Oleh Frans Anggal
Yang diharapkan itu tidak terjadi. Senin 21 April 2008 janji pembayaran lunas-tuntas ganti rugi tanah bakal lokasi PLTU Ropa bagi 11 dari 12 pemilik tanah tidak dipenuhi. Alex Mari dan keluarga meninggalkan ruang rapat DPRD setelah membacakan pernyataan sikap di hadapan komisi A, Panitia 9, PLN, dan 11 pemilik tanah yang didampingi JPIC Keuskupan Agung Ende dan SVD Ende.
Alex Mari dan keluarga menyatakan sertifikat tanah yang dimiliki sebelas orang itu tidak sah. Mereka harus menghentikan semua kegiatan di atas lokasi dan segera keluar dari sana.
Benarkah sertifikat tanah kesebelas orang itu cacat hukum? Jawaban Kepala BPN Ende sangat tegas: tidak! Sertifikasi tanah-tanah itu telah sesuai dengan aturan. Kepemilikannya sah, dan keabsahannya hanya bisa digugurkan oleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, pernyataan Alex Mari dan keluarga itu cuma pepesan kosong.
Lalu, benar pulakah sikap keluarga ini mengusir kesebelas pemilik tanah? Dari sisi hukum jelas: tidak! Sebelas orang itu adalah pemilik tanah yang sah, pemegang sertifikat. Dari sisi adat setempat, mengusir mereka juga tidak ada dasarnya.
Dalam konteks persekutuan adat setempat, yang berhak untuk mengusir anggota persekutuan hanyalah mosalaki, itu pun mesti atas dasar adanya pelanggaran adat yang serius. Siapakah mosalaki setempat? Dia adalah Tibo Migo, yang mewarisi hak dan wewenang ke-mosalaki-an dari kakak kandungnya, almarhum Adrianus Paso Pande, ayahanda Alex Mari dkk.
Kata-kata pengusiran terhadap sebelas pemilik tanah tidak keluar dari mulut mosalaki Tibo Migo, tapi dari orang-orang yang notabene bukan mosalaki. Dengan kata lain, keluar dari mulut orang-orang yang tidak punya hak untuk itu. Mosalaki Tibo Migo sendiri justru berseberangan dengan orang-orang ini dan berdiri di belakang kesebelas pemilik tanah. Karena itu, kata-kata pengusiran tadi tak lebih juga dari pepesan kosong.
Betapapun hanya pepesan kosong, pernyataan sikap Alex Mari dan keluarga telah membuka babak baru kasus Ropa. Babak baru ini berupa pengalihan persoalan agar semakin jauh dari ihwal pokok ganti rugi tanah. Patut ditengarai ada upaya menggeser persoalan, dari pemenuhan hak ganti rugi tanah ke penyangkalan hak kepemilikan tanah. Patut dapat diduga, penggeseran dilakukan karena yang berkewajiban membayar ganti rugi itu sedang dalam keadaan tidak mampu membayar, bukan sekadar tidak mau membayar. Kalau dibiarkan, persoalan pokok pelunasan ganti rugi tidak akan cepat selesai, dengan demikian penandatanganan berita acara pelepasan hak atas tanah tidak segera beres, sehingga pengerjaan fisik proyek PLTU Ropa pun tidak mudah dilanjutkan.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 22 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar