.
Sebanyak dan sebagus apa pun aturan untuk memberantas korupsi, semuanya sia-sia jika pelakunya tetap rakus. Sejak era reformasi saja telah dibuat 2 TAP MPR, 5 UU, 5 PP, 1 kepres, dan 1 inpres tentang korupsi. Tapi praktik korupsi tetap saja berjalan. Bahkan ada kesan UU yang dibuat justru melindungi para koruptor. Gagalnya penanganan kasus korupsi juga dipicu oleh rendahnya integritas para penegak hukum. Korupsi raksasa diselesaikan secara politik. Aneh.
Kita memasuki tahun baru 2008. Sanggupkan kita memberantas dua ‘penyakit lama’ ini? Mari berusaha, mulai dari diri kita masing-masing.
"Bentara" FLORES POS, Senin 31 Desember 2007
Hari ini, Senin 31 Desember, hari terakhir 2007. Tahun lama berlalu, tahun baru pun kita masuki. Sayang kalau cuma tahunnya yang baru. Bawaan kita oleh jadi masih yang itu-itu juga: ‘penyakit lama’, ‘penyakit turunan’ yang tak kunjung sembuh. Kemiskinan dan korupsi. Penyakit kelas bawah dan penyakit kelas atas.
Selama 2007, rakyat miskin masih banyak. Bank Dunia menyatakan penduduk miskin Indonesia tetap di atas 100 juta atau 42,6%. Di bidang ketenagakerjaan, pengangguran 40-an juta telah menjadi ancaman buat ASEAN. Di bidang perumahan, masih ada 13 juta rumah tak layak huni. Pada sektor pendidikan, alokasi anggaran hanya 11,85% dari mandat 20 %. Pemerintah tidak peduli dengan banyaknya anak miskin yang putus sekolah. Education Watch Indonesia menyatakan siswa putus sekolah mencapai 36,73%.
Upaya pemerintah kurang berhasil. Jaring Pengaman Sosial (JPS), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Askeskin dan Bantuan Tunai Langsung (BLT), yang mulai 2008 diganti dengan Subsidi Tunai Bersyarat, belum juga sukses. Hanya satu jalan, pemerintah harus mampu menggerakkan sektor riil.
Penyakit kedua adalah korupsi. Parahnya korupsi dibuktikan oleh hasil survei 2007 yang dikeluarkan Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Hong Kong, yang menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup kedua di Asia atau sejajar dengan Thailand. Posisi ini menegaskan Indonesia tidak lebih baik dari negara-negara benua Afrika dan negara tetangga Papua Nugini, yang juga sama-sama menempati urutan 130 dunia. Menurut laporan Transparency International Indonesia (TII), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 2,4 di tahun 2006 menjadi 2,3 di tahun 2007. Artinya, tingkat korupsi di Indonesia meningkat dan masuk dalam negara yang dipersepsikan terkorup di dunia.
Jelas terlihat, korupsi di Indonesia bersifat endemik, sistematik, dan menyebar luas (wide spread). Perilaku korup birokrat belum berubah. Penanganannya pun belum membuahkan hasil signifikan.
Korupsi di negeri ini disuburkan oleh sistem perselingkuhan kepentingan ekonomi dan politik para birokrat, pengurus partai politik, dan pemilik modal. Juga karena integritas pribadi para pejabat.
Sebanyak dan sebagus apa pun aturan untuk memberantas korupsi, semuanya sia-sia jika pelakunya tetap rakus. Sejak era reformasi saja telah dibuat 2 TAP MPR, 5 UU, 5 PP, 1 kepres, dan 1 inpres tentang korupsi. Tapi praktik korupsi tetap saja berjalan. Bahkan ada kesan UU yang dibuat justru melindungi para koruptor. Gagalnya penanganan kasus korupsi juga dipicu oleh rendahnya integritas para penegak hukum. Korupsi raksasa diselesaikan secara politik. Aneh.
Kita memasuki tahun baru 2008. Sanggupkan kita memberantas dua ‘penyakit lama’ ini? Mari berusaha, mulai dari diri kita masing-masing.
"Bentara" FLORES POS, Senin 31 Desember 2007
Mapala Harus Bangkit
Oleh Frans Anggal
Para mahasiswa asal Manggarai yang tengah studi di Ende menghutankan kembali Golowelu dengan menanam 1.500 anakan mahoni yang disiapkan pemerintah. Hutan Golowelu dipilih karena merupakan sumber mata air bagi beberapa kecamatan. Selain aksi lapangan, mereka juga menggelar seminar tentang peran masyarakat melestarikan hutan.
Menarik bahwa para mahasiswa ini ‘hanyalah’ perhimpunan ‘biasa’. Lazimnya, kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan alam menjadi kesibukan ‘kelompok pencinta alam’ (KPA). Di kalangan mahasiswa dinamakan ‘mapala’ (mahasiswa pencinta alam), sedangkan di kalangan pelajar disebut ‘sispala’ (siswa pencinta alam). Sejauh ini belum ada kegiatan yang berarti seperti ini yang dilakukan mapala dan sispala di Flores. Umumnya kegiatan mereka sebatas hobi, mendaki gunung, menikmati indahnya alam, berpotret, lalu meninggalkan coretan iseng pada batu atau pohon.
Padahal, dalam sejarahnya di Indonesia, mapala bukan sekadar kumpulan mahasiswa iseng. Almarhum Soe Hok Gie, anggota Mapala UI yang juga aktivis mahasiswa Angkatan ’66, pergi ke gunung selain untuk menikmati alam, juga untuk mengetahui kondisi masyarakat pedesaan. Saat ini yang banyak terlihat justru kalangan LSM lingkungan. Mereka melakukan pembelaan melawan perusakan lingkungan hidup. Sementara mapala semakin tak diketahui rimbanya. Kalaupun muncul, tunggu pada momen tertentu seperti pada Hari Bumi (22 April).
Di tengah kegelisahan dunia akan perubahan iklim akibat pemanasan global, semestinya peran mapala semakin mengemuka. Tapi, adakah mapala dari sekian banyak perguruan tinggi di Flores? Kalau ada, apa yang sudah mereka lakukan? Apakah mereka sudah berbuat seperti yang dilakukan sesama mahasiswa di hutan Golowelu yang notabene bukan kelompok mapala?
Kita beharap lahir banyak mapala di Flores. Yakni mapala yang merupakan salah satu unsur masyarakat sipil yang selalu berinteraksi dengan alam. Mapala yang, karena kedekatannya dengan alam, selalu mewacanakan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkeadilan.
Dengan demikian, mapala mempunyai posisi penting dalam membina generasi muda. Sayangnya, dalam tataran politik lingkungan, kelompok ini cenderung apolitis. Secara keseluruhan, mereka belum memperlihatkan sinergi gerakan yang dinamis. Sepertinya belum ada pemikiran taktis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Mereka juga apatis dalam advokasi bagi korban pencemaran lingkungan atau penolakan rencana pembangunan yang merusak alam. Kini saatnya mereka harus bangkit.
"Bentara" FLORESPOS, Sabtu 29 Desember 2007
Para mahasiswa asal Manggarai yang tengah studi di Ende menghutankan kembali Golowelu dengan menanam 1.500 anakan mahoni yang disiapkan pemerintah. Hutan Golowelu dipilih karena merupakan sumber mata air bagi beberapa kecamatan. Selain aksi lapangan, mereka juga menggelar seminar tentang peran masyarakat melestarikan hutan.
Menarik bahwa para mahasiswa ini ‘hanyalah’ perhimpunan ‘biasa’. Lazimnya, kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan alam menjadi kesibukan ‘kelompok pencinta alam’ (KPA). Di kalangan mahasiswa dinamakan ‘mapala’ (mahasiswa pencinta alam), sedangkan di kalangan pelajar disebut ‘sispala’ (siswa pencinta alam). Sejauh ini belum ada kegiatan yang berarti seperti ini yang dilakukan mapala dan sispala di Flores. Umumnya kegiatan mereka sebatas hobi, mendaki gunung, menikmati indahnya alam, berpotret, lalu meninggalkan coretan iseng pada batu atau pohon.
Padahal, dalam sejarahnya di Indonesia, mapala bukan sekadar kumpulan mahasiswa iseng. Almarhum Soe Hok Gie, anggota Mapala UI yang juga aktivis mahasiswa Angkatan ’66, pergi ke gunung selain untuk menikmati alam, juga untuk mengetahui kondisi masyarakat pedesaan. Saat ini yang banyak terlihat justru kalangan LSM lingkungan. Mereka melakukan pembelaan melawan perusakan lingkungan hidup. Sementara mapala semakin tak diketahui rimbanya. Kalaupun muncul, tunggu pada momen tertentu seperti pada Hari Bumi (22 April).
Di tengah kegelisahan dunia akan perubahan iklim akibat pemanasan global, semestinya peran mapala semakin mengemuka. Tapi, adakah mapala dari sekian banyak perguruan tinggi di Flores? Kalau ada, apa yang sudah mereka lakukan? Apakah mereka sudah berbuat seperti yang dilakukan sesama mahasiswa di hutan Golowelu yang notabene bukan kelompok mapala?
Kita beharap lahir banyak mapala di Flores. Yakni mapala yang merupakan salah satu unsur masyarakat sipil yang selalu berinteraksi dengan alam. Mapala yang, karena kedekatannya dengan alam, selalu mewacanakan paradigma pengelolaan sumber daya alam yang arif dan berkeadilan.
Dengan demikian, mapala mempunyai posisi penting dalam membina generasi muda. Sayangnya, dalam tataran politik lingkungan, kelompok ini cenderung apolitis. Secara keseluruhan, mereka belum memperlihatkan sinergi gerakan yang dinamis. Sepertinya belum ada pemikiran taktis dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak ramah lingkungan. Mereka juga apatis dalam advokasi bagi korban pencemaran lingkungan atau penolakan rencana pembangunan yang merusak alam. Kini saatnya mereka harus bangkit.
"Bentara" FLORESPOS, Sabtu 29 Desember 2007
Surga Pencuri Berdasi
Oleh Frans Anggal
Partai Golkar Lembata menyatakan, perjalanan dinas ke luar daerah dimononopoli para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Temuan BPK, selama 2006, bupati Lembata melakukan perjalanan dinas ke luar daerah 25 kali (151 hari), wakil bupati 9 kali (60 hari), sekda 13 kali (101 hari), asisten ketataprajaan 13 kali (79 hari), asisten ekonomi pembangunan 12 kali (76 hari), asisten administrasi 18 kali (116 hari), kadis kesehatan 12 kali (80 hari).
Selain frekuensi dan jumlah harinya mencengangkan, para ‘pejalan’ itu menerima dana melebihi jumlah yang seharusnya. Bupati terima Rp119,7 juta dari seharusnya Rp44,5 juta. Wakil bupati Rp32,5 juta dari seharusnya Rp16,8 juta. Sekda Rp53 juta dari seharusnya Rp19,8 juta. Asisten eknomi pembangunan Rp20 juta dari seharusnya Rp11,1 juta. Asisten adminstrasi Rp45,4 juta dari seharusnya Rp23 juta. Kadis kesehatan Rp22,5 juta dari seharusnya 15,6 juta.
Cerita tentang para ‘pejalan’ di Lembata itu hanya gambaran kecil betapa dana anggaran daerah telah menjadi lahan empuk bagi pelaksana pemerintah di daerah. Mereka, para gubernur, bupati, dan walikota dengan alasan otonomi seolah berhak “mengolah” keuangan di daerahnya. Semuanya berjalan mulus karena DPRD juga terlibat. Simulasinya kira-kira seperti ini: para gubernur, bupati atau walikota berkepentingan agar semua keputusannya untuk penggunaan dana APBD mendapat stempel dari para wakil rakyat, sementara para anggota DPRD yang seharusnya mengawasi penggunaan dana itu juga merasa perlu mendapat bagian. Argumen dan modusnya banyak. Mulai dari uang perjalanan dinas, uang rapat, uang kunjungan, tunjangan-tunjangan jabatan hingga polis asuransi, yang nilainya seringkali melebihi nilai anggaran untuk publik.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Fitra menemukan 10 modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 modus korupsi yang berpeluang digunakan oleh anggota eksekutif dan legislatif di daerah. Tapi secara umum, hasil penelitian dua lembaga itu punya kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak dari perencanaan (usulan).
Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran, telah disalahgunakan. Sementara, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tak heran jika kemudian wewenang besar itu justru melahirkan banyak penyimpangan. Masyarakat kaget ketika para kepala daerah dan ratusan anggota DPRD di hampir seluruh Indonesia berurusan dengan hukum karena memindahkan dana APBD ke kantong pribadi. Semestinya jangan kaget. Negeri ini surga para pencuri berdasi.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 28 Desember 2007
Partai Golkar Lembata menyatakan, perjalanan dinas ke luar daerah dimononopoli para kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Temuan BPK, selama 2006, bupati Lembata melakukan perjalanan dinas ke luar daerah 25 kali (151 hari), wakil bupati 9 kali (60 hari), sekda 13 kali (101 hari), asisten ketataprajaan 13 kali (79 hari), asisten ekonomi pembangunan 12 kali (76 hari), asisten administrasi 18 kali (116 hari), kadis kesehatan 12 kali (80 hari).
Selain frekuensi dan jumlah harinya mencengangkan, para ‘pejalan’ itu menerima dana melebihi jumlah yang seharusnya. Bupati terima Rp119,7 juta dari seharusnya Rp44,5 juta. Wakil bupati Rp32,5 juta dari seharusnya Rp16,8 juta. Sekda Rp53 juta dari seharusnya Rp19,8 juta. Asisten eknomi pembangunan Rp20 juta dari seharusnya Rp11,1 juta. Asisten adminstrasi Rp45,4 juta dari seharusnya Rp23 juta. Kadis kesehatan Rp22,5 juta dari seharusnya 15,6 juta.
Cerita tentang para ‘pejalan’ di Lembata itu hanya gambaran kecil betapa dana anggaran daerah telah menjadi lahan empuk bagi pelaksana pemerintah di daerah. Mereka, para gubernur, bupati, dan walikota dengan alasan otonomi seolah berhak “mengolah” keuangan di daerahnya. Semuanya berjalan mulus karena DPRD juga terlibat. Simulasinya kira-kira seperti ini: para gubernur, bupati atau walikota berkepentingan agar semua keputusannya untuk penggunaan dana APBD mendapat stempel dari para wakil rakyat, sementara para anggota DPRD yang seharusnya mengawasi penggunaan dana itu juga merasa perlu mendapat bagian. Argumen dan modusnya banyak. Mulai dari uang perjalanan dinas, uang rapat, uang kunjungan, tunjangan-tunjangan jabatan hingga polis asuransi, yang nilainya seringkali melebihi nilai anggaran untuk publik.
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran atau Fitra menemukan 10 modus penyalahgunaan dana APBD. Menurut The Habibie Center ada 20 modus korupsi yang berpeluang digunakan oleh anggota eksekutif dan legislatif di daerah. Tapi secara umum, hasil penelitian dua lembaga itu punya kesamaan: anggaran daerah sudah berpeluang dikorup sejak dari perencanaan (usulan).
Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang memberi kekuasaan besar untuk mengatur daerah, termasuk hak untuk mengatur anggaran, telah disalahgunakan. Sementara, undang-undang tersebut tidak mengatur mekanisme pertanggungjawaban yang transparan kepada publik. Tak heran jika kemudian wewenang besar itu justru melahirkan banyak penyimpangan. Masyarakat kaget ketika para kepala daerah dan ratusan anggota DPRD di hampir seluruh Indonesia berurusan dengan hukum karena memindahkan dana APBD ke kantong pribadi. Semestinya jangan kaget. Negeri ini surga para pencuri berdasi.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 28 Desember 2007
Butuhkan Martir Politik
Oleh Frans Anggal
Ada yang menarik dari Natal. Hanya sehari setelah perayaan kelahiran Yesus (25 Desember), Gereja memperingati kematian Santo Stefanus martir pertama (26 Desember).
Stefanus berarti mahkota. Ia adalah pengikut Yesus yang pertama menerima mahkota kemartiran. Ia satu dari tujuh diakon pada masa Gereja perdana yang bertugas menolong para janda serta kaum miskin. Stefanus sangat menonjol karena kemampuanya berbicara dengan khidmat. Para musuh Gereja geram melihat berhasilnya Stefanus memikat banyak orang menjadi pengikut Yesus. Akhirnya, mereka bersekongkol mendakwa dia. Mereka memerintahkan beberapa orang untuk bersaksi dusta di pengadilan Sanhedrin. Mereka mendakwa Stefanus telah menghujat Nabi Musa dan Allah serta menentang Bait Allah dan Hukum Taurat. Namun Stefanus tidak gentar, ia tetap bersaksi tentang Yesus. Akhirnya Stefanus dijatuhi hukuman mati. Para musuh menyeret dia ke luar kota Yerusalem dan melemparinya dengan batu hingga tewas. Karena kemartirannya itulah, Stefanus digelar kudus.
Menemukan ‘Stefanus’ di masa kini pasti sulit. Tapi menemukan kemartiran, pasti bisa. Bahkan kemartiran itu suatu keharusan bila pemahaman kita diubah dari pemahaman tradisional. Gereja Katolik menggunakan sebutan martir untuk laki-laki dan perempuan yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur demi membela iman. Pemahaman kemartiran tradisional ini mengesampingkan mereka yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur bukan pertama-tama karena membela iman. Mereka itu pribadi-pribadi sederhana, kebanyakan di luar hierarki Gereja, yang mengalami kematian prematur karena solider dengan yang miskin dan mengalami ketidakadilan. Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, menamakan mereka martir politik.
Martir politik adalah sebutan kontemporer yang sejatinya meneruskan tradisi kemartiran Yesus dalam Kitab Suci. Hierarki politik dan religius yang memeluk “illah kematian” membunuh Yesus karena Ia memeluk “Allah kehidupan” dan rakyat tersalib. Yesus menampilkan pribadi Allah yang mengutuk kedosaan dunia yang menyebabkan kematian prematur putra-putri terkasih-Nya. Martir kontemporer berpartisipasi dalam realitas Allah secara aktif atau pasif. Mereka mengalami penderitaan bahkan kematian prematur di dunia kriminal. Penderitaan dan kematian prematur mereka mengekspresikan penderitaan dunia kita saat ini.
Sobrino mengundang masyarakat, terutama hierarki agama, untuk membuka mata dan hati terhadap panggilan tak pernah kunjung henti dari rakyat tersalib. Beriman kepada Allah zaman ini berarti berkolaborasi dengan ”Allah kehidupan” melawan kriminalitas negara yang memuja “illah kematian”. Negeri ini membutuhkan martir politik.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 27 Desember 2007
Ada yang menarik dari Natal. Hanya sehari setelah perayaan kelahiran Yesus (25 Desember), Gereja memperingati kematian Santo Stefanus martir pertama (26 Desember).
Stefanus berarti mahkota. Ia adalah pengikut Yesus yang pertama menerima mahkota kemartiran. Ia satu dari tujuh diakon pada masa Gereja perdana yang bertugas menolong para janda serta kaum miskin. Stefanus sangat menonjol karena kemampuanya berbicara dengan khidmat. Para musuh Gereja geram melihat berhasilnya Stefanus memikat banyak orang menjadi pengikut Yesus. Akhirnya, mereka bersekongkol mendakwa dia. Mereka memerintahkan beberapa orang untuk bersaksi dusta di pengadilan Sanhedrin. Mereka mendakwa Stefanus telah menghujat Nabi Musa dan Allah serta menentang Bait Allah dan Hukum Taurat. Namun Stefanus tidak gentar, ia tetap bersaksi tentang Yesus. Akhirnya Stefanus dijatuhi hukuman mati. Para musuh menyeret dia ke luar kota Yerusalem dan melemparinya dengan batu hingga tewas. Karena kemartirannya itulah, Stefanus digelar kudus.
Menemukan ‘Stefanus’ di masa kini pasti sulit. Tapi menemukan kemartiran, pasti bisa. Bahkan kemartiran itu suatu keharusan bila pemahaman kita diubah dari pemahaman tradisional. Gereja Katolik menggunakan sebutan martir untuk laki-laki dan perempuan yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur demi membela iman. Pemahaman kemartiran tradisional ini mengesampingkan mereka yang mengalami penganiayaan dan kematian prematur bukan pertama-tama karena membela iman. Mereka itu pribadi-pribadi sederhana, kebanyakan di luar hierarki Gereja, yang mengalami kematian prematur karena solider dengan yang miskin dan mengalami ketidakadilan. Jon Sobrino, teolog pembebasan terkemuka dari El Salvador, menamakan mereka martir politik.
Martir politik adalah sebutan kontemporer yang sejatinya meneruskan tradisi kemartiran Yesus dalam Kitab Suci. Hierarki politik dan religius yang memeluk “illah kematian” membunuh Yesus karena Ia memeluk “Allah kehidupan” dan rakyat tersalib. Yesus menampilkan pribadi Allah yang mengutuk kedosaan dunia yang menyebabkan kematian prematur putra-putri terkasih-Nya. Martir kontemporer berpartisipasi dalam realitas Allah secara aktif atau pasif. Mereka mengalami penderitaan bahkan kematian prematur di dunia kriminal. Penderitaan dan kematian prematur mereka mengekspresikan penderitaan dunia kita saat ini.
Sobrino mengundang masyarakat, terutama hierarki agama, untuk membuka mata dan hati terhadap panggilan tak pernah kunjung henti dari rakyat tersalib. Beriman kepada Allah zaman ini berarti berkolaborasi dengan ”Allah kehidupan” melawan kriminalitas negara yang memuja “illah kematian”. Negeri ini membutuhkan martir politik.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 27 Desember 2007
Sehijau Pohon Natal
Oleh Frans Anggal
Ada suatu kebiasaan yang sudah mendunia menjelang Natal. Memasang pohon Natal sebagai dekorasi. Pohon Natal umumnya dari cemara atau mengadaptasi bentuk cemara. Kebiasaan ini berawal di Jerman abad ke-16.
Saat penduduk Jerman menyebar ke berbagai wilayah termasuk Amerika, mereka kerap memasang cemara yang tergolong pohon evergreen untuk dekorasi Natal di dalam rumah. Orang Jerman di Pennsylvania Amerika Serikat memajang pohon Natal untuk pertama kalinya pada 1830-an.
Pohon (cemara) Natal bukanlah keharusan dari Gereja. Ini hanya simbol agar kehidupan rohani selalu bertumbuh dan menjadi saksi indah bagi orang lain. Sebagai pohon evergreen, cemara melambangkan hidup kekal, sebab pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok, kecuali cemara yang tetap hijau.
Kini pemasangan cemara, baik asli maupun tiruan, di gereja, rumah, tengah kota, dan tempat-tempat umum sudah menjadi pemandangan biasa menjelang Natal. Bisakah yang biasa ini menjadi luar biasa? Mengapa tidak! Di tengah keprihatinan dunia akan perubahan iklim yang dipicu pemanasan global, pohon Natal diharapkan menjadi simbol kebangkitan untuk segera menyelamatkan dunia dan kehidupan dari kiamat ekologis.
Kiamat ekologis bukan isapan jempol. Perubahan iklim global sudah dan sedang kita alami. Perubahannya beragam, cepat, dan merusak. Pada berbagai belahan bumi telah meningkat drastis banjir, kekeringan, gelombang panas, badai tropis, dan berbagai macam penyakit. Bencana datang silih berganti. Hasil pertanian menurun. Berbagai jenis hewan sudah, sedang, dan akan punah.
Semua akibat buruk ini bisa dikurangi dengan mengurangi emisi gas pada atmosfer bumi kita. Emisi gas inilah penyebab utama pemanasan global. Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia termasuk negara yang menghasilkan emisi gas relatif tinggi. Sebagian besar berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan. Untuk Flores-Lembata, tantangannya sama: deforestasi dan degradasi (kerusakan) hutan. Dampak buruknya sudah dirasakan: kemarau panjang, gagal tanam dan gagal panen, hama dan penyakit, serta banjir dan longsor.
Natal kiranya menjadi kesempatan kita berbalik, bertobat paripurna, termasuk bertobat secara ekologis. Kita bangun keadaban baru, dari gemar menebang ke gemar menanam pohon, dari gemar membakar ke gemar membersihkan lahan.
Mudah-mudahan kelahiran sang Juru Selamat melahirkan damai sempurna dalam diri kita. Damai dengan Tuhan, damai dengan sesama, dan damai dangan alam ciptaan. Mari kita menjadikan bumi kita evergreen, bumi yang senantiasa hijau, sehijau pohon Natal.
"Bentara" FLORES POS, Senin 24 Desember 2007
Ada suatu kebiasaan yang sudah mendunia menjelang Natal. Memasang pohon Natal sebagai dekorasi. Pohon Natal umumnya dari cemara atau mengadaptasi bentuk cemara. Kebiasaan ini berawal di Jerman abad ke-16.
Saat penduduk Jerman menyebar ke berbagai wilayah termasuk Amerika, mereka kerap memasang cemara yang tergolong pohon evergreen untuk dekorasi Natal di dalam rumah. Orang Jerman di Pennsylvania Amerika Serikat memajang pohon Natal untuk pertama kalinya pada 1830-an.
Pohon (cemara) Natal bukanlah keharusan dari Gereja. Ini hanya simbol agar kehidupan rohani selalu bertumbuh dan menjadi saksi indah bagi orang lain. Sebagai pohon evergreen, cemara melambangkan hidup kekal, sebab pada umumnya di musim salju hampir semua pohon rontok, kecuali cemara yang tetap hijau.
Kini pemasangan cemara, baik asli maupun tiruan, di gereja, rumah, tengah kota, dan tempat-tempat umum sudah menjadi pemandangan biasa menjelang Natal. Bisakah yang biasa ini menjadi luar biasa? Mengapa tidak! Di tengah keprihatinan dunia akan perubahan iklim yang dipicu pemanasan global, pohon Natal diharapkan menjadi simbol kebangkitan untuk segera menyelamatkan dunia dan kehidupan dari kiamat ekologis.
Kiamat ekologis bukan isapan jempol. Perubahan iklim global sudah dan sedang kita alami. Perubahannya beragam, cepat, dan merusak. Pada berbagai belahan bumi telah meningkat drastis banjir, kekeringan, gelombang panas, badai tropis, dan berbagai macam penyakit. Bencana datang silih berganti. Hasil pertanian menurun. Berbagai jenis hewan sudah, sedang, dan akan punah.
Semua akibat buruk ini bisa dikurangi dengan mengurangi emisi gas pada atmosfer bumi kita. Emisi gas inilah penyebab utama pemanasan global. Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia termasuk negara yang menghasilkan emisi gas relatif tinggi. Sebagian besar berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan. Untuk Flores-Lembata, tantangannya sama: deforestasi dan degradasi (kerusakan) hutan. Dampak buruknya sudah dirasakan: kemarau panjang, gagal tanam dan gagal panen, hama dan penyakit, serta banjir dan longsor.
Natal kiranya menjadi kesempatan kita berbalik, bertobat paripurna, termasuk bertobat secara ekologis. Kita bangun keadaban baru, dari gemar menebang ke gemar menanam pohon, dari gemar membakar ke gemar membersihkan lahan.
Mudah-mudahan kelahiran sang Juru Selamat melahirkan damai sempurna dalam diri kita. Damai dengan Tuhan, damai dengan sesama, dan damai dangan alam ciptaan. Mari kita menjadikan bumi kita evergreen, bumi yang senantiasa hijau, sehijau pohon Natal.
"Bentara" FLORES POS, Senin 24 Desember 2007
Konsientisasi Belum Optimal
Oleh Frans Anggal
Dalam diskusi “Pemanasan Global, Respon Lokal” yang diselenggarakan Dian/Flores Pos bersama FIRD, mencuat kesadaran akan perlunya upaya konsientisasi (penyadaran). Kalau semua pihak memiliki kesadaran yang sama maka langkah bersama mudah diayunkan untuk menyelamatkan dunia dari ‘kiamat ekologis’.
Pendidikan ekologi sebenarnya sudah masuk dalam kurikulum sekolah kita. Juga sudah dilancaran ke tengah masyarakat dengan rupa-rupa cara antara lain dalam bentuk penyuluhan. Apakah ini yang disebut konsienntisasi?
Istilah konsientisasi dibuat terkenal oleh Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasilia. Konsientisasi merupakan model pendidikan yang membebaskan yang ditawarkan Freire untuk mengatasi masalah penindasan. Konsientisasi mengacu pada proses di dalamnya manusia bukan sebagai objek atau penerima tetapi sebagai subjek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosial-budaya yang membentuk kehidupannya dan sadar akan kemampuannya sendiri untuk mengubah kenyataan itu.
Proyek konsientisasi Freire masuk melalui pemberantasan buta huruf dewasa, bukan dengan pelajaran membaca yang menjejali peserta didik seperti ‘sekolah model bank’ yang dikritiknya. Ia menggunakan metode pendidikan yang berangkat dari pengalaman sehari-hari subjek pembelajar. Jadinya, lebih dari sekadar pemberantasan buta huruf, proyek pendidikan Freire menjadi sebuah gerakan budaya yang menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.
Kalau kita mau menyelamatkan dunia dari kiamat ekologis, metode konsistisasi Freire dapat diandalkan. Flores-Lembata memiliki Gereja, LSM, kaum intelektual, dan kelas menengah yang terpanggil menyelamatkan keutuhan ciptaan. Yang perlu dilakukan bukanlah sekadar aksi dari atas menara gading yang steril. Freire sendiri menghabiskan beberapa tahun di Guinea-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama masyarakatnya belajar dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas mereka. Contoh lain, para rohaniwan Amerika Latin berani meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal di kampung kumuh berlumpur, di tengah tempat pembuangan sampah berbau busuk, menghayati kemiskinan seraya mengajak masyarakat belajar memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan apa? Dengan usaha terus-menerus dalam spiral aksi-refleksi atau konsep praksis Freire yang melibatkan teori dan kerja lapangan, digerakkan oleh energi harapan dan cinta.
Sangat jelas, metode konsientisasi Freire hanya bisa diterapkan kalau orang masuk ke dalam pengalaman tempat ia berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Ini yang belum optimal di Flores-Lembata, sehingga meski dampak buruknya sudah dirasakan berkali-kali dan terus meningkat, toh tetap saja hutan dirusak dan digunduli.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 22 Desember 2007
Dalam diskusi “Pemanasan Global, Respon Lokal” yang diselenggarakan Dian/Flores Pos bersama FIRD, mencuat kesadaran akan perlunya upaya konsientisasi (penyadaran). Kalau semua pihak memiliki kesadaran yang sama maka langkah bersama mudah diayunkan untuk menyelamatkan dunia dari ‘kiamat ekologis’.
Pendidikan ekologi sebenarnya sudah masuk dalam kurikulum sekolah kita. Juga sudah dilancaran ke tengah masyarakat dengan rupa-rupa cara antara lain dalam bentuk penyuluhan. Apakah ini yang disebut konsienntisasi?
Istilah konsientisasi dibuat terkenal oleh Paulo Freire, pemikir pendidikan asal Brasilia. Konsientisasi merupakan model pendidikan yang membebaskan yang ditawarkan Freire untuk mengatasi masalah penindasan. Konsientisasi mengacu pada proses di dalamnya manusia bukan sebagai objek atau penerima tetapi sebagai subjek yang mengetahui, menyadari secara mendalam kenyataan sosial-budaya yang membentuk kehidupannya dan sadar akan kemampuannya sendiri untuk mengubah kenyataan itu.
Proyek konsientisasi Freire masuk melalui pemberantasan buta huruf dewasa, bukan dengan pelajaran membaca yang menjejali peserta didik seperti ‘sekolah model bank’ yang dikritiknya. Ia menggunakan metode pendidikan yang berangkat dari pengalaman sehari-hari subjek pembelajar. Jadinya, lebih dari sekadar pemberantasan buta huruf, proyek pendidikan Freire menjadi sebuah gerakan budaya yang menumbuhkan kesadaran kritis masyarakat.
Kalau kita mau menyelamatkan dunia dari kiamat ekologis, metode konsistisasi Freire dapat diandalkan. Flores-Lembata memiliki Gereja, LSM, kaum intelektual, dan kelas menengah yang terpanggil menyelamatkan keutuhan ciptaan. Yang perlu dilakukan bukanlah sekadar aksi dari atas menara gading yang steril. Freire sendiri menghabiskan beberapa tahun di Guinea-Bissau, Afrika Barat, untuk bersama-sama masyarakatnya belajar dan mencari sistem pendidikan yang sesuai bagi kondisi khas mereka. Contoh lain, para rohaniwan Amerika Latin berani meninggalkan kemapanan gedung paroki untuk tinggal di kampung kumuh berlumpur, di tengah tempat pembuangan sampah berbau busuk, menghayati kemiskinan seraya mengajak masyarakat belajar memperjuangkan hak-hak mereka. Dengan apa? Dengan usaha terus-menerus dalam spiral aksi-refleksi atau konsep praksis Freire yang melibatkan teori dan kerja lapangan, digerakkan oleh energi harapan dan cinta.
Sangat jelas, metode konsientisasi Freire hanya bisa diterapkan kalau orang masuk ke dalam pengalaman tempat ia berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Ini yang belum optimal di Flores-Lembata, sehingga meski dampak buruknya sudah dirasakan berkali-kali dan terus meningkat, toh tetap saja hutan dirusak dan digunduli.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 22 Desember 2007
Perlu Kerja Sama
Oleh Frans Anggal
Dikusi bulanan Dian/Flores Pos bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal” dinilai sebagai awal yang baik bagi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang diakibatkan deforestasi (penghilangan) dan degradasi (peruskaan) hutan di Flores-Lembata. Seorang peserta membuat analogi, “Diskusi hari ini ibarat lilin yang mulai dibakar. Jadi, tak perlu buru-buru menerangi ruangan. Kita temukan dulu pokok keprihatinan, lalu apa yang harus dibuat.”
Diskusi menemukan, untuk konteks Flores-Lembata, penyebab utama gas emisi yang menyumbang pada pemanasan global adalah penghilangan dan perusakan hutan serta perilaku pertanian. Secara nasional pun kurang lebih sama. Penyebab utamanya adalah deforestasi termasuk konversi lahan gambut dan hutan serta kebakaran hutan. Karena itu, diyakini Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.
Sebenarnya, kesadaran sudah ada pada tingkat pengambil kebijakan di pusat dan di daerah. Yang menjadi soal adalah kita belum menemukan mekanisme yang responsif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca itu yang disadari dapat mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Karena itu pula, sejauh ini kita belum memiliki tindakan pencegahan yang sungguh-sungguh di level nasional dan lokal yang seiring sejalan dengan inisiatif internasional.Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 1994 dan Protokol Kyoto pada 2004 yang diadopsi oleh UU No 17/2004. Berangkat dari ratifikasi ini Indonesia telah melakukan sesuatu dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Sebuah contoh penting adalah dibentuknya institusi nasional untuk mengatur ‘’mekanisme pembangunan bersih” (MPB). Jika difungsikan secara efektif dan fungsional, MPB dapat mengurangi emisi gas di negara ini sampai 23-24 ton per tahun. Demikian hasil studi strategi nasional 2001/2002 yang menganalisis pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan.
Yang menjadi kelemahan kita adalah strategi yang implementatif dan tindakan nyata pada beberapa sektor penting. Kenyataannya hingga saat ini belum ada koodinasi antar-sektor yang komprehensif untuk selaras dengan Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Padahal, sudah terbukti Indonesia salah satu negara yang rentan akan perubahan iklim ekstrem akibat pemanasan global yang dipicu emisi gas rumah kaca.
Kalau pusat sudah amburadul begini, apa yang bisa diharapkan dari daerah yang meski sudah otonom tapi masih juga bermental proyek serta miskin inovasi dan kreasi? Di sinilah perlunya keterlibatan banyak pihak. Untuk konteks Flores-Lembata, peran Gereja, LSM, dan media massa sangat dibutuhkan. Perlu dibangun kerja sama, termasuk dan terutama dengan pemerintah selaku regulator dan pengelola budget.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 21 Desember 2007
Dikusi bulanan Dian/Flores Pos bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal” dinilai sebagai awal yang baik bagi upaya mengurangi emisi gas rumah kaca yang diakibatkan deforestasi (penghilangan) dan degradasi (peruskaan) hutan di Flores-Lembata. Seorang peserta membuat analogi, “Diskusi hari ini ibarat lilin yang mulai dibakar. Jadi, tak perlu buru-buru menerangi ruangan. Kita temukan dulu pokok keprihatinan, lalu apa yang harus dibuat.”
Diskusi menemukan, untuk konteks Flores-Lembata, penyebab utama gas emisi yang menyumbang pada pemanasan global adalah penghilangan dan perusakan hutan serta perilaku pertanian. Secara nasional pun kurang lebih sama. Penyebab utamanya adalah deforestasi termasuk konversi lahan gambut dan hutan serta kebakaran hutan. Karena itu, diyakini Indonesia adalah penyumbang emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.
Sebenarnya, kesadaran sudah ada pada tingkat pengambil kebijakan di pusat dan di daerah. Yang menjadi soal adalah kita belum menemukan mekanisme yang responsif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca itu yang disadari dapat mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Karena itu pula, sejauh ini kita belum memiliki tindakan pencegahan yang sungguh-sungguh di level nasional dan lokal yang seiring sejalan dengan inisiatif internasional.Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pada 1994 dan Protokol Kyoto pada 2004 yang diadopsi oleh UU No 17/2004. Berangkat dari ratifikasi ini Indonesia telah melakukan sesuatu dalam mengatasi masalah perubahan iklim. Sebuah contoh penting adalah dibentuknya institusi nasional untuk mengatur ‘’mekanisme pembangunan bersih” (MPB). Jika difungsikan secara efektif dan fungsional, MPB dapat mengurangi emisi gas di negara ini sampai 23-24 ton per tahun. Demikian hasil studi strategi nasional 2001/2002 yang menganalisis pengurangan emisi gas rumah kaca dari sektor energi dan sektor kehutanan.
Yang menjadi kelemahan kita adalah strategi yang implementatif dan tindakan nyata pada beberapa sektor penting. Kenyataannya hingga saat ini belum ada koodinasi antar-sektor yang komprehensif untuk selaras dengan Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto. Padahal, sudah terbukti Indonesia salah satu negara yang rentan akan perubahan iklim ekstrem akibat pemanasan global yang dipicu emisi gas rumah kaca.
Kalau pusat sudah amburadul begini, apa yang bisa diharapkan dari daerah yang meski sudah otonom tapi masih juga bermental proyek serta miskin inovasi dan kreasi? Di sinilah perlunya keterlibatan banyak pihak. Untuk konteks Flores-Lembata, peran Gereja, LSM, dan media massa sangat dibutuhkan. Perlu dibangun kerja sama, termasuk dan terutama dengan pemerintah selaku regulator dan pengelola budget.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 21 Desember 2007
Pemanasan Global, Respon Lokal
Oleh Frans Anggal
Pertemuan PBB di Bali tentang perubahan iklim telah berakhir. Besar harapan kita agar hasil pertemuan ini benar-benar akan mengubah banyak hal di negeri ini, terutama dalam hal arah pengelolaan hutan. Sebagai salah satu bentuk respon terhadap kegiatan tingkat dunia ini, hari ini Dian/Flores Pos bersama FIRD menggelar diskusi bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal”.
Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia ternyata termasuk negara yang mempunyai tingkat emisi gas rumah kaca relatif tinggi. Ternyata pula sebagian besarnya berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia tercatat mempunyai laju kehilangan hutan 1,8—2,5 juta ha per tahun. Sementara itu, kebakaran hutan tahun 1997/1998 melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak hampir 3 gigaton karbon ke atmosfer. Ini setara dengan 13--40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya. Ini berarti pula menambah kontribusi bagi perubahan iklim dan pemanasan global. Di NTT sendiri , degradasi lahan meningkat sangat berarti. Peningkatannya mencapai 46 persen dari luas wilayah NTT. Keadaan ini diperburuk dengan laju kehilangan hutan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dampaknya sudah sangat terasa, antara lain berubahnya iklim yang membawa bencana alam. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1.429 kasus atau 53,3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, ketika musim kering melanda, negeri ini menghadapi ancaman kekeringan yang berkepanjangan. Untuk sektor kehutanan, titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 saja tercatat 26.561 titik api. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbesar sejak Agustus 1997 ketika sepanjang 1997 tercatat ‘hanya’ 37.938 titik api.
Tidak bisa dimungkiri lagi, masalah nyata kita adalah kehilangan hutan (deforestasi) dan kerusakan hutan (degradasi). Dalam degradasi, tutupan hutan tidak hilang namun kualitasnya menurun ataupun rusak dan terganggu. Bila deforestasi dan degradasi ini tidak segera dicegah dan ditanggulangi maka dampaknya akan semakin mengerikan. Perubahan pola iklim akan menambah daftar panjang ancaman bagi negeri kita.
Kini saatnya negeri ini, provinsi ini, kabupaten ini memiliki mekanisme yang responsif untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal perlu dilaksanakan segera bersama-sama dengan inisiatif internasional. Nah, di level lokal, apa respon kita?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 19 Desember 2007
Pertemuan PBB di Bali tentang perubahan iklim telah berakhir. Besar harapan kita agar hasil pertemuan ini benar-benar akan mengubah banyak hal di negeri ini, terutama dalam hal arah pengelolaan hutan. Sebagai salah satu bentuk respon terhadap kegiatan tingkat dunia ini, hari ini Dian/Flores Pos bersama FIRD menggelar diskusi bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal”.
Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia ternyata termasuk negara yang mempunyai tingkat emisi gas rumah kaca relatif tinggi. Ternyata pula sebagian besarnya berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia tercatat mempunyai laju kehilangan hutan 1,8—2,5 juta ha per tahun. Sementara itu, kebakaran hutan tahun 1997/1998 melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak hampir 3 gigaton karbon ke atmosfer. Ini setara dengan 13--40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya. Ini berarti pula menambah kontribusi bagi perubahan iklim dan pemanasan global. Di NTT sendiri , degradasi lahan meningkat sangat berarti. Peningkatannya mencapai 46 persen dari luas wilayah NTT. Keadaan ini diperburuk dengan laju kehilangan hutan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dampaknya sudah sangat terasa, antara lain berubahnya iklim yang membawa bencana alam. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1.429 kasus atau 53,3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, ketika musim kering melanda, negeri ini menghadapi ancaman kekeringan yang berkepanjangan. Untuk sektor kehutanan, titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 saja tercatat 26.561 titik api. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbesar sejak Agustus 1997 ketika sepanjang 1997 tercatat ‘hanya’ 37.938 titik api.
Tidak bisa dimungkiri lagi, masalah nyata kita adalah kehilangan hutan (deforestasi) dan kerusakan hutan (degradasi). Dalam degradasi, tutupan hutan tidak hilang namun kualitasnya menurun ataupun rusak dan terganggu. Bila deforestasi dan degradasi ini tidak segera dicegah dan ditanggulangi maka dampaknya akan semakin mengerikan. Perubahan pola iklim akan menambah daftar panjang ancaman bagi negeri kita.
Kini saatnya negeri ini, provinsi ini, kabupaten ini memiliki mekanisme yang responsif untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal perlu dilaksanakan segera bersama-sama dengan inisiatif internasional. Nah, di level lokal, apa respon kita?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 19 Desember 2007
Agama Etik Transformatif
Oleh Frans Anggal
Dalam diskusi bulanan Dian/Flores Pos, Sabtu 15 Desember 2007, Agama dan Politik menjadi sorotan. Dalam TOR diskusi disebutkan bahwa agama dan politik selalu menjadi isu menarik dalam relasinya dengan negara. Agama yang menjadi ideologi politik negara akan melahirkan ‘negara agama’ (teokrasi) yang dianggap melawan demokrasi. Namun, di sisi lain, politik negara menempatkan agama di pojok persoalan privat, sehingga agama tidak berperan dalam politik negara. Negara menjadi begitu sekular. Pertanyaannya: bagaimana sebaiknya agama memosisikan dirinya dalam politik negara dan bagaimana pula politik menempatkan agama.
Diskusi ini berujung pada kesimpulan bahwa hampir semua agama memiliki pandangan positif tentang negara. Dalam hubungan dengan negara, agama berperan memberikan karakter politik. Dasarnya adalah bahwa kuasa berasal dari Tuhan yang mesti diabdikan untuk kepentingan umum (bonum comune). Dalam perannya itu, agama dan tokoh agama melalui fungsi kritis dan profetisnya mesti selalu mengingatkan penguasa agar menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Jalan yang ideal adalah melalui dialog. Bila semua bentuk dialog buntu maka aksi turun ke jalan berdemo merupakan pilihan yang lain.
Agama yang disimpulkan dalam diskusi ini boleh digolongkan sebagai agama etik transformatif. AJ Tyonbee pernah meramalkan munculnya ‘agama baru’ yang dapat menjawab persoalan kontemporer yang sedang dihadapi manusia modern. Agama baru ini tidak mesti berupa agama yang baru. Bisa jadi agama lama yang mampu mentransformasikan ajarannya secara radikal untuk menyesuaikan diri dengan problem kontemporer. Agama transformatif ini pula yang menjadi harapan Hans Kung ketika menggagas global ethic-nya sebagai pedoman moral ekonomi-politik global.
Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan bentuk kekerasan. Menyakiti orang lain dan peperangan adalah tindakan yang paling terkutuk dalam setiap agama. Agama selalu menebar cinta kasih. Maka, setiap agama harus mampu mentransformasikan nilai etik-moral yang dimilikinya ke dalam bilik sikap umatnya. Agama etik-transformatif ini akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia politik kita yang tanpa nurani. Jadi, merupakan suatu keniscayaan bahwa agama harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan masyarakat.
Dalam konteks politik, agama tidak harus dikukuhkan secara simbolik sebagai jargon dan ideologi politik. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai etika agama dapat ditransformasikan sebagai benteng moralitas politik bangsa. Dengan demikian kebijakan dan tindakan politikus dapat dipertanggungjwabkan.
"Bentara" FLORES POS, Senin 17 Desember 2007
Dalam diskusi bulanan Dian/Flores Pos, Sabtu 15 Desember 2007, Agama dan Politik menjadi sorotan. Dalam TOR diskusi disebutkan bahwa agama dan politik selalu menjadi isu menarik dalam relasinya dengan negara. Agama yang menjadi ideologi politik negara akan melahirkan ‘negara agama’ (teokrasi) yang dianggap melawan demokrasi. Namun, di sisi lain, politik negara menempatkan agama di pojok persoalan privat, sehingga agama tidak berperan dalam politik negara. Negara menjadi begitu sekular. Pertanyaannya: bagaimana sebaiknya agama memosisikan dirinya dalam politik negara dan bagaimana pula politik menempatkan agama.
Diskusi ini berujung pada kesimpulan bahwa hampir semua agama memiliki pandangan positif tentang negara. Dalam hubungan dengan negara, agama berperan memberikan karakter politik. Dasarnya adalah bahwa kuasa berasal dari Tuhan yang mesti diabdikan untuk kepentingan umum (bonum comune). Dalam perannya itu, agama dan tokoh agama melalui fungsi kritis dan profetisnya mesti selalu mengingatkan penguasa agar menegakkan nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan perdamaian. Jalan yang ideal adalah melalui dialog. Bila semua bentuk dialog buntu maka aksi turun ke jalan berdemo merupakan pilihan yang lain.
Agama yang disimpulkan dalam diskusi ini boleh digolongkan sebagai agama etik transformatif. AJ Tyonbee pernah meramalkan munculnya ‘agama baru’ yang dapat menjawab persoalan kontemporer yang sedang dihadapi manusia modern. Agama baru ini tidak mesti berupa agama yang baru. Bisa jadi agama lama yang mampu mentransformasikan ajarannya secara radikal untuk menyesuaikan diri dengan problem kontemporer. Agama transformatif ini pula yang menjadi harapan Hans Kung ketika menggagas global ethic-nya sebagai pedoman moral ekonomi-politik global.
Sudah dimaklumi, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan bentuk kekerasan. Menyakiti orang lain dan peperangan adalah tindakan yang paling terkutuk dalam setiap agama. Agama selalu menebar cinta kasih. Maka, setiap agama harus mampu mentransformasikan nilai etik-moral yang dimilikinya ke dalam bilik sikap umatnya. Agama etik-transformatif ini akan menjadi jawaban dari kegersangan dunia politik kita yang tanpa nurani. Jadi, merupakan suatu keniscayaan bahwa agama harus kembali dimainkan sebagai sumber nilai etik-moral kehidupan masyarakat.
Dalam konteks politik, agama tidak harus dikukuhkan secara simbolik sebagai jargon dan ideologi politik. Akan tetapi bagaimana nilai-nilai etika agama dapat ditransformasikan sebagai benteng moralitas politik bangsa. Dengan demikian kebijakan dan tindakan politikus dapat dipertanggungjwabkan.
"Bentara" FLORES POS, Senin 17 Desember 2007
Dapatkah Nagekeo Memulai?
Oleh Frans Anggal
Debit air Bendungan Sutami di Kabupaten Nagekeo menurun dari tahun ke tahun. Keadaan terburuk terjadi pada musim kemarau Juli hingga November. Menurut Penjabat Bupati Elias Djo, turunnya debit air dikarenakan oleh penggundulan hutan di daeah hulu, yang sebagaian besarnya masuk wilayah Kabupaten Ngada. Karena itu, Pemka Nagekeo akan selalu berkoordinasi dengan Pemkab Ngada dan LSM melakukan penghijuan di daerah hulu dan daerah aliran sungai. Ketua DPRD Paulinus Nuwa mengimbau agar Gerhan atau Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tetap dipertahankan dan ditingkatkan sampai tidak ada lagi hutan yang gundul.
Yang terjadi dengan debit air di Bendungan Sutami merupakan salah satu bukti nyata dari deforestasi atau penggundulan hutan. Dalam konteks global, deforestasi dan penggunaan emisi gas mengakibatkan terakumulasinya koarbondioksida di atmosfer. Dampak lanjutnya adalah pemanasan global yang kemudian memicu perubahan iklim (climate change).
Perubahan iklim bukan lagi sesuatu yang akan, tetapi sudah dan sedang terjadi. Perubahan itu cepat, dalam beraneka bentuk, dan sangat merusak. Pada berbagai belaha dunia kini meningkat secara drastis kekeringan yang mengajibatkan anjloknya hasil pertanian, banjir, gelombang panas, kebakaran hutan, badai tropis, menurunnya sumber-sumber kelautan, dan berbagai penyakit seperti demam berdarah dan flu burung.
Selain mengubah iklim, pemanasan global bila tak segera diatasi akan mengakibatkan mencairnya es di daerah Kutub Utara dan di puncak pegunungan Himalaya. Naiknya permukaan air laut mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan pesisir-pesisir pantai. Ini mengacam 1,2 miliar penduduk pada negara-negara seperti China, India, dan Asia Selatan. Akibat lebih jauh terjadinya gelombang pengungsi (climate refugees) yang semakin meluas dengan segala implikasinya pada makanan, air minum bersih, kesehatan, dan konflik atau perang antar-etnik dan antar-daerah.
Konferensi PBB di Bali tentang perubahan iklim merupakan salah satu langkah untuk mengurangi percepatan dan perluasan perubahan iklim akibat pemansan global itu. Disadari, semuanya ini dikarenakan oleh kegiatan manusia menggunakan emisi gas dan menggundul hutan. Kesadaran seperti ini juga muncul di Nagekeo. Disadari, menurunnya debit air Bendungan Sutami dikarenakan oleh penggundulan hutan di daerah hulu.
Kita berharap kesadaran ini melahirkan tindakan nyata. Kita punya Gerhan. Sayang, ia lebih sebagai ritus tahunan pemerintah. Sesuai dengan namaya, semestinya ia benar-benar menjadi “gerakan”. Artinya, ia mampu menggugah kesadaran dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Nah, dapatkah Nagekeo memulainya?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 15 Desember 2007
Debit air Bendungan Sutami di Kabupaten Nagekeo menurun dari tahun ke tahun. Keadaan terburuk terjadi pada musim kemarau Juli hingga November. Menurut Penjabat Bupati Elias Djo, turunnya debit air dikarenakan oleh penggundulan hutan di daeah hulu, yang sebagaian besarnya masuk wilayah Kabupaten Ngada. Karena itu, Pemka Nagekeo akan selalu berkoordinasi dengan Pemkab Ngada dan LSM melakukan penghijuan di daerah hulu dan daerah aliran sungai. Ketua DPRD Paulinus Nuwa mengimbau agar Gerhan atau Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan tetap dipertahankan dan ditingkatkan sampai tidak ada lagi hutan yang gundul.
Yang terjadi dengan debit air di Bendungan Sutami merupakan salah satu bukti nyata dari deforestasi atau penggundulan hutan. Dalam konteks global, deforestasi dan penggunaan emisi gas mengakibatkan terakumulasinya koarbondioksida di atmosfer. Dampak lanjutnya adalah pemanasan global yang kemudian memicu perubahan iklim (climate change).
Perubahan iklim bukan lagi sesuatu yang akan, tetapi sudah dan sedang terjadi. Perubahan itu cepat, dalam beraneka bentuk, dan sangat merusak. Pada berbagai belaha dunia kini meningkat secara drastis kekeringan yang mengajibatkan anjloknya hasil pertanian, banjir, gelombang panas, kebakaran hutan, badai tropis, menurunnya sumber-sumber kelautan, dan berbagai penyakit seperti demam berdarah dan flu burung.
Selain mengubah iklim, pemanasan global bila tak segera diatasi akan mengakibatkan mencairnya es di daerah Kutub Utara dan di puncak pegunungan Himalaya. Naiknya permukaan air laut mengakibatkan tenggelamnya pulau-pulau kecil dan pesisir-pesisir pantai. Ini mengacam 1,2 miliar penduduk pada negara-negara seperti China, India, dan Asia Selatan. Akibat lebih jauh terjadinya gelombang pengungsi (climate refugees) yang semakin meluas dengan segala implikasinya pada makanan, air minum bersih, kesehatan, dan konflik atau perang antar-etnik dan antar-daerah.
Konferensi PBB di Bali tentang perubahan iklim merupakan salah satu langkah untuk mengurangi percepatan dan perluasan perubahan iklim akibat pemansan global itu. Disadari, semuanya ini dikarenakan oleh kegiatan manusia menggunakan emisi gas dan menggundul hutan. Kesadaran seperti ini juga muncul di Nagekeo. Disadari, menurunnya debit air Bendungan Sutami dikarenakan oleh penggundulan hutan di daerah hulu.
Kita berharap kesadaran ini melahirkan tindakan nyata. Kita punya Gerhan. Sayang, ia lebih sebagai ritus tahunan pemerintah. Sesuai dengan namaya, semestinya ia benar-benar menjadi “gerakan”. Artinya, ia mampu menggugah kesadaran dan partisipasi aktif seluruh lapisan masyarakat. Nah, dapatkah Nagekeo memulainya?
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 15 Desember 2007
Rumput Laut Organik
Oleh Frans Anggal
Pemkab Sikka telah mengeluarkan larangan bagi pengusaha untuk memperdagangkan produk rumput laut yang menggunakan pupuk kimia green tonic. Larangan ini mencakup kegiatan membeli, menyimpan, menampung, mengangkut, dan menjual. Pengusaha yang melanggar akan dicabut izin usahanya.
Larangan ini menindaklanjuti surat Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI yang tidak mengizinkan penggunaan green tonic untuk merangsang pertumbuhan rumput laut.
Green tonic adalah pupuk cair non-organik untuk semua jenis tanaman. Dari uji coba laboratorium, penggunaan pupuk ini mengandung bahaya. Sample rumput laut yang memakai green tonic selalu saja mengandung logam berat. Ini merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan. Selain itu, hasil rumput laut yang menggunakan green tonic tidak bertahan lama atau cepat rusak, berbeda dengan hasil yang menggunakan pupuk organik.
Sayangnya, dampak negatif seperti ini tidak kasat mata atau tidak bisa segera kelihatan. Sementara yang kelihatan justru yang sangat memukau para petani. Bayangkan saja, jika rumput laut menggunakan green tonic maka pertumbuhan awal tanaman menjadi cepat, cepat bertunas dan bercabang. Rumputnya cepat besar. Dengan demikian, petani memanen lebih cepat karena apabila ditunggu sampai umur 45 hari kemungkina jatuh (hilang).
Padahal, idealnya, rumput laut tumbuh alami sehingga hasilnya berkualitas, sehat, tahan lama, dan tidak merusak lingkungan. Belajar dari pertanian darat, pemakaian pupuk non-organik dalam jangka panjang memberikan dampak negatif ke lingkungan dan kualitas produk.
Sementara itu, tren produk agrikultur dan aquakultur juga telah bergeser. Produk masa depan adalah produk organik. Karena itu, adanya green tonik merupakan tantangan sekaligus peluang agar kita hanya menghasilkan rumput laut organik, sebagaimana beras organik yang sekarang memberikan nilai tambah bagi petani dan pembeli.
Karena itu, kita mendukung kebijakan Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI serta tindak lanjutnya oleh Pemkab Sikka. Namun, seperti lazimnya di negeri ini, kebijakan selalu indah di atas kertas. Kita lemah dalam pelaksanaan. Dari segi produk aturan, negeri kita termasuk maju. Namun dari segi konsistensi melaksanakan aturan, kita sangat jauh tertinggal.
Dalam menghasilkan rumput laut yang berkualitas dan ramah lingkungan, inilah tantangan Pemkab Sikka. Bagaimana mengawasi para pengusaha dan menyadarkan masyarakat akan bahaya penggunaan green tonic segala jenis pupuk kimia.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 14 Desember 2007
Pemkab Sikka telah mengeluarkan larangan bagi pengusaha untuk memperdagangkan produk rumput laut yang menggunakan pupuk kimia green tonic. Larangan ini mencakup kegiatan membeli, menyimpan, menampung, mengangkut, dan menjual. Pengusaha yang melanggar akan dicabut izin usahanya.
Larangan ini menindaklanjuti surat Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI yang tidak mengizinkan penggunaan green tonic untuk merangsang pertumbuhan rumput laut.
Green tonic adalah pupuk cair non-organik untuk semua jenis tanaman. Dari uji coba laboratorium, penggunaan pupuk ini mengandung bahaya. Sample rumput laut yang memakai green tonic selalu saja mengandung logam berat. Ini merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan. Selain itu, hasil rumput laut yang menggunakan green tonic tidak bertahan lama atau cepat rusak, berbeda dengan hasil yang menggunakan pupuk organik.
Sayangnya, dampak negatif seperti ini tidak kasat mata atau tidak bisa segera kelihatan. Sementara yang kelihatan justru yang sangat memukau para petani. Bayangkan saja, jika rumput laut menggunakan green tonic maka pertumbuhan awal tanaman menjadi cepat, cepat bertunas dan bercabang. Rumputnya cepat besar. Dengan demikian, petani memanen lebih cepat karena apabila ditunggu sampai umur 45 hari kemungkina jatuh (hilang).
Padahal, idealnya, rumput laut tumbuh alami sehingga hasilnya berkualitas, sehat, tahan lama, dan tidak merusak lingkungan. Belajar dari pertanian darat, pemakaian pupuk non-organik dalam jangka panjang memberikan dampak negatif ke lingkungan dan kualitas produk.
Sementara itu, tren produk agrikultur dan aquakultur juga telah bergeser. Produk masa depan adalah produk organik. Karena itu, adanya green tonik merupakan tantangan sekaligus peluang agar kita hanya menghasilkan rumput laut organik, sebagaimana beras organik yang sekarang memberikan nilai tambah bagi petani dan pembeli.
Karena itu, kita mendukung kebijakan Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan RI serta tindak lanjutnya oleh Pemkab Sikka. Namun, seperti lazimnya di negeri ini, kebijakan selalu indah di atas kertas. Kita lemah dalam pelaksanaan. Dari segi produk aturan, negeri kita termasuk maju. Namun dari segi konsistensi melaksanakan aturan, kita sangat jauh tertinggal.
Dalam menghasilkan rumput laut yang berkualitas dan ramah lingkungan, inilah tantangan Pemkab Sikka. Bagaimana mengawasi para pengusaha dan menyadarkan masyarakat akan bahaya penggunaan green tonic segala jenis pupuk kimia.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 14 Desember 2007
KMT di Tangan Bunda
Oleh Frans Anggal
Salah satu hal menarik dalam misa syukur peresmian Kabupaten Manggarai Timur (KMT) di Borong adalah penyerahan KMT kepada pangkuan Bunda Maria. Enam camat membawa selempang kain songke dan mengalungkannya ke leher patung Bunda Maria. Dalam doa, mereka menyerahkan warga masyarakat KMT ke pangkuan Bunda Maria. Pada hari itu juga, Bunda Maria diangkat menjadi Pelindung Kota Borong, ibu kota KMT.
Peristiwa ini bisa sangat mengharukan umat Katolik, apalagi mereka yang sempat hadir dalam perayaan itu. Warna liturgis dan devosional agama serasa padu dengan peristiwa politik peresmian KMT dan pelantikan penjabat bupatinya. Yang menjadi pertanyaan: dapatkah peristiwa ini menjadi inspirasi dan kekuatan transformatif bagi masa depan KMT yang diimpikan?
Dari jumlah penganutnya yang mayoritas di KMT, Katolik boleh disebut sebagai “agama publik”. Justru karena itulah Gereja mengemban tanggung jawab besar, termasuk dalam mengawal kehidupan politik yang lebih demokratis dan bermoral. Mengawal sudah berarti menjaga jarak dalam relasi. Tidak boleh lengket. Sebab, lengketnya agama dengan politik hanya akan membuat agama kehilangan daya transendental, tidak lagi kritis dan profetis.
Bagi pengelola pemerintahan, hal yang perlu disadari adalah bahwa KMT bukanlah ‘daerah agama’ (sebagaimana ada istilah ‘negara agama’). Tidak benar memperlakukan warga masyarakat berdasarkan agama. Agama jangan menjadi tolok ukur kebijakan daerah. Ini tidak demokratis karena eksklusif dan diskriminatif. Eksklusif, karena bertumpu pada asas superioritas, prioritas, dan mayoritas dalam memperlakukan warga. Diskriminatif, karena membedakan-bedakan warga masyarakat.
Demikian pula dalam peri kehidupan sosial politik, hindari nuansa eksklusivisme dengan mengusung simbol-simbol agama untuk mengakomodasi aneka kepentingan sosial-politik.
Meski KMT sudah diserahkan ke pangkuan Bunda Maria, dan Bunda Maria telah diangkat menjadi pelindung Kota Borong, perikehidupan sosial politik tetaplah bertolak dari kenyataan kemajemukan. Bukankah dalam keyakinan Katolik, Maria itu ratu para bangsa dan ibunda seluruh umat manusia?
KMT terdiri dari berbagai agama. Kemajemukan ini mesti menjadi kekuatan potensial dalam menjawab tantangan nyata kemanusiaan di tengah masyarakat. Pada tataran ini juga diharapkan moral agama-agama mampu menerangi kehidupan politik agar keputusan-keputusan politik yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Agama harus mampu menjadi pendamping korektif masyarakat serta memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan politik yang demokratis.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 13 Desember 2007
Salah satu hal menarik dalam misa syukur peresmian Kabupaten Manggarai Timur (KMT) di Borong adalah penyerahan KMT kepada pangkuan Bunda Maria. Enam camat membawa selempang kain songke dan mengalungkannya ke leher patung Bunda Maria. Dalam doa, mereka menyerahkan warga masyarakat KMT ke pangkuan Bunda Maria. Pada hari itu juga, Bunda Maria diangkat menjadi Pelindung Kota Borong, ibu kota KMT.
Peristiwa ini bisa sangat mengharukan umat Katolik, apalagi mereka yang sempat hadir dalam perayaan itu. Warna liturgis dan devosional agama serasa padu dengan peristiwa politik peresmian KMT dan pelantikan penjabat bupatinya. Yang menjadi pertanyaan: dapatkah peristiwa ini menjadi inspirasi dan kekuatan transformatif bagi masa depan KMT yang diimpikan?
Dari jumlah penganutnya yang mayoritas di KMT, Katolik boleh disebut sebagai “agama publik”. Justru karena itulah Gereja mengemban tanggung jawab besar, termasuk dalam mengawal kehidupan politik yang lebih demokratis dan bermoral. Mengawal sudah berarti menjaga jarak dalam relasi. Tidak boleh lengket. Sebab, lengketnya agama dengan politik hanya akan membuat agama kehilangan daya transendental, tidak lagi kritis dan profetis.
Bagi pengelola pemerintahan, hal yang perlu disadari adalah bahwa KMT bukanlah ‘daerah agama’ (sebagaimana ada istilah ‘negara agama’). Tidak benar memperlakukan warga masyarakat berdasarkan agama. Agama jangan menjadi tolok ukur kebijakan daerah. Ini tidak demokratis karena eksklusif dan diskriminatif. Eksklusif, karena bertumpu pada asas superioritas, prioritas, dan mayoritas dalam memperlakukan warga. Diskriminatif, karena membedakan-bedakan warga masyarakat.
Demikian pula dalam peri kehidupan sosial politik, hindari nuansa eksklusivisme dengan mengusung simbol-simbol agama untuk mengakomodasi aneka kepentingan sosial-politik.
Meski KMT sudah diserahkan ke pangkuan Bunda Maria, dan Bunda Maria telah diangkat menjadi pelindung Kota Borong, perikehidupan sosial politik tetaplah bertolak dari kenyataan kemajemukan. Bukankah dalam keyakinan Katolik, Maria itu ratu para bangsa dan ibunda seluruh umat manusia?
KMT terdiri dari berbagai agama. Kemajemukan ini mesti menjadi kekuatan potensial dalam menjawab tantangan nyata kemanusiaan di tengah masyarakat. Pada tataran ini juga diharapkan moral agama-agama mampu menerangi kehidupan politik agar keputusan-keputusan politik yang diambil dapat dipertanggungjawabkan secara moral. Agama harus mampu menjadi pendamping korektif masyarakat serta memiliki kekuatan liberatif guna menyusun kehidupan politik yang demokratis.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 13 Desember 2007
Agama Menyucikan Politik
Oleh Frans Anggal
Agama akan mengembalikan politik ke dimensi kemanusiaannya, sebuah aktivitas politik yang memberikan penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Karena kekuasaan politik dalam perspektif agama bersumber dari Allah. Kekuatan spiritual dari agama akan mengoreksi politik yang diselewengkan karena kepentingan diri dan kelompok ke politik yang diabdikan pada kesejahteraan dan kebaikan umum. Demikian salah satu benang merah dari diskusi bulanan Dian/Flores Pos, Sabu 15 Desember 2007. Agama akan tetap menjadi kekuatan moral politik.
Yang disimpulkan itu adalah sesuatu yang diidealkan. Dalam praktiknya tidaklah mudah. Karena itu, ini merupakan sebuah tugas besar dalam konteks Indonesia yang “abu-abu”, yang bukan negara sekular dan bukan pula negara agama. Kenyataan sesungguhnya Indonesia yang abu-abu ini merupakan negara sekular, hanya saja ada interaksi antara negara dan organisasi-organisasi keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik. Agama diidealkan menjadi kekuatan moral politik.
Pertanyaan yang menjadi tantangan kita: mungkinkah idealisme keagamaan itu meresapi moralitas politik, sehingga kesejahteraan, kebahagiaan, perdamaian, dan keadilan yang menjadi cita-cita tiap agama dapat terwujud melalui dan dalam perjuangan kekuasaan yang berpihak pada rakyat? Bila partai politik yang berbendera dan bernapaskan keagamaan pun tidak luput dari permusuhan, kebohongan, keculasan, dan kepentingan fana-duniawi, bagaimana mungkin dunia politik bisa tercerahi nilai keagamaan?
Pertanyaan ini semakin relevan untuk diajukan tatkala kita bertemu dengan semakin tipisnya sentuhan dan nuansa agama dalam dunia politik. Bahkan, sebagian menyakini bahwa hancurnya etika dan moral politisi di negara ini dikarenakan oleh terputusnya hubungan antara agama dan politik. Padahal, politik dan agama justru memiliki hubungan integral atau setidaknya memiliki simbiosis yang tidak pernah terpisahkan. Dalam diskusi Dian/Flores Pos dirumuskan, agama dan politik tidak saling mensubordinasikan. Keduanya saling mengisi demi penyejahteraan kehidupan bersama.
Dalam hubunguan simbiosis ini, agama diharapkan menyucikan politik. Tapi, mungkinkah kesucian politik dikembangkan para politisi dan pemegang kekuasaan negeri ini? Jawabannya: sangatlah mungkin dan tidak mustahil. Kesucian politik akan hadir bila para politisi dan penguasa negeri ini dirasuki roh kejujuran, ketulusan, dan pengorbanan. Untuk itu para politisi dan penguasa mesti menanggalkan egoisme pribadi dan kelompoknya, dan menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi perjuangan. Inilah tugas agama.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 18 Desember 2007
Agama akan mengembalikan politik ke dimensi kemanusiaannya, sebuah aktivitas politik yang memberikan penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Karena kekuasaan politik dalam perspektif agama bersumber dari Allah. Kekuatan spiritual dari agama akan mengoreksi politik yang diselewengkan karena kepentingan diri dan kelompok ke politik yang diabdikan pada kesejahteraan dan kebaikan umum. Demikian salah satu benang merah dari diskusi bulanan Dian/Flores Pos, Sabu 15 Desember 2007. Agama akan tetap menjadi kekuatan moral politik.
Yang disimpulkan itu adalah sesuatu yang diidealkan. Dalam praktiknya tidaklah mudah. Karena itu, ini merupakan sebuah tugas besar dalam konteks Indonesia yang “abu-abu”, yang bukan negara sekular dan bukan pula negara agama. Kenyataan sesungguhnya Indonesia yang abu-abu ini merupakan negara sekular, hanya saja ada interaksi antara negara dan organisasi-organisasi keagamaan di mana agama tetap didorong memainkan peran penting dalam mempengaruhi kebijakan publik. Agama diidealkan menjadi kekuatan moral politik.
Pertanyaan yang menjadi tantangan kita: mungkinkah idealisme keagamaan itu meresapi moralitas politik, sehingga kesejahteraan, kebahagiaan, perdamaian, dan keadilan yang menjadi cita-cita tiap agama dapat terwujud melalui dan dalam perjuangan kekuasaan yang berpihak pada rakyat? Bila partai politik yang berbendera dan bernapaskan keagamaan pun tidak luput dari permusuhan, kebohongan, keculasan, dan kepentingan fana-duniawi, bagaimana mungkin dunia politik bisa tercerahi nilai keagamaan?
Pertanyaan ini semakin relevan untuk diajukan tatkala kita bertemu dengan semakin tipisnya sentuhan dan nuansa agama dalam dunia politik. Bahkan, sebagian menyakini bahwa hancurnya etika dan moral politisi di negara ini dikarenakan oleh terputusnya hubungan antara agama dan politik. Padahal, politik dan agama justru memiliki hubungan integral atau setidaknya memiliki simbiosis yang tidak pernah terpisahkan. Dalam diskusi Dian/Flores Pos dirumuskan, agama dan politik tidak saling mensubordinasikan. Keduanya saling mengisi demi penyejahteraan kehidupan bersama.
Dalam hubunguan simbiosis ini, agama diharapkan menyucikan politik. Tapi, mungkinkah kesucian politik dikembangkan para politisi dan pemegang kekuasaan negeri ini? Jawabannya: sangatlah mungkin dan tidak mustahil. Kesucian politik akan hadir bila para politisi dan penguasa negeri ini dirasuki roh kejujuran, ketulusan, dan pengorbanan. Untuk itu para politisi dan penguasa mesti menanggalkan egoisme pribadi dan kelompoknya, dan menjadikan kepentingan rakyat sebagai orientasi perjuangan. Inilah tugas agama.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 18 Desember 2007
Langganan:
Postingan (Atom)