Oleh Frans Anggal
Tentang rencana tambang emas di Lembata, Bupati Ande Manuk bikin analogi enteng. Tidak ada pembangunan tanpa korban, katanya. Contoh, jalan raya. Untuk buka jalan, tanah warga harus digusur, tanaman harus ditebang. Namun kalau dibandingkan dengan manfaatnya, pengorbanan itu tak seberapa, karena banyak orang yang akan manfaatkan jalan raya.
Bukan hanya enteng, perbandingan ala Bupati Manuk terlalu menggampangkan persoalan, dan karena itu menyesatkan. Bangun tambang disamakan dengan bangun jalan raya. Risikonya kecil, untungnya banyak. Atas dasar apa pengentengan seperti itu? Atas dasar mimpi, mungkin. Atas dasar pengalaman, pasti tidak. Apalagi bila Bupati Manuk mempelajari pengelolaan tambang di Indonesia.
Setelah hampir empat dekade pengelolan pertambangan, sektor pertambangan mineral terbukti tidak bisa menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Alih-alih kesejahteraan yang didapat, penduduk lokal dan lingkungan sekitar justru harus mensubsidi perusahaan tambang yang beroperasi di kawasan mereka dengan cara kehilangan lahan, mata pencaharian, serta menurunnya kualitas lingkungan dan kesehatan.
Di Papua Barat, sekadar contoh, tanah yang tadinya milik komunal masyarakat adat Amungme, kini beralih menjadi wilayah pertambangan PT Freeport Indonesia. Sungai yang tadinya bening kini rusak oleh limbah perusahan. Dusun-dusun sagu sumber pangan penduduk lokal akhirnya mati tergenang air limbah. Belum lagi dampak pelanggaran HAM, ketimpangan sosial, gangguan kesehatan dan sebagainya. Sementara itu, Freeport menikmati keuntungan luar biasa besar dari tanah orang Amungme.
Laporan Oxfam Amerika (2001) menyimpulkan di negara-negara berkembang yang bergantung pada ekspor minyak dan mineral, korupsinya sangat tinggi, pemerintahannya otoriter, kemiskinan dan kematian anaknya meningkat, pemerataan pendapatannya tidak adil, serta rentan terhadap kejutan ekonomi. Laporan lainnya (2002) memperkuat fakta tersebut. Amerika Serikat, Kanada, dan Australia yang dikenal memiliki ekonomi kuat dan terus berkembang ternyata tidak digerakkan oleh sektor pertambangan, tetapi pertanian, industri teknologi, dan manufaktur. Laporan ini mengoreksi pernyataan Bank Dunia dan pelaku pertambangan yang menyebutkan kemajuan tiga negara tersebut disebabkan oleh pertambangan.
Kini Bupati Andreas Duli Manuk terjerumus dalam kekeliruan yang sama: mengandalkan tambang. Dia berdalih, pertanian, perkebunan, dan peternakan di Lembata tidak menonjol. Sebetulnya dia gagal menggerakkan potensi-potensi itu, lalu lari ke mimpi tambang sambil mengentengkan persoalan dengan membuat analogi menyesatkan. Dalam hal korban, tambang ia samakan dengan jalan raya. Duh!
"Bentara" FLORES POS, Selasa 26 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar